Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Tolak Batalkan UU KPK, PSHK Nilai MK Lukai Hati Rakyat Indonesia
Warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menabur bunga di sekitar keranda hitam dan bendera kuning, di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Aksi tersebut sebagai wujud rasa berduka terhadap pihak-pihak yang diduga telah melemahkan KPK dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta revisi UU KPK. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Tolak Batalkan UU KPK, PSHK Nilai MK Lukai Hati Rakyat Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Perjuangan publik untuk membatalkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 atas perubahan kedua Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) mendapati kekecewaan.

Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan pengujian formil UU KPK dan hanya mengabulkan sebagian kecil materi yang diajukan.

“Tercatat, ada 7 (tujuh) permohonan yang diputus serentak oleh MK pada Selasa, 4 Mei 2021, yakni Permohonan 79/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019,” kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi dalam siaran pers yang diterima Beritabaru.co, Kamis (6/5).

Aspek Putusan Pengujian Formil

PSHK mengatakan bahwa hasil putusan MK tersebut melukai hati mayoritas rakyat Indonesia dan anti pemberantasan korupsi, karena banyak kekeliruan saat MK menyampaikan aspek putusan pengujian formil. Pertama, Hakim keliru ketika menyatakan tidak terjadi penyelundupan hukum dalam revisi UU KPK.

“Hal itu memperlihatkan hakim tidak dengan rinci melihat fakta yang dibentangkan dalam permohonan,” ungkap  Fajri Nursyamsi.

Kekeliruan kedua, lanjut Fajri, kala menyatakan naskah akademik (NA) revisi UU KPK tidak fiktif. Apalagi klaim itu didasarkan hanya kepada KBBI yang secara frasa menyebut fiktif itu “fiksi” atau tidak berwujud, sementara NA revisi UU KPK ada wujudnya.

“Pertimbangan ini sangat meruntuhkan wibawa dan mandat konstitusional MK,” tegas PSHK.

Ketiga, Hakim keliru saat menyebut revisi UU KPK telah partisipatif dan menyerap aspirasi publik karena telah dilakukan seminar di sebagian kecil kampus di Indonesia pada tahun 2017. Akan tetapi, jelasnya, hakim gagal menjelaskan bagaimana aspirasi itu disampaikan saat seminar terlaksana.

“Karena sejak bergulirnya wacana revisi UU KPK ,sejak periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara konsisten selalu mendapat perlawanan dari publik,” ujarnya.

Kempat, menurut PSHK Hakim keliru ketika menyebut demonstrasi yang masif di hampir seluruh penjuru Indonesia adalah sebagai bentuk kebebasan menyatakan pendapat saja. Sementara Hakim abai dalam memaknai penolakan publik merupakan bagian dari partisipasi dalam proses legislasi dan tidak ada hubungannya dengan aspek formil pembentukan undang-undang.

“Seharusnya hakim paham bahwa gelombang penolakan publik hingga menimbulkan korban nyawa mahasiswa adalah kulminasi diabaikannya proses partisipasi publik oleh DPR dan Pemerintah selama pembahasan revisi KPK berlangsung,” kata Fajri.

Bahkan, ungkap Fajri, Hakim keliru saat menyalahkan pemohon yang tidak bisa menghadirkan bukti rekaman video persidangan untuk membuktikan bahwa paripurna DPR tidak kuorum saat pengambilan keputusan revisi UU KPK.

“Hal ini sangat kontradiktif, mengingat di satu sisi hakim mengamini bahwa kehadiran fisik saat paripurna sangat dibutuhkan dan juga menyadari bahwa paripurna tidak kuorum secara fisik, namun di sisi lain hakim justru tidak menggunakan haknya untuk memaksa DPR menghadirkan bukti rekaman video ke persidangan,” jalasnya.

Aspek Putusan Pengujian Materiil

Dalam pengujian materiil, PSHK menghargai pembatalan dan pemberian tafsir di beberapa pasal yang ada dalam revisi UU KPK meskipun sifatnya minor dibanding besarnya dampak revisi UU KPK terhadap pelemahan KPK.

“Misalnya, MK mendefinisikan ulang pengertian KPK dalam ketentuan umum, Dewan Pengawas (Dewas) posisinya tidak hierarkis dengan komisioner dan tidak melaksanakan tugas pro justicia sehingga KPK tidak perlu izin melainkan cukup pemberitahuan, serta jangka waktu penerbitan SP3 terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan jika ada bukti baru SP3 bisa dicabut,” kata Agil Oktaryal, Peneliti PSHK.

Meski demikitan, PSHK tetap menilai Putusan MK yang menyatakan Pasal 1 angka 3 UU KPK inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “KPK sebagai lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tipikor bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun” adalah penafsiran yang kontradiktif dengan cita-cita hadirnya KPK.

Juga terkait, putusan MK yang menyatakan Dewan Pengawas (Dewas) bukan penegak hukum, tidak melaksanakan tugas pro justicia sehingga tindakan KPK seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan tidak perlu izin Dewas melainkan cukup pemberitahuan memang sekilas baik bila dibandingkan norma yang ada di UU KPK.

“Namun, seharusnya MK mengambil sikap tegas seperti menyatakan inkonstitusinal keberadaan Dewas dan mengembalikan konsep pengawasan KPK seperti sediakala tanpa Dewas,” ungkap Agil.

PSHK juga menilai, putusan MK yang menyebut SP3 bisa dikeluarkan terhitung sejak dikeluarkannya SPDP telah membuat syarat penerbitan SP3 menjadi justru lebih longgar daripada syarat diatur KUHAP.

Selai itu, lanjutnya, putusan MK yang menyebut bahwa SP3 yang dikeluarkan KPK bisa dibatalkan jika mendapatkan bukti baru memang angin segar di tengah polemik SP3 yang dikeluarkan baru-baru ini di kasus BLBI dan tentunya untuk kasus-kasus ke depannya.

“Akan tetapi, MK seharusnya membatalkan kewenangan KPK mengeluarkan SP3 sebagai bentuk kekhususan KPK dibanding penegak hukum lainnya,” jelasnya.

Berdasarkan poin-poin tersebut, PSHK menggap bahwa putusan MK terkait pengujian formil dan materil UU KPK merupakan putusan yang tidak memiliki kadar konstitusionalitas dan gagal menyelamatkan KPK dari keterpurukan yang semakin jauh. (MKR)