Tantangan Lingkungan dan Masa Depan Kebijakan Hijau Pemerintahan Prabowo
Berita Baru, Jakarta – Presiden Prabowo mengumumkan susunan kabinetnya yang diberi nama Kabinet Merah Putih. Salah satu langkah yang diambil adalah memecah beberapa nomenklatur kementerian, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang kini menjadi dua kementerian: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
Penunjukan menteri-menteri di bawah Kabinet Merah Putih menuai perhatian, terutama terkait isu lingkungan hidup. Satya Bumi, sebuah lembaga yang bergerak di bidang lingkungan, menyatakan kekhawatiran terhadap masa depan kebijakan lingkungan di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, kebijakan ekonomi pemerintah yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam seperti sektor pertambangan dan food estate akan memperlambat perubahan progresif dalam pelestarian lingkungan.
“Hal ini didasari oleh kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung masih berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam secara agresif, terutama di sektor pertambangan, dan food estate,” ujar Andi.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo menyatakan bahwa hilirisasi nikel dan proyek food estate akan terus dilanjutkan. Hal ini memicu kekhawatiran karena banyaknya lahan hutan yang terancam alih fungsi. Salah satunya adalah hilangnya hutan alam Indonesia sebesar 1,4 juta hektar selama tahun 2023, yang diprediksi akan terus meningkat.
Kementerian Kehutanan di bawah Raja Juli Antoni juga menghadapi tantangan besar, terutama dalam menghentikan tren deforestasi yang kembali melonjak sejak 2023. Data menunjukkan bahwa deforestasi meningkat sebesar 58,19% pada tahun tersebut, merusak kawasan hutan tropis dan mangrove, serta mengancam habitat satwa seperti Orangutan Tapanuli di Batang Toru dan Orangutan Kalimantan di Kalimantan Barat.
“Proyek-proyek besar seperti perkebunan sawit, tambang, bahkan food estate justru mempercepat kerusakan hutan, serta merusak ekosistem hutan yang seharusnya dilindungi,” jelas Andi lebih lanjut.
Selain itu, penunjukan kembali Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menambah kekhawatiran. Bahlil dikenal sebagai penggerak utama hilirisasi nikel yang telah memicu berbagai masalah lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran akibat limbah tambang. Ekspansi nikel yang agresif ini juga mengancam kawasan keanekaragaman hayati dan stok karbon tinggi.
Tiga kementerian utama, yakni Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan ESDM, diharapkan bersinergi untuk mencapai target Net Zero Emission sesuai dengan Perjanjian Paris. Namun, dengan kebijakan ekonomi yang pragmatis dan lebih condong pada eksploitasi sumber daya alam, banyak pihak yang pesimis bahwa isu lingkungan akan menjadi prioritas utama dalam pemerintahan baru ini.
Andi Muttaqien menambahkan, “Peningkatan deforestasi pada tahun 2023 menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjaga tren penurunan yang terjadi sebelumnya. Kebijakan yang diterapkan tampaknya tidak cukup efektif untuk menghentikan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati.”
Kebijakan ekonomi yang berfokus pada hilirisasi nikel dan proyek-proyek besar tampaknya akan tetap mendominasi arah kebijakan pemerintah, sementara isu-isu lingkungan akan dipandang sebagai masalah teknis yang memerlukan mitigasi minimal.