Sinau pada Yang Lalu: Mendiang Soenarto Pr
Sinau pada Yang Lalu: Mendiang Soenarto Pr
Oleh: Sarah Monica
Mengenal Sosok
Tepat dua tahun yang lalu, 1 April 2018, saya berkunjung ke Yogyakarta dalam sebuah upaya dokumentasi terhadap seorang seniman kawakan yang begitu panjang daftar kontribusi kerja berkesenian dan berkebudayaannya, namun senyap dari gemuruh dan gemerlap popularitas. Memang bukan popularitas yang beliau tuju, melainkan kerja kebudayaan itu sendiri. Kenyataan tersebut mengganggu saya, bahwa alangkah baiknya jikalau publik di luar dunia seni dapat juga mengenal tokoh ini. Katakanlah, sebagai wujud penghormatan kepada seseorang yang sepanjang hayatnya diabdikan pada kesenian, sekaligus merupakan sebuah pembelajaran bagi kita bersama demi menjadi manusia sederhana yang bermanfaat dan tanpa pamrih.
Tokoh yang saya bicarakan adalah Soenarto Pr, atau Soenarto Prawirohardjono. Lahir di Purbalingga, 20 Nopember 1931. Pada hari ketiga di bulan April tersebut, saya akhirnya diizinkan menemui beliau oleh keluarganya karena pertimbangan kondisi kesehatan beliau yang saat itu sedang menurun. Silaturahim ke kediaman beliau sudah pernah saya lakukan di tahun-tahun sebelumnya, akan tetapi kali ini saya merasa “berkejaran dengan waktu”. Saat ditemui, Mbah Narto menyambut saya di kursi rodanya, beliau jauh lebih kurus, sayu, dan kulitnya menghitam. Diceritakan oleh anak perempuannya, Mba Mia (Mirah Maharani), bahwasanya sang Bapak sudah beberapa bulan ini menjalani terapi pengobatan yang mewajibkannya berjemur di bawah matahari pagi setiap hari. Ekspresi Mbah Narto tenang dan terlihat agak merenung. Ketegaran dan semangat hidup belum padam dalam pancaran matanya.
Sebagai perupa, Mbah Narto mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk berkarya dan mengajar lukis. Bahkan hingga waktu perjumpaan saya tersebut, meski dalam keterbatasan kesehatannya, beliau masih sedikit-sedikit melukis, dengan batasan waktu yang ketat tentunya. Gaya lukis andalan beliau ialah potret realis dengan pastel di atas kanvas. Gurunya di ASRI dulu, perupa Fadjar Sidik dan Kusnadi, menyebut beliau sebagai “potretis terbaik di ASRI”. Mbah Narto memang memiliki ketertarikan dan konsistensi dalam melukis tokoh sebagai bagian dari anak karyanya. Di tahun 2010, beliau menyelenggarakan pameran tunggal yang khusus memamerkan potret para tokoh, mulai dari pahlawan, seniman, politikus, hingga ulama.
Dalam rentang panjang pengembaraannya di seni rupa, pernah pada tahun 1981, Soenarto Pr dipercaya untuk membimbing dan mengajarkan melukis kepada pasien Rumah Sakit Jiwa Grogol. Kegiatan berbudi ini memberi wadah bagi pasien dengan kategori yang telah ringan untuk mengekspresikan jiwanya, sehingga sangat membantu dalam proses penyembuhan mental mereka sebelum siap dikembalikan ke masyarakat. Karya-karya terbaik dari para pasien RSJ Grogol tersebut bahkan berkesempatan pameran di Hotel Sari Pacific Jakarta, Desember tahun yang sama. Pembawaannya yang tenang dan sabar menjadi kunci bagaimana Mbah Narto berhasil mengasuh manusia-manusia unik tersebut. Oleh sebab keutamaan sifat itulah, beliau didaulat sebagai ketua Sanggarbambu yang pertama dan terlama.
Raden Saleh Syarif Bustaman (2008) | RA. Kartini (2008) | KH. Hasyim Ashari (2007) Semua lukisan terbuat dari pastel di atas karton, 54×75 cm (Nasirun’s Private Collections) |
Warisan Sanggarbambu
Membicarakan Soenarto Pr memang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari eksistensi Sanggarbambu. Sanggar ini merupakan salah satu sanggar tertua di Yogyakarta, berdiri di tahun 1959. Affandi bahkan pernah mengatakan, “Sanggar yang benar-benar sanggar adalah Sanggarbambu.” Diceritakan di banyak tulisan memoar Sanggarbambu bahwa pendirian sanggar tersebut pada awalnya hanya suatu ketidaksengajaan dari celetukan seorang kawan seniman teater, Kirjomulyo, “To, mau jadi pelukis kok tidak punya sanggar?” Akhirnya dari momen itulah, Sanggarbambu lahir. Para pendiri awal antara lain Soenarto Pr, Kirjomulyo, FX Soetopo, Wardoyo, Mulyadi W, Syahwil, Danarto, Handogo S, hingga kedua adik kandung Mbah Narto pun turut bergabung: Soeharto Pr dan Supono Pr.
Zaman kelahiran Sanggarbambu adalah zaman dimana banyak perkumpulan seni-budaya terkotak-kotakkan oleh ideologi politik. Alhasil, Sanggarbambu memilih memposisikan diri sebagai kelompok kesenian yang non-politis, tanpa afiliasi partai. Sikap ini tegas, baik sebagai individu maupun bangsa. Di perkembangan selanjutnya, Sanggarbambu merumuskan sikap berkebudayaannya tersebut ke dalam:
Ikrar Sanggarbambu
Spektrum kesenian yang dipayungi oleh Sanggarbambu sangat luas, mulai dari seni rupa, teater, sastra, musik, hingga seni kriya. Demi memudahkan kerja kreatifnya, keanggotaan Sanggarbambu berbentuk komisariat yang memungkinan anggotanya memiliki kebebasan berkreasi, tidak bergantung pada organisasi pusat. Pada masa awal kepengurusan Soenarto Pr (1959-1969), komisariat itu terdiri dari tiga macam, antara lain: Komisariat ‘Jiwa’ (Yogyakarta) untuk kaderisasi seniman; Komisariat ‘Nafas’ (Jakarta) untuk pengelolaan usaha-dana; Komisariat ‘Tubuh’ (misi keliling) untuk pameran keliling. Di masa 60-an memang menjadi masa keemasan Sanggarbambu. Berbagai pameran dan pementasan keliling sangat produktif diselenggarakan pada tahun-tahun tersebut. Pengabdian Sanggarbambu pada kesenian telah membawa komunitas seni tersebut ke daerah-daerah sepanjang Jawa Tengah, Jawa Timur, termasuk Madura. Dengan demikian, masyarakat desa pun dapat belajar dan mengapresiasi seni secara langsung. Seni dibumikan sesuai dengan hakikatnya, yakni sebagai bagian dari masyarakat
Banyak kerja seni yang telah dilakukan oleh Sanggarbambu, namun karena keterbatasan dana, sangat sedikit yang terdokumentasikan. Salah satu karya besar Sanggarbambu adalah patung pahlawan ‘Monumen Ahmad Yani’ yang dibuat pada tahun 1966 di Yogyakarta, lalu diangkut ke Jakarta. Patung tersebut sekarang menghiasi halaman Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi A. Yani, di Jalan Lembang, Jakarta. Hingga tahun 2020 ini, Sanggarbambu tetap istiqomah dalam berkarya. Setiap tanggal 1 April selalu merayakan Hari Berdirinya komunitas seniman tersebut dengan bermacam pameran seni rupa, musik, maupun teater. Sebagian besar anggotanya memang sudah sepuh, namun merekalah saksi nyata bagaimana selama 6 (enam) dekade Sanggarbambu tetap bertahan menyusuri gelombang zaman. Prinsip organisasinya yang tercantum dalam salah satu ayat AD/ART, yaitu “Sanggarbambu tidak akan dibubarkan, dan dipertahankan hingga anggota terakhir”.
Menjadi seorang seniman memang membutuhkan begitu banyak pengorbanan, begitu pula di Sanggarbambu. Seringkali demi pelaksanaan sebuah kegiatan seni, para anggota urunan secara sukarela demi menghidupkan organisasi. Dalam sebuah wawancara untuk pameran tunggalnya, Soenarto Pr sendiri mengakui bahwa hidupnya lima puluh persen untuk pribadi, lima puluh persen lainnya untuk Sanggarbambu. Barangkali karena totalitasnnya dalam berkesenian, dalam mengabdikan diri bagi Sanggarbambu tersebut, menyebabkan Soenarto Pr tidak memikirkan untuk membangun kemapanan diri ataupun bagi keluarganya. Dia hidup bersahaja hingga usia senja, diurus oleh anak perempuannya sekeluarga di rumah nan sederhana, daerah Bantul, Yogyakarta.
Ketika mendatangi beliau pada 3 April 2018 itu, sungguh tidak disangka bahwa pertemuan tersebut merupakan pertemuan terakhir. Tiga bulan kemudian Mbah Narto berpulang ke haribaan Tuhan. Saya agak menyesal dengan niat menemui beliau karena “berkejaran dengan waktu”, dan ternyata itulah yang terjadi. Beliau wafat di tanggal 24 Juli 2018, pada usia 86 tahun. Percakapan saya dengan beliau saat bertemu itu cukup singkat, mengingat kondisi kesehatan beliau yang tidak memungkinan untuk berbicara terlalu banyak. Seorang Soenarto Pr, dalam keseluruhan diri dan kehidupannya, sangat menggugah. Maka, saya persembahkan catatan wawancara ini untuk mengenang almarhum Soenarto Pr dengan segala jasa kebudayaan dan amal kemanusiaannya, tepat di hari Sanggarbambu ke-61. Lahul Fatihah.
Sarah Monica adalah sarjana Antropologi Sosial dari Universitas Indonesia, alumni program MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara): Puisi 2017, dan saat ini dirinya bekerja sebagai Associate Researcher di Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities, Universitas Indonesia (AWCPH-UI).
.
Transkrip Wawancara Soenarto Pr
Yogyakarta, 3 April 2018
SM | Mbah Narto bisa tolong cerita tentang Sanggarbambu? Di zaman seperti apa yang dahulu melahirkan Sanggarbambu? |
SPR | Sanggarbambu sejak diresmikan itu bersikap non-politik, non afiliasi partai. Sikap itu individu sekaligus sebagai bangsa, bukan sebagai golongan-golongan. Misalnya, dari awal itu sederhana. Saya kerjasama dengan teman-teman menjadikan ‘Art Gallery Sanggarbambu’. Tapi saya tidak puas dengan itu, saya bikin kegiatan banyak. Apapun saya kerjakan. Terutama seni rupa. Perkembangannya nanti hingga seni teater, seni musik, karena Sanggarbambu sebelumnya sudah kerjasama dengan Kirjomulyo dan FX Soetopo. |
Kirjomulyo itu orang teater, orang terkenal waktu itu. Bahkan pada ulang tahun ketiga Sanggarbambu, lagu puisi “Rumah Bambu”, itu saya yang dekor di Malang, itu lagunya FX Soetopo, puisinya Kirjomulyo. Itu dihadiahkan ke Sanggarbambu, dijadikan ‘Himne Sanggarbambu’. Tiap kali menyanyikan himne dengan berdiri. |
‘Himne Sanggarbambu’
Di sini aku temukan kau
Di sini aku temukan aku
Di sini aku temukan hati
Terasa tiada sendiri.
Pandanglah aku, Pandanglah aku
Aku bicara dengan jiwaku
Dan taruh hati padamu
Di sini aku temukan hati
Terasa tiada sendiri.
Kalau melagukan ini biasanya dua kali. Jadi saya ulang ya?
(Menyanyikan himne sekali lagi).
“Temukan hati Sarah!”
SM | Mbah, Sanggarbambu itu kan berdirinya dengan disiplin kesenian yang berbeda ya. Jadi tidak hanya seni rupa, ada teater, musik, ada sastra. |
SPR | Itu perkembangannya kemudian. |
SM | Berarti yang pertama seni rupa? |
SPR | Yang pertama seni rupa. |
SM | Oh, ya ya. Nah, itu bagaimana mbah bisa kemudian berkembang ke disiplin kesenian lainnya? |
SPR | Ya enggak tahu, karena kita memang sudah bergaul sebelumnya. Seperti Kirjomulyo orang teater terkenal, FX Soetopo juga orang musik yang sudah terkenal. Ya bergabung. Dari situ berkembang. Masing-masing punya kegiatan, jadi jalan terus. Masing-masing berjalan, sekali-kali pada ketemu, tapi jalan sendiri. Komisariat pribadi, tapi Sanggarbambu. Sampai suatu saat saya selama 10 tahun menjadi ketua Sanggarbambu. |
Tahun pertama saya ketua, saya adakan pameran keliling. Sampai sepuluh kota dalam 10 tahun. Padahal pameran keliling itu pameran yang tanpa pamrih, karena kita hanya membuang tenaga, waktu, energi untuk memberikan pengertian pada mereka. Waktu itu zamannya masih sepi. Sampai di Madura, Azain, panitia di Pamekasan dan Sumenep. Pada waktu perpisahan, dia ngomong di rumahnya, | |
“Melihat Sanggarbambu bagaikan lonceng yang berbunyi. Kalau 9 kali yang sembilan kali. Tidak lebih dan tidak kurang.” Dia melihat Sanggarbambu seperti itu. Ya, terima kasih Mas Zain. Drs. Soedjoyo di tahun ’63, Direktur IKIP Madiun, tahu saya keliling di Madiun, dipanggil ke kampusnya untuk memberikan ceramah. Selesai ceramah. Drs. Soedjoyo memberi kertas gulung gede. Saya senang sekali menerima kertas gulung gede. Lalu beliau mengatakan, | |
“Melihat cara kerja Sanggarbambu, bagaikan babad alas. Dan nanti kita jalan sudah diaspal.” Begitu beliau mengatakan. Ada benarnya. Memang babad alas karena waktu itu belum ada apa-apa. “Nanti jalan sudah beraspal”, maksudnya nanti akan ada kegiatan kesenian di daerah-daerah kemudian hari. Itu cara kerja Sanggarbambu. Terima kasih Mas Soedjoyo. | |
SM | Terus mbah ceritain dong, kira-kira apa sih yang membuat Sanggarbambu ini kan didirikannya tahun 1959, kemudian sekarang tahun 2018 masih ada, masih bertahan. Itu bagaimana (sebabnya) Mbah Narto? Faktor apa? |
SPR | Ya karena ridho Allah. Kenyataannya kemarin ulang tahun meriah! |
SM | Iya, kami datang kok. Meriah. |
SPR | Datang? |
SM | Datang langsung dari Jakarta. |
SPR | Saya justru enggak bisa. Saya membayangkan kemeriahannya dari rumah. |
SM | Mbah Narto terima kasih sekali, wawancaranya sudah selesai. |
SPR | Iya, ya itu tadi karena Ridho Allah SWT. |
Referensi:
- Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu, 2003: Kemendikbud
- Lukisan Orang-orang Guncang, 12 Desember 1981: Koran Tempo
- Katalog Pameran Tunggal Soenarto Pr, 3-12 Agustus 2010: Bentara Budaya Yogyakarta