Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kekerasan Gender
Poster yang menunjukkan pemberian hormat kepada perempuan yang memerangi pandemi. Foto: World of Letter/CSIS.

Seperempat Abad Deklarasi Beijing: Kekerasan Berbasis Gender dan Peran Perempuan di Tengah Pandemi



Berita Baru, Jakarta – Pada bulan April, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa kombinasi tekanan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pandemi, serta pembatasan sosial, secara dramatis meningkatkan jumlah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di hampir semua negara.

“Penelitian oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) … perempuan yang mengalami pelecehan fisik atau seksual dua kali lebih mungkin melakukan aborsi, dan pengalaman itu hampir menggandakan kemungkinan mereka untuk melakukan aborsi hingga jatuh ke dalam depresi. Di beberapa wilayah, mereka 1,5 kali lebih mungkin tertular HIV, dan ada bukti bahwa perempuan yang dilecehkan secara seksual 2,3 kali lebih mungkin mengalami gangguan alkohol,” tulis pernyataan PBB.

Pada saat yang sama, Sekjend PBB Antonio Guterres juga mendesak semua pemerintah untuk mengutamakan keselamatan perempuan saat mereka menanggapi pandemi.

“Perdamaian bukan hanya tidak adanya perang. Banyak perempuan diisolasi menghadapi kekerasan selama pandemi Covid-19 di mana mereka seharusnya paling aman: di rumah mereka sendiri. Hari ini saya memohon perdamaian di rumah-rumah di seluruh dunia,” cuit Guterres di Twitter, 6 April.

Hal senada juga dikatakan oleh Erol Yaboke selaku Wakil Direktur dan Rekan Senior, Proyek Kesejahteraan dan Pembangunan CSIS dalam Brief CSIS: Elevating Women Peacebuilders amidst Covid-19, 10 Agustus, bahwa pandemi Covid-19 memperburuk kondisi perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.

Seperempat Abad Deklarasi Beijing: Kekerasan Berbasis Gender dan Peran Perempuan di Tengah Pandemi
Peta sebaran kekerasan politik yang menargetkan perempuan. Sumber: CSIS

Tidak hanya itu, Yaboke juga memperingatkan bahwa ‘pandemi bayangan kekerasan berbasis gender (KBG) sedang berkembang, di mana perempuan kini dikecualikan dan dipinggirkan dari semua bidang pengambilan keputusan, termasuk upaya penanggulangan dan pemulihan Covid-19.’

Peran Perempuan Di Masa Pandemi

Padahal, perempuan menunjukkan kekuatan yang patut dicontoh saat memerangi Covid-19 di komunitas mereka. Perempuan emansipatoris mampu mendidik komunitas lokal tentang menahan dan mencegah penyebaran Covid-19 dan memberikan layanan penyelamatan nyawa kepada pria, perempuan, dan anak-anak.

Para pemimpin perempuan, termasuk Angela Merkel, Jacinda Arden, dan Sanna Marin, dipuji karena kepemimpinannya yang efektif dalam merespons Covid-19. Mereka juga menunjukkan ketahanan terbesar dalam memerangi Covid-19 di komunitas mereka.

“Perempuan telah lama merancang dan melaksanakan pendekatan inovatif untuk menyelesaikan konflik dan memfasilitasi perdamaian dan rekonsiliasi,” catat Yaboke.

Selama pandemi, perempuan juga terlibat aktif dengan organisasi pengembangan konten dan pemasaran sosial untuk menyoroti upaya perempuan dalam upaya memerangi Covid-19.

Misalnya, di Yordania, sebuah organisasi yang dikenal sebagai World of Letters membuat poster yang berisi pemberian hormat kepada perempuan yang memerangi virus baik perempuan itu sebagai pilot militer, dokter, teknisi medis, perawat, maupun ilmuwan.

  • Seperempat Abad Deklarasi Beijing: Kekerasan Berbasis Gender dan Peran Perempuan di Tengah Pandemi
  • Seperempat Abad Deklarasi Beijing: Kekerasan Berbasis Gender dan Peran Perempuan di Tengah Pandemi
  • Seperempat Abad Deklarasi Beijing: Kekerasan Berbasis Gender dan Peran Perempuan di Tengah Pandemi

Poster yang menunjukkan pemberian hormat kepada perempuan yang memerangi pandemi dari berbagai sektor dan profesi. Foto: World of Letter/CSIS.

Gambar-gambar ini telah menjadi bagian dari kampanye media sosial yang menunjukkan kontribusi perempuan Yordania dalam menanggapi Covid-19. Dengan menggambarkan perempuan dengan cara-cara yang kuat ini, organisasi-organisasi ini mengirimkan pesan bahwa perempuan tidak hanya penting selama pandemi global, tetapi mereka akan terus menjadi penting setelah pandemi mereda.

Situasi di Indonesia

Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, tercatat bahwa Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%) artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat.

Karena itu, Komnas Perempuan memperingatkan bahwa pada ‘situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.’

Situasi seperti itu tentu membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada perempuan. Selama pandemi Indonesia juga sedang berada dalam situasi diskusi alot terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU Ketahanan Keluarga, dan Omnibuslaw.

Pada tanggal 11 Juli, Duta Adaptasi Kebiasaan Baru Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro melaporkan bahwa peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 75 persen sejak pandemi Covid-19.

Mengutip Tempo, kekerasan berbasis gender ini terjadi di wilayah pribadi, seperti di rumah dan di wilayah publik, seperti di tempat kerja atau di tempat umum.

Menciptakan Landasan Kepemimpinan Perempuan Pasca pandemi

Perempuan yang terlibat dalam upaya respons dan pemulihan Covid-19, baik sebagai petugas kesehatan, pemimpin organisasi, relawan, atau penjaga perdamaian, harus terus memimpin dan berpartisipasi secara bermakna dalam proses perdamaian dan politik pascapandemi.

Berkali-kali, perempuan telah membuktikan bahwa mereka dapat memimpin secara efektif pada saat krisis, tidak terkecuali Covid-19. Misalnya saja di Ethiopia, di mana ebih dari 40.000 perempuan telah berhasil meningkatkan kebersihan, memantau kasus baru, dan memerangi Covid-19 yang telah menginfeksi lebih dari 5.000 orang lebih di Ethiopia, menurut FP News.

Contoh lain mungkin peran Angelique Abiola yang berhasil mengungsikan lebih dari 70.000 pengungsi Kongo pada tahun 2015, menurut Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa‑Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR).

Atau mungkin organisasi Women in Peacebuilding Network (WIPNET) Liberia di mana mereka melakukan protes anti-perang besar-besaran hingga akhirnya menghasilkan penandatanganan Perjanjian Damai Accra 2003.

Sementara itu, bulan depan, tepatnya tanggal 4-15 September, tepat seperempat abad Deklarasi dan Landasan Aksi Beijing 1995 atau dikenal dengan Resolusi 1325 PBB.

Deklarasi itu mempunyai arti penting karena memuat landasan, strategi, indikator, dan kerangka aksi pemberdayaan dan kemajuan perempuan, penegakan hak asasi manusia dan keterlibatan dalam pembangunan.

Menciptakan landasan kepemimpinan perempuan pascapandemi bisa menjadi agenda khusus untuk memperingati deklarasi itu. Dalam menciptakan landasan itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya:

Pertama, libatkan perempuan dan organisasi hak-hak perempuan di semua bidang pengambilan keputusan selama dan setelah Covid-19.

Kedua, berikan dana, integratisakan, dan dukung setiap upaya untuk meningkatkan suara perempuan dalam penanggulangan Covid-19, seperti yang dilakukan oleh World of Letters.

Ketiga, membentuk badan antarlembaga perempuan dengan tujuan utama mengoordinasikan secara menyeluruh gerakan perempuan.

Keempat, mengatasi dan akhirnya memberantas kekerasan seksual di semua wilayah, baik di lingkungan seperti sekolah dan kantor, maupun di lingkungan nonformal seperti di kafe, dan fasilitas umum, juga di lingkungan pribadi maupun umum.