Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian selama konferensi pers bersama di Moskow, Rusia 15 Maret 2022. Foto: Pool/Reuters.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian selama konferensi pers bersama di Moskow, Rusia 15 Maret 2022. Foto: Pool/Reuters.

Rusia Klaim Dapat Jaminan Tertulis dari AS atas Kesepakatan Nuklir Iran



Berita Baru, Iran – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengklaim Rusia dapat jaminan tertulis dari AS atas kesepakatan nuklir Iran, bahwa sanksi Barat terhadap Rusia atas Ukraina tidak akan mempengaruhi kerja sama Rusia dengan Iran dalam kerangka Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).

Hal itu disampaikan Lavrov pada sebuah pernyataan saat ia menjamu mitranya dari Iran, Hossein Amirabdollahian, untuk melakukan pembicaraan di ibukota Rusia pada hari Selasa (15/3).

Pernyataan itu menandakan bahwa sanksi dari Barat atas invasi Rusia ke Ukraina tidak akan menghalangi kesepakatan Rusia dengan Iran di masa depan.

Rusia mengajukan permintaan itu pekan lalu di tengah laporan kesepakatan yang akan segera terjadi setelah lebih dari 11 bulan kekuatan dunia dan Iran melakukan negosiasi untuk memberlakukan kembali JCPOA.

AS menyebut permintaan Rusia di menit-menit akhir disahkannya JCPOA sebagai sesuatu yang “tidak relevan”. Sementara negara-negara yang disebut E3, yaitu Prancis, Jerman dan Inggris, juga memperingatkan itu dapat menyebabkan upaya di Wina selama 11 bulan sia-sia.

Dalam konferensi pers bersama, Lavrov dan Amirabdollahian menolak bahwa permintaan Rusia tersebut sebagai “hambatan”, dan menyerukan agar perjanjian nuklir yang ditinggalkan sepihak oleh AS pada tahun 2018 kembali berlaku.

“Kami menerima jaminan tertulis. Mereka termasuk dalam teks perjanjian itu sendiri tentang dimulainya kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) pada program nuklir Iran,” kata Lavrov.

Sementara itu, Amirabdollahian mengatakan “tidak akan ada hubungan antara perkembangan di Ukraina dan pembicaraan Wina”.

“Jika kita mencapai kesepakatan dengan AS tentang isu-isu yang tersisa yang berhubungan dengan beberapa garis merah utama Iran, berdasarkan pembicaraan saya dengan Tuan Lavrov hari ini, Rusia akan tetap berada di samping Republik Islam Iran sampai mencapai kesepakatan yang baik dan berkelanjutan, terus memainkan peran konstruktif yang telah dimainkannya sejak awal,” imbuh Amirabdollahian, dikutip dari Aljazeera.

Amirabdollahian juga menekankan bahwa Iran sekarang menjadi pihak yang “kuat dan independen” dalam pembicaraan dan tidak akan membiarkan tekanan untuk mencegah kerja samanya dengan negara mana pun.

Dia juga meminta AS untuk meninggalkan “tuntutan berlebihan” sehingga kesepakatan dapat dicapai sesegera mungkin.

Dalam pertemuan antara Amirabdollahian dan Lavrov itu juga membahas sejumlah masalah, termasuk Ukraina dan urusan regional seperti perkembangan di Afghanistan, Suriah dan Yaman.

Menteri luar negeri Rusia berterima kasih kepada Iran atas pendekatan “objektif” terhadap perang di Ukraina, yang disebut Moskow sebagai “operasi militer khusus”, dan penolakannya terhadap sanksi yang diluncurkan oleh negara-negara Barat.

Rekannya dari Iran, yang membawa pesan dari Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba yang mendesak diakhirinya pertempuran, menegaskan kembali sikap Iran bahwa akar krisis dapat ditelusuri sejak ekspansi NATO, dan bahwa Iran menentang perang dan menyerukan solusi politik.

Memperluas hubungan bilateral juga menjadi agenda. Untuk tujuan ini, Amirabdollahian mengundang Lavrov untuk mengunjungi iran di masa mendatang. Lavrov menerima undangan tersebut.

Lavrov memuji peningkatan perdagangan Iran-Rusia, yang katanya telah melebihi $ 4 miliar per tahun untuk pertama kalinya meskipun di tengah pandemi virus corona.

Lavrov juga mengatakan perjanjian kerja sama bilateral baru yang diusulkan Iran akan segera ditandatangani.

Perjalanan Amirabdollahian mengikuti kunjungan ke Kremlin oleh Presiden Ebrahim Raisi pada bulan Januari.