Riza Damanik: Laut bukan saja Potensi, tapi Kekuatan
Berita Baru, Tokoh – Sejarah Nusantara adalah sejarah tentang laut. Banyak kerajaan Nusantara secara historis merupakan pusat perdagangan dunia sekaligus titik pertemuan antarperadaban yang sangat beragam.
Di waktu yang sama, menurut Muhammad Riza Damanik Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, itu jugalah yang menjadi landasan (historis) di balik proyek Poros Maritim Dunia Presiden Joko Widodo pada 2014 selain Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.
Bagi Riza, proyek ini adalah teroboson Jokowi yang perlu mendapatkan apresiasi. Ini semacam upaya “menuju Indonesia emas 2045” melalui “kembali ke laut”.
Ada beberapa alasan kenapa demikian. Pertama, potensi laut Indonesia tinggi, namun tingkat eksplorasinya sangat rendah. Sampai detik ini bahkan, kata Riza, eksplorasi laut kita masih berada di angka 10%.
“Iya, memang demikian, karena keterbatasan armada, hanya sedikit dari nelayan kita yang bisa melakukan eksplorasi melebihi 12 mil dari pantai. Bayangkan jika kita bisa menambah 50% saja eksplorasi kita,” ungkap Riza dalam sesi Bercerita ke-52 Beritabaru.co pada Selasa (22/6).
Kedua, konsumsi ikan warga dunia mengalami peningkatan sebanyak 3,1% setiap tahunnya. Ketiga, konsumsi warga Indonesia pun pada 2020 mencapai 52% dari yang mulanya 18% di tahun 1998.
Dua poin terakhir menunjukkan pasokan ikan dalam dan luar negeri meningkat, sehingga tentu adalah peluang tersendiri bagi kita untuk turut memberi pasokan.
“Bahasa lainnya, ini adalah waktu yang tepat untuk kembali fokus pada laut, mendukung sepenuhnya nelayan, perbaikan fasilitas, dan sebagainya, ” jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) ini.
Melampaui potensi
Proyek Poros Maritim Dunia adalah mendasar, namun untuk mewujudkannya siapa pun harus bersiap-siap tirakat. Pasalnya, seperti Riza sampaikan, bicara poros maritim, maka bicara tentang sumber daya manusia, sumber daya alam, dan infrastruktur.
Terhitung sampai tahun ini, boleh dibilang kita kekurangan pemuda yang memiliki perhatian pada laut. Banyak pemuda kita cita-citanya masih ingin menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Begitu pun dengan sumber daya alam. Dari segi potensi laut memang masih banyak yang bisa dieksplorasi, tetapi dari segi spesies ikan, menurut penelitian Riza, ada beberapa ikan yang sudah jarang sekali nelayan menemukannya di perairan Indonesia.
Ikan Lemburu yang biasa ditemukan di Selat Bali contohnya. Satu dekade lalu, Lemburu masih kerap ditangkap nelayan, namun tidak dengan hari ini.
Adapun tentang infrastruktur, lanjut Riza, kita sangat tertinggal, dalam arti ada banyak sekali pekerjaan rumah yang harus pemerintah selesaikan. Beberapa darinya adalah perbaikan industri perikanan, energi laut dari angin atau pasang surut, wisata bahari, budi daya rumput laut, dan armada nelayan.
“Laut kita tidak cukup hanya kita jadikan potensi, tapi harus jadi kekuatan dan kita bisa memulainya dengan tiga hal ini,” ungkap Riza dalam diskusi yang ditemani oleh Aulina Umaza ini.
Kompleksitas lautan kita
Laut dan masyarakat adalah dua kata yang kompleks. Laut kita kaya, sangat bisa dijadikan kekuatan, tetapi masyarakat di sekitarnya justru menjelma kantong-kantong kemiskinan, bahkan kekumuhan.
Ini adalah persoalan, bahkan paradoks. Beberapa upaya mutlak dibutuhkan entah sebagai penebusan dosa dari pemerintah setelah puluhan tahun mereka abai maupun sebagai strategi untuk bangkit.
Ada tiga (3) hal setidaknya yang sedang diupayakan pemerintah untuk mengatasi kompleksitas laut kita, yaitu perbaikan di wilayah undang-undang, hubungan antarkementerian lembaga, dan pemindahan fokus wilayah eksplorasi.
Pertama penting untuk menjamin kesejahteraan nelayan, meliputi subsidi armada, asuransi, dan sebagainya, yang saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
“Soal regulasi kita sudah mengalami perbaikan, ya. Jadi, persoalannya tinggal di level implementasi,” ujarnya.
Kedua lebih pada strategi untuk membangun sinergi antarkementerian lembaga agar tidak tumpang tindih dalam kaitannya dengan laut. Adapun terakhir lebih pada upaya pemerintah untuk memindah aktivitas maritim yang selama ini terpusat di Barat menjadi di Timur.
“Kenapa? Soalnya 60% potensi perikanan kita ada di Timur Indonesia, tapi 59% armada kita termasuk 69 – 70% pelabuhan ada di Barat. Jadi, ini tidak sinkron dan melalui program tol laut, kita akan merombak itu,” ulas Riza.
“Di atas semua, yang jelas di sini harus ada kebijakan anggaran yang pro-laut untuk kepentingan inovasi dan teknologi, seperti inovasi di bidang jaring ikan dan armada nelayan,” pungkasnya.