Ratna Juwita: APBN Harus Dikelola Secara Transparan, Inklusif dan Responsif Gender
Berita Baru, Jakarta – Anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ratna Juwita Sari menjadi salah satu penanggap dalam diskusi yang digelar Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada Kamis (8/10) kemarin.
Diskusi bertajuk “Janji Palsu APBN 2021?” tersebut dilakukan secara virtual atas kerjasama Seknas FITRA dengan Knowledge Sector Initiatives (KSI). Selain itu Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kebijakan Strategis Yustinus Prastowo juga turut hadir dalam kegiatan tersebut.
Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan menjelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2021 yang telah ditetapkan melalui Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu, mengandung sembilan “janji palsu”.
Misbah menjelaskan janji palsu pertama adalah penetapan pertumbuhan ekonomi 5 persen terkesan pencitraan.
“Penetapan proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga 5% di tengah resesi ekonomi termasuk over ambisius, mengingat pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua dan ketiga 2020 mengalami kontraksi cukup dalam -5,32 dan -3 persen,” tuturnya.
Kedua, optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja sekedar retorika. Ketiga, realisasi penerimaan perpajakan selalu di bawah target. Keempat, penerima insentif usaha sering tidak tepat sasaran. Kelima, BUMN berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara. Keenam, Kesehatan menjadi prioritas di tengah pandemi, benarkah? Ketujuh, belanja infrastruktur tinggi, tapi bukan untuk fasilitas Kesehatan. Kedepan, utang negara masih aman, tetapi semakin membebani APBN. Kesembilan, anggaran COVID-19 belum responsif gender.
Sementara itu, Ratna Juwita menceritakan bahwa proses pembahasan RAPBN 2021 sangat menantang, karena berada dalam situasi krisis dan ketidakpastian global akibat COVID-19.
“Kita benar-benar berdimanika dalam krisis dan ketidakpastian. Pengalaman saya membahas RAPBN 2021, baik ketika di Banggar maupun ketika di Komisi VII, sangat tidak mudah dan sangat menantang,” tutur Ratna.
Politisi perempuan muda asal Tuban tersebut juga menegaskan bahwa tugas dirinya sebagai anggota DPR RI adalah menjalankan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan untuk memastikan APBN disusun dan dilaksanakan secara konstitusional.
“Fungsi Anggaran dan Fungsi Pengawasan DPR dijalankan untuk menjaga APBN disusun dan dilaksanakan secara Konstitusional. Inilah mandat UUD 1945 pasal 23 ayat (1) yang mengatur APBN,” jelasnya.
Di tengah pertumbuhan ekonomi tahun 2020 yang dipekirakan masih tumbuh minus sampai akhir tahun, ia menyebut target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 5 persen hanya dapat diraih dengan kerja keras.
“Meskipun ada contoh baik dari China, bisa Rebound dari minus ke positif saat COVID-19; Tetapi proyeksi Rebound Ekonomi RI 2021 jadi 5,0% sangat perlu kerja keras,” urainya.
Ia juga menyoroti postur APBN 2021, khususnya pada aspek pendapatan negara. Politisi PKB tersebut menilai pemerintah harus terus waspada dan dapat meningkatkan pendapatan negara yang tercatat turun Rp217 triliun dibanding tahun 2019.
“Pekerjaan rumah Pemerintah adalah meningkatkan kinerja Penerimaan Negara, karena masih turun Rp217 T dibanding 2019,” tegasnya.
Dari sisi belanja, Ratna mengapresiasi Dana Desa yang masih dialokasikan hampir setara dengan 10 persen terhadap Transfer ke Daerah. Namun, ia menggugat tidak adanya alokasi Dana Abadi Pesantren sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren.
“Saya masih kecewa karena dalam APBN 2021 ini tidak ada lagi anggaran bantuan pesantren. Selain itu amanat UU Pesantren agar pemerintah mengalokasikan Dana Abadi Pesantren juga belum ditepati oleh pemerintah,” ungkapnya.
Dalam konteks yang lebih substantif, istri Ketua KONI Tuban tersebut menegaskan kepada pemerintah agar mengelola APBN secara transparan, karena hal itu merupakan amanat konstitusi dan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Keterbukaan informasi Anggaran Negara merupakan pengamalan Konstitusi dan UU KIP. Transparansi anggaran yang berkualitas, akan meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata publik,” katanya menegaskan.
Anggota Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) tersebut juga menggaris bawahi bahwa proses perencanaan dan penganggaran, khususnya APBN, wajib mengarusutamakan keadilan gender dan inklusi sosial.
“APBN harus memperhatikan asas keadilan dan pemerataan, serta harus mengarustumakan keadilan gender dan inklusi sosial. Kebijakan anggaran tidak boleh diskriminatif,” pungkasnya.