Radikalisme Bermutasi, Ini Kiat Mutakhir Mengatasinya
Berita Baru, Jakarta – Sejak tahun 1990-an radikalisme menjadi isu yang menyita perhatian banyak pihak dan bahkan yang terakhir hal tersebut dikabarkan telah mengalami mutas dalam metode dan pergerakannya.
Menurut Siti Rofiah Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, salah satu perubahan yang yang terjadi dalam tubuh kelompok radikal adalah sasaran perekrutan.
Dulu, tegas Rofiah dalam diskusi Peace Talk ke-2 Wahid Foundation bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), skema yang mereka ambil adalah fokus pada masyarakat awam.
“Iya, pada kisaran tahun 1996 objek sasaran mereka adalah orang-orang awam atau yang tidak berpendidikan formal tinggi,” kata Rofiah pada Sabtu (11/21).
Namun, satu dekade kemudian sasaran mereka bergeser pada kalangan muda dan sedang menempuh pendidikan atau mahasiswa.
Bagi Rofiah, hal inilah yang menjadikan penelitian yang dilakukan Badang Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Agama (Depag) tahun 1996 tentang radikalisme di perguruan tinggi tidak lagi relevan.
Dalam penelitian tersebut, ungkapnya, ditemukan bahwa paparan radikalisme di perguruan tinggi umum lebih banyak terjadi daripada di perguruan tinggi berbasis keagamaan.
“Itu tahun 1996. Pada 2010, temuan Depag tersebut terbantahkan dengan terlibatnya 3 mahasiswa UIN Jakarta dalam tindakan pengeboman dan data menyebut bahwa 58,2% mahasiswa UIN Jakarta setuju mengubah Indonesia menjadi negara Islam,” papar Rofiah.
“Kenapa bisa demikian? Pertama, ini berhubungan dengan diubahnya IAIN menjadi UIN yang dengan ini, mahasiswa yang masuk tidak saja dari golongan santri. Kedua, ya itu tadi, bahwa kelompok radikal telah bermutasi secara pendekatan,” imbuhnya.
Desa adalah kunci
Dalam diskusi yang dipandu oleh Wilson Therik Dosen UKSW Salatiga ini, narasumber lainnya Izak Y. M. Lattu menengarai bahwa hari ini tumpuan untuk menangani radikalisme ada di desa, mengetahui paparannya yang sudah menyusup ke perguruan tinggi.
Menurut Izak desa adalah ruang paling masuk akal dan mendukung untuk dijadikan apa itu yang disebut sebagai ruang damai.
Izak mengungkap beberapa alasan mengapa demikian. Pertama, karena di desa jarang terjadi kekacauan berdasarkan agama layaknya di kota.
Kedua, lembaga pendidikan di desa masih relatif bersih dari infiltrasi gerakan fundamentalis, sehingga aman dari tindakan-tindakan diskriminatif seperti yang terjadi di kota-kota.
Ketiga, akses internet lebih banyak di kota. Akibatnya, narasi kebencian baik dari segi produsen atau pun konsumen banyak beredar di perkotaan.
“Di sisi lain, di desa nilai-nilai masih dijaga dengan baik yang ketika merayakan suatu tradisi, berbagai lapis masyarakat bisa guyub dan rukun melaksanakannya, tanpa terkotakkan oleh agama ini atau agama itu,” ungkap Direktur Pusat Studi Agama, Pluralisme dan Demokrasi (PusAPDem) tersebut.
Di waktu bersamaan, lanjut Izak, berpijak pada terbaginya ruang menjadi tiga—ruang persepsi, ruang konsep, dan ruang hidup—desa adalah suasana yang paling tepat untuk dinisbahkan sebagai ruang damai.
“Iya, ruang damai. Suatu ruang ketika di dalamnya orang-orang berinteraksi secara tulus, apa adanya, dan tidak terprovokasi oleh adanya perbedaan di antara mereka,” jelasnya.
Desa Damai dan kesejahteraan masyarakat
Persoalan desa, berdasarkan pemaparan dari narasumber terakhir Siti Kholisoh, Wahid Foundation juga memiliki program yang disebut sebagai Desa Damai.
Secara umum, kata Olis sapaan akrabnya, program ini memiliki visi yang sama dengan desa yang telah diulas Izak.
Hanya saja, Program Desa Damai lebih pada pendampingan, pemberdayaan, dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan Desa Damai untuk melakukan pekerjaan tersebut, yakni pemberdayaan ekonomi, mekanisme berkelanjutan, pembangunan perdamaian, dan penguatan peran perempuan.
“Melalui pendekatan ini, program Desa Damai sebetulnya juga sedang mempromosikan kesejahteraan,” tutur Senior Media dan Kampanye Wahid Foundation ini.
Olis menyampaikan, istilah damai yang dimaksud di sini merujuk pada suasana damai berkelanjutan, yang ketika Wahid Foundation sudah tidak mendampingi, masyarakat tetap bisa melakukannya, bahkan menginisiasinya.
“Satu hal lagi yang penting diceritakan adalah bahwa dalam program ini kami juga memberikan pendampingan serta dorongan khusus pada kelompok perempuan, mak-mak, di desa-desa agar mereka berani untuk mengambil peran,” ujarnya.
“Setidaknya, para perempuan bisa masuk pada jajaran pemerintah desa dan turut berperan dalam pengambilan kebijakan,” imbuhnya.
Sebagai tambahan, Peace Talk Wahid Foundation merupakan serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk menyebarluaskan dan mempromosikan Program Desa Damai tersebut di universitas-universitas.
Tujuannya agar komunitas pemuda, civitas akademika dan mahasiswa dapat dengan mudah mempelajari model-model Perdamaian, menjadi terinspirasi untuk membangun gerakan perdamaian, dan lantas dibagi bersama.
“Setiap pihak memiliki cerita dan perjuangannya yang khas, sehingga penting untuk dibagi satu sama lain,” kata Mujtaba Hamdi Direktur Eksekutif Wahid Foundation dalam sambutannya.