Puisi-Puisi Isbedy Stiawan ZS: Hujan dan Penantian
Menepi
kau menjauh dari gaduh
seperti petapa, kau sunyi!
kau hirup jiwa kahfi
memilih goa amat lama
jauh dari hiruk
menghitung jumlah tasbih
sejak kau ditepikan
makin tersudut dalam sunyi
tiada lagi namamu disebut
kecuali ini hari
aku amat haru!
kau melesat melangkah
membuka pintu langit
bukan sebagai suni atau syiah
2021
Hujan dan Penantian
(1)
hujan dan penantian
aku dengar langkahmu
menjauh. kau ingin
teduh, kumau dekatmu
menyanyikan lagu
dulu kita tembangkan
di kamar terkunci
alangkah hening
selain gemerincing
gelas di meja
— semakin dingin —
tapi tidak bibirmu
tak pernah kering
hujan telah mampir
membentang sungai
untukku berenang
seharian kutunggu
dari berharihari penantian
sampai jumpa juga,
bercakap kita di kota
singgah ini,
suatu siang
yang hujan
kulihat sungai
di bibirmu di matamu
di getar
langit luar kita
(2)
karena hujan
aku jadi patung
dikutuk di kedai
tiada tamu
tak ada kau
berkunjung
alangkah bisu!
2020/2021
Menunduk di Taman Kota
ini kali kupilih lempung
berhadaphadapan, kau ingat
namaku. kucatat dirimu
kelak jadi gelas dan tubuhku
menunduk di taman kota
Selalu
Selalu jumpa lelaki ini,
selalu di kafe atau kedai
memilih kursi di depanku
di meja yang sama
seakan ingin memburuku
ke mana aku tuju
Selalu saja kutemui
lelaki ini, selalu di kedai
atau kafe. ia pilih kursi
di depanku — sering pula
di sebelahku — ingin buru
langkahku, juga usiaku
14 Februari 2021
Sisa Tubuhku
di pantai yang dulu aku bermain
kau masih lihat sisa tubuhku
yang di pasir itu. mungkin masih
kau rasakan desah napasku,
lenguh hasratku, juga gemericik
ombak membentur diriku
kau ingin memeluk, tapi gelombang
kembali membentur. hilang diriku,
rumahrumahanku. impianku tentang
rumah yang berdinding pasir + karang
menatap kejauhan
laut gelombang
Lukisan di Alis Mata
berapa lama kau lukis awan
di alis matamu, aku sekarang
suka berteduh di sana. Dari
nyengat matahari, oleh terik
udara yang bara
di lukisan awan di alis matamu
peta yang belum kutahu kini
bisa kususuri. hingga jemarimu
teremas oleh tanganku
selembar peta jadi lusuh
awan dalam lukisanmu
selalu kuhampiri untuk teduh
lalu, berapa lama kau sediakan
diriku jika ingin sampai pada
lukisan di alis matamu?
Mata Silau
setelah percakapan sesore itu
akan kau jadwal ulang di halaman
awal catatanmu
“kita perindu, selalu dirundung
ingin bertemu,” tulismu. hurufhurufnya
kemilau,
mataku silau
saat telapak tanganmu kugenggam
dan tenggelam dalam jemariku,
tibatiba laut itu bergolak,
jadi gelombang dahsyat
mungkin engkau tak merasakan
karena kujaga di dekapan
2021
Isbedy Stiawan ZS,lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublisakan di pelbagai media massa terbitan Jakarta dan daerah, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain.
Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020)