Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Di Rumah Ini, Kesepian Telah Menjelma Laba-Laba | Cerpen: Dody Widianto
Ilustrasi: Moldy

Di Rumah Ini, Kesepian Telah Menjelma Laba-Laba | Cerpen: Dody Widianto



Setelah tubuh ibu berhasil dibeli seseorang, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Mendedarkan sulur benang-benang putih halus. Tersambung dari sudut ke sudut. Mencoba merakit waktu. Memilin rindu. Membangun sarang masa lalu. Dalam rongga cinta yang tak bisa diterjemahkan dengan huruf dan angka-angka. Dalam gurat takdir yang tak bisa dijangkau logika manusia.

Di rumah ini, sunyi telah mengubah tubuhya jadi gula-gula kapas. Tidak manis. Lengket. Memblokade pantat panci dan wajan yang gosong dan tergantung di tembok dapur. Bersebelahan dengan rak piring berisi gelas-gelas kosong. Berdebu. Di sana, piring-piring ikut tergeletak tak berdaya. Berjajar, bersisian. Menyisakan bau apak setelah ditinggal pemiliknya. Bertahun-tahun. Pun, dengan lantai semen kasar tanpa aci halus yang kami injak, bau lembap mengudara. Mengabarkan berita jika rumah ini telah lama dilupakan. Dua sendok makan stainless berpelukan di bawah kaki rak. Entah bagaimana mereka ada di situ. Mungkin ulah tikus kelaparan. Mencoba mengabiskan sisa gurih di ujungnya.

Seekor kecoa muncul dari bawah lemari penyimpan makanan. Seakan menyapa, “Hey, siapa kamu?” Di belakangku, istriku cepat mencengkeram pundakku. Menjerit. Geli. Jijik. Mulutku cepat berucap hus-hus, dan seperti kebanyakan kecoa, ia malah menantang. Mendekat ke depan ujung kaki. Mengajakku kenalan. Membuat istriku semakin jijik. Aku memberi tanda. Meminta istriku untuk duduk santai saja di kursi meja makan. Lap di tangannya ia berikan padaku. Masih menggedikkan bahu. Jijik. Bilang ingin menemui anak-anak di ruang tamu. Mereka sedang membersihkan kursi-kursi dan jendela dari debu dan sarang laba-laba.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Tanpa bapak, aku dibesarkan ibu dengan kasih dan cinta yang begitu banyak. Berdua saja. Tanpa saudara. Tanpa siapa-siapa. Aku mendongak ke atas. Di ruang dapur ini, atap yang tanpa plafon, aku bisa melihat dengan jelas tiga buah genteng melorot. Menyisakan sedikit genangan tepat di depan meja kompor gas. Semalam hujan. Baunya teduh. Namun, aroma ini berbeda dengan keteduhan tubuh ibu.

Dapur rumah kami memang tak sebagus yang pernah aku lihat. Jika ibu pulang, ia sering membawa pamflet iklan apartemen atau rumah-rumah cluster. Ada wastafelnya. Ada tirai transparan dengan motif bunga birkin yang menutupi jendelanya. Aku bisa merasakan bau wangi tirai itu tanpa menciumnya. Ada rak bumbu yang menggantung di tembok, dengan desain kotak dan bulat-bulat yang saling mengait. Sebuah rak yang bagiku lebih mirip hiasan dinding. Unik dan lucu. Mungkin begitulah cara mereka menawarkan dagangan. Agar cepat laku.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Di belakang meja kompor, sebilik ruang kamar mandi mungil dengan bak plastik semeter kubik. Sebelahnya toilet duduk dengan lantai yang mulai menghitam. Dulu ibu senang sekali dengan gambar lantai dasar keramiknya. Desain polkadot merah dan ungu. Terlihat unyu. Sekarang lain lagi. Sedikit menyisakan bau. Juga rindu. Satu lantai di pojok kamar mandi yang bersisian dengan tembok terlihat retak. Menyembul. Menunggu pecah. Semuanya seakan telah menanti kami berbenah.

Aku melihat setengah air di bak kamar mandi plastik warna biru. Di dasar, butir-butir hitam bergerombol. Seperti pasir. Melihat pandangan tajamku, mereka seakan takut jika sendirian saja. Puluhan jentik-jentik nyamuk berjoget ria membuat mataku menyala. Naik turun. Tenggelam dan mengambang. Mirip anak-anakku yang sedang bermain di kolam renang. Namun, tidak seperti kecoa yang ramah menyapa. Mereka tak acuh dengan kedatanganku.

Setelah ibu pergi, kesepian di rumah ini telah menjelma laba-laba. Terdiam. Santai. Menunggu waktu membuat rapuh dan melapukkan kenangan di dalamnya. Padahal, rumah mungil ini sangat dicintai ibu. Mirip ia yang begitu menyayangiku. Rumah yang jadi saksi ketika dokter mendiagnosisnya kanker payudara stadium akhir. Aku mengira ibu akan baik-baik saja. Namun, ketika setiap hari tubuhnya terus melemah dan gampang lelah, aku sadar ada sesuatu yang lain di tubuh ibu.

“Rano bilang aku anak haram.”

Rumah ini pernah mencoba mendengar keluh kesahku. Dalam sunyi. Dalam sepi. Hanya bersama ibu. Kutanya ibu, apa itu anak haram? Ibu menangis. Untuk pertama kalinya kami menangis bersama, ketika rumah ini juga mau dan rela mendengar kisahku. Ibu bilang, manusia bukan makanan. Tidak ada halal dan haram. Mungkin teman-temanku belum paham. Tetapi aku akan sangat paham. Ibu sangat menyayangiku.

“Ibu sakit?”

Tegas ibu menjawab tidak. Ia bilang Tuhan sedang menebus kesalahan masa lalunya. Sedang merasakan hadiah dari Tuhan demi meluruhkan dosa-dosa. Aku tak paham. Ibu telah berlaku salah apa. Di mataku, ia sosok malaikat yang tak pernah marah. Santun dan ramah kepada siapa saja. Ia mencium ubun-ubunku. Doa-doa lalu mengambang di atas kepala. Aku tidak hanya harus pintar. Tetapi harus punya kejujuran dan budi pekerti. Betapa banyak orang pintar di negeri ini, tetapi banyak yang korupsi. Hilang rasa sosial seolah hidup hanya untuk satu hari ini.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Benang-benangnya yang lengket pernah menutupi tumpukan majalah bekas yang tak sengaja kutemukan di bawah meja rias kamar ibu. Aku memandang aneh. Melihat lebih dekat. Mataku membulat pekat. Siapa ini. Wajahnya mirip ibu. Namun, pakaiannya benar-benar terbuka. Memperlihatkan lekuk tubuh ibu ke mana-mana. Berbeda dengan ibu yang sekarang. Pakaiannya selalu tertutup dan sopan.

“Apakah ini Ibu?”

Ibu memelukku. Kata ibu, ada hal lain di dunia ini selain pertanyaan-pertanyaan. Kita juga mesti belajar bagaimana rumitnya menemukan jawaban. Perlahan, ibu jujur. Sapu ijuk belum lepas dari genggaman. Ibu bilang hanya ingin mengubah masa lalunya yang kelabu. Sudah cukup peringatan Tuhan. Dari kanker payudaranya, ia cerita padaku begitulah Tuhan menyadarkannya. Bagaimana ia dulu mengumbar tubuh terbukanya untuk khalayak. Satu hal yang tak pantas. Menjual dosa demi mendulang rupiah. Masa muda ibu seakan sia-sia. Ia sampai lupa beramal dan lebih memilih menumpuk harta.

 Dulu, dari dunia keartisannya, ibu banyak mendulang pundi-pundi rupiah. Ia seakan lupa diri jika tak ada yang abadi di dunia ini. Dari bisnis butiknya sebagai sampingan penghasilan, ia punya belasan apartemen dan tanah di kampungnya. Hingga satu hal terlarang terjadi. Aku telah bersemayam di rahim ibu sebelum pernikahan dilaksanakan. Dari mana aku berasal, ibu ragu menjelaskan. Ibu bilang apa yang akan terjadi di dunia ini, terjadilah. Manusia hanya bisa mengusahakan masa depan. Tak guna menangisi. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kejadian di masa lalu.

Setelah merasakan kesakitan yang panjang, padahal di dalam rahim ibu aku menunggu dilahirkan beberapa hari saja, ibu memutuskan pulang kampung. Membangun rumah sederhana di tanah yang ia beli dari sisa-sisa hartanya. Meneruskan masa perawatan dan kemoterapi di rumah baru. Ia tak menyangka, harta ratusan miliar hilang hanya dalam setahun sejak ia sadar mengidap penyakit. Demi menyambung hidup, ibu rela menanggalkan kemewahan. Berdagang gorengan di depan stasiun.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Menjelma hewan lucu, pendiam, dan pandai menjaga rahasia. Masih kuingat ketika sepulang sekolah, manis gulali itu aku isap di depan halaman rumah. Satu mobil sedan hitam mengilat terparkir di depan pintu. Aku mengendap-ngendap ke samping rumah. Menuju tepi jendela ruang tamu. Berusaha mengintip. Takut ketahuan tamu ibu. Di dalam, seorang laki-laki terlihat mengobrol bersama ibu. Entah apa yang mereka bicarakan. Gepokan uang tergeletak di atas meja. Sangat banyak. Mataku melotot. Bagaimana menghitung uang sebanyak itu. Sudah pasti aku bisa membeli mainan robot yang kuidamkan dari dulu. Mendadak, aroma uang baru mengambang di kepala.

Plak!

Aku tersentak. Pelan menurunkan kepala dari tepi jendela. Berjongkok. Dadaku bergetar. Batinku gusar. Kenapa ibu semarah itu pada laki-laki di depannya. Siapa dia. Dari samping rumah, aku melihat tamu ibu tiba-tiba telah keluar. Masuk ke mobil. Mesin menderu. Roda melaju. Lalu hilang dari pandangan. Dari dalam, aku mendengar suara sesenggukan. Permen gulali masih tergenggam di tangan.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian telah menjelma laba-laba. Menjadi seekor binatang lucu yang pernah menguping perkataan ibu, “Yang halal dan haram itu harta. Bukan kamu Sayang.”

Tetiba satu suara membuatku menoleh. Bergegas dari dapur. Setengah berlari. Seolah mendengar pertengkaran. Di halaman depan, istriku menujuk-nunjuk wajah seseorang. Dua orang sedang berusaha memasang spanduk besar. Dua tiang bambunya memang melahap lahan bunga di halaman. Jika saja ibu masih ada, ia tak akan rela bunga soka dan adeniumnya terlindas lubang dua tiang pancang. Aku mendekat. Minta penjelasan. Kata mereka rumah ini sudah lama kosong dan telah izin Pak RT. Mereka malah baru tahu jika aku anak pemilik rumah ini.

Kusalami mereka. Kutebar senyum seperti yang ibu bilang, marah tak akan menyelesaikan masalah. Kulengkungkan bibir ke atas semanis bulan sabit. Mereka akhirnya mau menggeser tiang pancangnya. Mereka bilang tim sukses dari pemilihan Bupati di daerah ini. Aku mengangguk ramah. Mempersilakan mereka menyelesaikan tugasnya.

Tak lama, setelah dua tiang pancang didirikan, setelah kain dibentangkan, alisku sontak mengerut. Ludahku tercekat di tenggorokan. Di antara angin yang nakal dan sedikit mengibarkan, di antara gambar dua wajah yang saling mengepalkan tangan, ada satu wajah yang begitu kukenal. Wajah yang tak akan lenyap dari ingatan. Wajah yang pernah ditampar ibu. Wajah yang terus saja tersenyum meledek ke arahku.

Setelah ibu pergi, di rumah ini, kesepian benar-benar telah menjelma laba-laba. Benang-benang halusnya terus saja berkelindan di tempurung kepala. Merakit waktu. Memilin rindu. Membangun sarang keabadian milik ibu di relung kalbu.


Dody Widianto lahir di Surabaya. Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, dll. Akun IG: @pa_lurah.