Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Public Health Pandemic Talks: Melibatkan Kelompok Rentan dalam Penanganan Pandemi Merupakan Investasi Jangka Panjang
Kontributor Public Health Pandemic Talks, dr. Pritania Astari saat memberikan paparan kunci dalam acara diseminasi dan press briefing bertajuk Sinergi dan Pelibatan Aktif Kelompok Rentan Termarginalkan untuk Komunikasi Risiko dan Perlindungan Pandemi yang Setara yang diadakan BNPB dan Mercy Corps Indonesia secara daring, Selasa (10/8).

Public Health Pandemic Talks: Melibatkan Kelompok Rentan dalam Penanganan Pandemi Merupakan Investasi Jangka Panjang



Berita Baru, Jakarta – Kontributor Public Health Pandemic Talks, Pritania Astari menyebut bahwa inklusivitas memiliki efektivitas sangat besar dalam penanganan pandemi COVID-19, namun seringkali terabaikan. Menurutnya, strategi penanganan pandemi di Indonesia yang belum inklusif menyebabkan situasi memburuk.

Pritania  menyebut, prioritas vaksin di tanah air hingga saat ini belum mengikuti standar WHO yang mendahulukan kelompok rentan sehingga mengalami kondisi kelangkaan vaksin. Sesuai standar WHO ada tiga kelompok yang harus didahulukan oleh suatu negara yang memiliki stok vaksin masih terbatas.

“Adalah tenaga kesehatan, lansia dan yang ketiga adalah orang-orang dengan sosiodemografi kelompok rentan, seperti dengan orang disabilitas, orang-orang yang hidup di tempat pemukiman padat penduduk, orang-orang di situasi jalanan, dan juga kelompok minoritas gender seperti transgender dan queer dan lainnya,” kata Pritania.

Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi daring program LeaN On, Diseminasi dan Press Briefing dengan topik ‘Sinergi dan Pelibatan Aktif Kelompok Rentan Termarginalkan untuk Komunikasi Risiko dan Perlindungan Pandemi yang Setara’ pada hari Selasa (10/8).

Pritania juga menyampaikan meski saat ini alokasi vaksinasi sudah memprioritaskan lansia, masyarakat rentan dan umum, namun pada program vaksinasi lansia yang dilaksanakan sejak bulan Februari baru berhasil menjangkau 23% lansia. Hal itu mencerminkan bahwa alokasi vaksinasi di lapangan belum terlihat perkembangannya.

Dalam data vaksinasi nasional untuk masyarakat rentan memang sudah disebutkan, namun disatukan dengan jumlah masyarakat umum. Sehingga tidak dapat dibedakan berapa jangkauan vaksinasi kepada masing-masing kelompok tersebut.

“Dari lima juta dosis yang sudah berhasil ter-deliver ke masyarakat umum, kita tidak bisa membedakan berapa diantaranya yang memang merupakan kelompok rentan, seperti masyarakat miskin kota, transgender, orang dengan disabilitas dengan masyarakat dengan kerentanan yang lebih rendah, seperti kelompok masyarakat menengah ke atas dan lain-lain,” terangnya.

“Pada akhirnya menyebabkan kelangkaan vaksinasi, yang pada akhirnya, ironisnya dirasakan lagi oleh masyarakat rentan imbasnya,” kata Pritania.

Gab Menangani Pandemi di Kelompok Rentan

Pritania menilai, contoh kasus dalam program vaksinasi merupakan cerminan yang juga bisa lihat pada penanganan pandemi yang lain, seperti penjangkauan 5M, penanganan 3T dan hingga saat ini belum ada data rutin yang mencerminkan bagaimana penanganan pandemi di kelompok rentan.

“Mengapa kelompok rentan harus diprioritaskan? Yang pertama karena mereka memiliki kerentanan sosial ekonomi yang menyebabkan mereka harus bekerja keluar rumah bertemu orang , sehingga resiko paparan mereka lebih tinggi. Namun dengan minimnya jangkauan untuk edukasi 5M dan juga edukasi vaksinasi pada akhirnya kelompok ini (rentan) sulit menerapkan 5M dan sulit mengakses vaksinasi,” jelasnya.

Dengan keterbatasan tersebut, tuturnya, terjadi peningkatan kasus tidak terdeteksi yang tidak disertai dengan awareness (kesadaran) untuk langsung melapor. Kemudian juga berdampak pada tidak dilakukannya 3T, yang kemudian juga tidak dilakukan isolasi, sehingga kembali menjadi lingkaran setan.

“Di mana adanya peningkatan kasus tidak terdeteksi di kelompok rentan hingga peningkatan kematian yang tidak terdeteksi. Lingkaran setan itu akan terus bergulir pada masyarakat rentan sehingga menambahkan burden of disease COVID-19 di kelompok rentan, tetapi karena mereka harus bekerja dan bertemu banyak orang bukan tidak mungkin bahwa burden ini akan mempengaruhi COVID-19 di populasi yang tidak rentan,” ungkap Pritania.

Menurutnya, semua rumusan masalah dalam penanganan pandemi COVID-19 di tanah air pada akhirnya berakar pada satu masalah besar yaitu akses. Sehingga perlu keterlibatan kelompok rentan sebagai upaya untuk menjembatani akses kesehatan yang terhambat..

“Pertama adalah dengan melakukan prioritasisasi. Kelompok rentan harus menjadi prioritas program terlebih dahulu. Prioritas dalam hal ini berarti adalah komitmen untuk secara konsisten memberikan akses kesehatan dan akses penanganan Pandemi kepada kelompok rentan. Baik dari segi edukasi di hulu, kemudian 3T di hulu, hingga treatment di hilir,” kata Pritania.

Kemudian, lanjut Pritania, dilakukan penjangkauan. Ia mencontohkan penjangkauan seperti yang telah dilakukan oleh promotor-promotor LeaN On, di mana ‘ada komitmen untuk menyediakan akses untuk menjembatani akses yang terputus di kelompok rentan’, seperti akses bantuan sosial, akses edukasi kesehatan.

“Kemudian dari situ bisa kita melibatkan mereka untuk menjadi peer counselor di komunitasnya atau untuk menjadi contoh base tracktis di komunitasnya dan bahkan bisa lebih dari itu,” terang Pritania.

Poin Plus Penjangkauan dan Melibatkan Kelompok Rentan

Pritania menyampaikan apabila kelompok rentan dijangkau pada penanganan pandemi di hulu maka mereka bisa menyampaikan edukasi dan komunikasi pandemi kepada sekitarnya, juga bisa lebih paham mengenai pandemi COVID-19.

Hal itu akan berdampak pada kepatuhan 5M saat bekerja dan kepatuhan vaksinasi juga akan meningkat. Dan apabila ada mengalami gejala atau di lingkungan mengalami gejala mereka yang terlibat akan secara lebih kooperatif meminta fasilitas testing, tracing, dan bahkan juga hingga treatment.

“Nah, di treatment ini juga sebisa mungkin masyarakat rentan difasilitasi di fasilitas isolasi terpusat. Karena apa? agar mereka benar-benar bisa melakukan isolasi tanpa harus mengkhawatirkan penghidupan sehari-hari. Dengan mereka diletakkan di fasilitas isolasi terpusat keadaan akan lebih kondusif untuk mereka isolasi dan juga apabila mengalami pemburukan gejala mereka bisa langsung dilarikan ke rumah sakit,” jelasnya.

Keterlibatan kelompok rentan dalam penanganan pandemi dari hulu hingga hilir, tutur Pritania, pada akhirnya dapat menyebabkan kasus dan kematian di populasi rentan menurun dan overall burden of disease juga menurun.

“Memprioritaskan dan melibatkan kelompok rentan dalam penanganan pandemi merupakan investasi jangka panjang untuk penanganan pandemi yang lebih efektif,” tegasnya.