Potret Keresahan Warga Tumpang Pitu Banyuwangi Atas Potensi Ancaman Tsunami Besar
Berita Baru, Banyuwangi – Tim ahli Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan hasil kajiannya yang bertajuk ‘Kajian dan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami di Jawa Timur’ (28/5). BMKG menyebut, di perairan selatan Jawa Timur terdapat potensi gempa dengan kekuatan 8,7 SR dan gelombang tsunami setinggi 26-29 meter.
Kepala BMKG, Daryono mengingatkan supaya masyarakat tetap tenang dan tidak panik. “Gaduh tsunami Jatim, sebenarnya masyarakat tidak perlu panik karena model skenario terburuk itu dibuat untuk merancang mitigasi,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Jumat (4/6).
Namun faktanya, informasi BMKG tersebut membuat masyarakat, khususnya pesisir selatan Banyuwangi, mulai gelisah. Mengingat bencana tsunami pernah melanda kampung mereka 27 tahun silam, tepatnya 3 Juni 1994 dengan korban lebih dari 238 jiwa.
Sebagaimana cerita Ahmad, seorang nelayan yang tinggal di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran, Bayuwangi, bahwa tsunami yang terjadi pada tahun 1994 melahap sebagian wilayah desa, tak terkecuali tempat ia tinggal sekarang. Menurutnya, banyak orang berhamburan dan mencari tempat tinggi untuk berlindung dari ganasnya ombak.
“Sehubungan dengan seringnya pemberitaan dari pihak BMKG belakangan ini mengenai akan terjadinya peristiwa tsunami setinggi 27 meter di pesisir pulau Jawa bagian selatan, dan ditambah lagi pemberitaan beberapa media wilayah yang berpotensi gelombang tsunami setinggi 27 meter adalah di Banyuwangi selatan, seperti Muncar, Grajagan, Pancer, dan sekitarnya,” tutur Ahmad di rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari laut.
Hal ini pun diperkuat dengan catatan BNPB tahun 2012, disebutkan bahwa bencana tsunami itu dipicu gempa bumi tektonik berkekuatan 7.8 SR yang berpusat di Samudera Hindia. BNPB juga menyebut, selatan pulau Jawa masuk dalam kategori Kawasan Prioritas dengan Resiko Tsunami Tinggi di Indonesia. Tercatat, tiga gempa bumi besar pernah terjadi di zona ini pada tahun 1840, 1867, dan 1875.
Banyuwangi sendiri menurut kajian dari BNPB (2011) menempati urutan ke sembilan dengan nilai kerentanan tinggi untuk wilayah dengan indeks kerentanan wilayah terhadap gempa bumi dan tsunami. Pada bencana lainnya seperti gempa bumi dan angin topan juga menempatkan Banyuwangi, terutama kawasan pesisir selatan dengan nilai indeks kerentanan tinggi.
“Apakah pernyataan-pernyataan pihak BMKG mengenai kemungkinan akan terjadi tsunami setinggi 27 meter di pesisir selatan pulau Jawa? Berdasarkan analisa apa pihak BMKG membuat pernyataan seperti itu?” ungkap Ahmad.
Tidak hanya Ahmad, Heri Budiawan seorang petani buah naga juga menceritakan keresahannya tentang santernya kabar gempa bumi dan tsunami. Menurut Heri, di wilayah Malang Selatan kemarin terjadi gempa, tidak menutup kemungkinan situasi serupa juga akan terjadi di wilayah tempat tinggalnya dengan diikuti tsunami, seperti yang pernah terjadi di tahun 1994.
“Beberapa hari ini kami melihat dan mendengarkan berita pernyataan dari BMKG bahwa akan terjadi gempa dan tsunami di wilayah pantai selatan Jawa Timur. Saya sangat resah, ingatan lalu itu masih terekam jelas kala tsunami terjadi di desa saya ini,” kisah Heri di sela-sela aktivitasnya merawat buah naga.
Pertambangan Memperbesar Ancaman Bencana Gempa dan Tsunami
Beragam krisis sosial-ekologis dan sejumlah persoalan keselamatan ruang hidup rakyat terus meningkat di Desa Sumberagung, Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya sejak kegiatan industri pertambangan yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) beroperasi. Salah satu di antaranya yang masih membekas cukup kuat dalam benak warga adalah bencana lumpur yang terjadi pada Agustus 2016 silam.
Keduanya perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MCG). PT BSI sendiri mengantongi izin IUP Operasi Produksi di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya, berdasarkan Keputusan Bupati Banyuwangi No.188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012. Izin tersebut seluas 4.998,45 Ha, dan berlaku hingga 25 Januari 2030.
Sementara IUP Eksplorasi PT DSI diterbitkan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur No. P2T/83/ 15.01/V/2018 tanggal 17 Mei 2018. Atas putusan tersebut PT DSI telah memperoleh penambahan jangka waktu atas IUP Eksplorasi untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan dalam IUP yang berlokasi di Desa Sumberagung, seluas 6.558,46 Ha. IUP Eksplorasi DSI berlaku tersebut sampai dengan tanggal 25 Januari 2022.
Selain telah merusak sebagian besar kawasan pertanian warga, bencana lumpur yang terjadi telah menimbulkan beberapa persoalan penting lainnya, yakni telah membuat kawasan pesisir Pantai Pulau Merah dan sekitarnya berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan karena kerusakan tersebut ditemukan sejumlah fakta bahwa beberapa jenis kerang, ikan dan beberapa biota laut lainnya mulai menghilang dari pesisir Sumberagung.
Warga menduga bencana lumpur itu bersumber dari rusaknya kawasan Gunung Tumpang Pitu akibat hadirnya kegiatan pertambangan grup MCG. Seperti yang dikisahkan oleh Heri Budiawan, bahwa semenjak keberadaan tambang ia merasakan beberapa perubahan. Seperti bertahun-tahun jalan rusak juga tidak ada perbaikan.
Heri mengatakan, kala hujan jalan jadi kubangan, saat kemarau debu berterbangan dan menganggu kesehatan. Padahal, menurut Heri sebelum alam Tumpang Pitu dieksploitasi, tidak pernah terjadi. Belum lagi dua tahun terakhir sumur-sumur sudah mengalami kekeringan sehingga mengancam pertanian warga.
“Keluh kesah warga di wilayah tambang, berbagai persoalan tidak pernah ada penyelesaian. Kami adalah korban dari kebijakan yang tidak sesuai dan tidak mau melihat kenyataan bahwa wilayah kami ini sudah kaya tanpa tambang, lalu untuk siapa tambang itu? Rakyat kecil yang dirugikan dijanji-janjikan, sementara para yang kaya ya orang-orang itu. Ketika terjadi bencana mereka yang aman, sementara kita yang merasakan,” keluh Heri.
Sembari menyeka keringat, Ahmad yang seorang nelayan melanjutkan kisahnya, keberadaan Tumpang Pitu sangat penting bagi dirinya dan juga para nelayan. Tetapi semenjak adanya tambang, perlahan kehidupan masyarakat terganggu. Pernah terjadi banjir lumpur yang merusak laut, nelayan mulai kesulitan mendapat ikan tangkapan. Kata dia, orang-orang pintar pengelola tambang tidak mau memihak kebenaran dan mementingkan dirinya sendiri.
Ahmad menambahkan, di lautan tempat untuk mencari rejeki dan Gunung Tumpang Pitu adalah tameng bencana atau tempat berlindungnya apabila ada tsunami datang. Tentu, sebagai warga pesisir ia tidak ingin kejadian gelombang tsunami 1994 yang menelan korban kurang lebih dua ratusan jiwa manusia terulang kembali. Dengan potensi tingginya tsunami, serta adanya alih fungsi Gunung Tumpang Pitu untuk pertambangan, menurutnya semakin meningkatkan resiko ketika terjadi tsunami.
“Sungguh itu semua membuat hati kami resah dan gelisah. Ke mana kita akan lari dan ke mana kita akan berlindung. Sedangkan kampung kami di kelilingi oleh pertambangan dari PT BSI, Merdeka Copper Gold. Masyarakat Sumberagung khususnya di pesisir Pancer dan Pulau Merah bukan gila. Menolak pertambangan di kawasan Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya bukannya apa? Di situlah dua aset yang sangat berharga di daratan dan di lautan,” kata Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad menuturkan, manusia boleh merencanakan dan mengatakan sesuatu yang baik, khususnya yang membela pertambangan. Tetapi bencana tidak bisa dihindari dan yang dirugikan adalah masyarakat. Apapun yang telah dibuat oleh Tuhan secara alami tidak akan mungkin bisa digantikan, jika rusak maka celakalah manusia tersebut. Bencana itu membuat kami resah dan takut.
“Jika semua itu terjadi, dan warga mendengar berita tentang tsunami tidak enak tidur. Tiap sore selalu gelisah dan kalau sore hari tetangga dan teman-teman membicarakan ke mana kita akan mengungsi kalau terjadi bencana. Ke mana kita akan berlindung. Selalu, sehari-hari hal itu saja dibicarakan,” cetus Ahmad dengan cemasnya.
Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Lainnya Memiliki Nilai Penting
Gunung Tumpang Pitu itu penting sekali keberadaannya. Bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dikatakan sebagai ‘tetenger’ (penanda) saat melaut. Setiap pagi, ketika mereka berada di laut lepas, titik yang mereka cari untuk menentukan arah adalah pulau Nusa Barong di sebelah barat, Gunung Agung di sebelah timur dan Gunung Tumpang Pitu di tengah-tengahnya. Jika Tumpang Pitu menghilang, dipastikan mereka akan kehilangan salah satu penanda daratan yang menjadi acuan arah.
Rere dari Walhi Jawa Timur, selaku pihak yang terlibat dalam advokasi masyarakat, mengungkapkan bahwa Tumpang Pitu dan Gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir teluk Pancer dari ancaman angin tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman tsunami. Sebagaimana pernah dicatat, saat gelombang tsunami menyapu kawasan pesisir Sumberagung pada tahun 1994.
“Jika keberadaan Gunung Tumpang Pitu dan Gunung-gunung sekitarnya, dikatakan mampu meminimalisasi jumlah angka korban karena melindungi kawasan pemukiman. Sehingga dipastikan jika Gunung-gunung tersebut menghilang karena hadirnya pertambangan MCG, potensi ancaman tsunami ini akan semakin membesar dalam merenggut jumlah korban yang lebih banyak pada masa mendatang, terlebih potensi ancamannya telah dijelaskan oleh kajian BMKG di atas,” kata Rere saat dikonfirmasi.
Menurut Rere, selain berfungsi sebagai pusat mata air yang mampu mencukupi kebutuhan pertanian dan konsumsi rumah tangga, di sanalah (Tumpang Pitu) sebagian besar penduduk Sumberagung, khususnya kaum perempuan, mencari beberapa tanaman obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan secara turun temurun. Tetapi itu semua terancam dengan keberadaan pertambangan emas di wilayah itu.
“Kini dalam perkembangannya, perluasan industri pertambangan yang dilakukan oleh grup PT Merdeka Copper Gold Tbk tersebut terus menuai protes dari warga Sumberagung dan sekitarnya, karena dianggap akan terus merusak kualitas lingkungan hidup, sosial, dan perekonomian mereka,” terang Rere.
Merespons informasi dari BMKG yang beredar, warga Sumberagung (nama desa tempat Ahmad dan Heri tinggal) menyatakan bahwa dalam rangka meminimalisasi potensi ancaman gempa dan tsunami tersebut, jalan keluarnya adalah dengan menutup dan mencabut seluruh izin pertambangan yang ada di pesisir selatan Banyuwangi dan Jawa.
“Ya harus ditutup karena lebih banyak masalahnya daripada manfaatnya, kalau terjadi bencana siapa yang harus bertanggung jawab? Mereka datang mengeruk dan merusak gunung, tentu resiko bencana yang menghampiri kami semakin besar,” tegas Ahmad selaku warga Sumberagung.