Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Permenkes No 9 Tahun 2020
Fajri Nursyamsi (Foto: Kompas.co).

Permenkes No 9 Tahun 2020, PSHK: Menambah Birokrasi Memperlambat Aksi



Berita Baru, Jakarta – Menteri Kesehatan resmi mengesahkan Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 pada Jumat 3 April 2020.

Menyikapi hal itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai Permenkes No 9 Tahun 2020 justru menambah rentang birokrasi dan cendrung keluar dari mandate Undang-undang No 6 Tahun 2008 tentang Karangtina Wilayah. Sehingga berpotensi mempertlambat penanganan COVID-19 oleh Pemerintah.

“Birokrasi yang semakin panjang terlihat dalam tata cara penetapan status PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Permenkes 9/2020 yang mewajibkan pemerintah daerah untuk mengajukan permohonan berdasarkan sejumlah data, yaitu peningkatan kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu dan laporan transmisi lokal. Padahal, Pemerintah Pusat sudah melakukan penghimpunan dan pengolahan data-data tersebut pada setiap wilayah di Indonesia berdasarkan laporan setiap laboratorium tes COVID 19 yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.”

“Bahkan setiap hari Pemerintah mengumumkan data tersebut ke publik melalui juru bicaranya”. Kata Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK, Fajri Nursyamsi melalui keterangan tertulis kepada Beritabaru.co, Minggu (5/4).

Artinya, lanjut Fajri, seharusnya Kementerian Kesehatan sudah memiliki data mengenai daerah mana saja yang sudah mendesak untuk menyelenggarakan PSBB atau bahkan sudah harus melakukan karantina wilayah. Sehingga untuk menunggu permohonan dari pemerintah daerah dalam menetapkan PSBB (Pasal 6 ayat (1) PP 21/2020 jo. Pasal 3 ayat (1) Permenkes 9/2020) akhirnya memperpanjang birokrasi.

Jalur birokrasi pun menjadi semakin panjang karena apabila mengacu pada Pasal 7 Permenkes 9/2020 diatur bahwa usulan atau permohonan dari pemerintah daerah itu akan dikaji kembali oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan, yang saat ini sudah dibentuk melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/231/2020 tentang Tim Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID 19.

“Tim Penetapan beranggotakan 48 orang lintas instansi, sehingga menjadi tantangan berikutnya untuk menentukan teknis pelaksanaan koordinasi sampai pengambilan keputusan apakah permohonan yang diajukan oleh pemerintah daerah akan direkomendasikan diterima atau tidak”. Terangnya.

Menurut PSHK, penyebaran COVID 19 saat ini sudah tidak mampu dibatasi oleh sekat wilayah, sehingga usulan sudah tidak mungkin dilakukan oleh 1 wilayah tertentu saja, tetapi sudah harus ditentukan secara nasional.

“Dalam hal ini, mengacu pada Pasal 9 ayat (2) Permenkes 9/2020, pemerintah daerah harus memiliki peran dengan dilibatkan oleh Pemerintah Pusat dalam memastikan kesiapan daerah melaksanakan PSBB, terutama dalam ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan. Apabila pemerintah daerah menyatakan ada ketidaksiapan dari salah satu aspek tersebut, maka Pemerintah Pusat wajib menyediakannya”. Lanjutnya.

Panjangnya birokrasi dalam penetapan PSBB oleh Menteri Kesehatan, kata Fajri, juga terjadi karena adanya peran Gugus Tugas dalam memberikan usulan dan memberikan rekomendasi atas usulan dari pemerintah daerah.

Merujuk kepada Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020, Menteri Kesehatan dan Gubernur seluruh Indonesia sebetulnya sudah menjadi bagian dalam struktur keanggotaan Gugus Tugas. Sehingga tidak efektif apabila secara kelembagaan Gugus Tugas ini juga diberikan peran dalam proses penetapan PSBB.

“Apabila Gugus Tugas ingin mendapat peran maksimal, maka sebaiknya Gugus Tugas dijadikan sebagai forum pengambilan keputusan, karena pihak-pihak strategis sudah berkumpul disana. Bahkan akan lebih efektif apabila Menteri Kesehatan yang menjadi Ketua Gugus Tugas, karena saat ini yang terjadi adalah kondisi kedaruratan kesehatan, bukan kedaruratan bencana”. Paparnya.