Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Foto Ilustrasi: Polisi menembakkan gas air mata saat bentrokan terjadi di kawasan Palmerah, Jakarta, Rabu (25/9/2019). (Dok. Antara Foto)
Foto Ilustrasi: Polisi menembakkan gas air mata saat bentrokan terjadi di kawasan Palmerah, Jakarta, Rabu (25/9/2019). (Dok. Antara Foto)

Penundaan Pemilu Berpotensi Lahirkan Kerusuhan Sosial



Berita Baru, Jakarta – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengungkap penundaan Pemilu 2024 atau perubahan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode berpotensi melahirkan kerusuhan sosial.

Hal itu disebabkan karena tidak ada alasan kuat dan darurat serta tak sesuai dengan amanat UUD 1945. Selain itu, mayoritas kursi partai DPR dan masyarakat luas juga menolak wacana penundaan pemilu tersebut. 

Menurut Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, kerusuhan sosial bisa terjadi mengingat kondisi sulit masyarakat Indonesia masih sulit usai dihajar pandemi Covid-19

“[Menunda pemilu] berpotensi melahirkan kerusuhan sosial dan penganjur penundaan pemilu dan presiden tiga periode akan dicap sebagai musuh rakyat dan pengkhianat reformasi,” kata Ardian dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/3).

Berdasarkan hasil survei LSI Denny JA, ia menjelaskan, mayoritas masyarakat menolak usul penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 ataupun perubahan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Hasil itu diperoleh dari survei yang digelar pada 23 Februari hingga 3 Maret 2022, dengan total 1.200 responden dari seluruh provinsi. Pengambilan sampelnya menggunakan metode multistage random sampling.

Survei dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan margin of error kurang lebih 2,9 persen.

Ardian menyebut, hasil survei menunjukkan turata-rata nasional responden yang menolak penundaan Pemilu 2024 sebanyak 68,5 persen. Sementara rata-rata nasional responden yang menentang isu presiden tiga periode sebesar 70,3 persen.

Ardian menilai kedua wacana menunda Pemilu 2024 atau perubahan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode akan layu sebelum berkembang.

Salah satu alasannya, menurut dia, tidak ada alasan yang kuat dan darurat untuk mengubah konstitusi yang mengamanatkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun.

“Pemilu dapat ditunda atau presiden dapat dipilih kembali tiga periode jika ada alasan kuat dan darurat, yakni, perang, bencana alam nasional berskala besar dan luas, ataupun Indonesia dalam kondisi puncak pandemi pada Pemilu 2024 yang tidak memungkinkan untuk penyelenggaraan pemilu,” kata Ardian.

“Namun hingga saat ini tidak ada tanda kegentingan untuk menunda pemilu. Pandemi menunjukkan tren menurut. Perang atau bencana kondisi yang tak bisa diprediksi,” ujarnya.

Alasan berikutnya, kursi partai politik yang menyatakan sikap menolak jauh lebih banyak dibandingkan dengan partai politik di barisan pendukung penundaan pemilu. Hanya dua partai politik yang secara terbuka menyatakan sikap mendukung penundaan pemilu yaitu PKB dan PAN.

Menurutnya, pemilu dan presiden tiga periode hanya akan terjadi jika MPR dapat melakukan sidang umum untuk mengamandemen UUD 1945 terutama pasal-pasal terkait jadwal pemilu.

“Publik luas menentang penundaan pemilu dan presiden tiga periode. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, hampir semua segmen pemilih, mayoritas menolak wacana penundaan pemilu dan presiden tiga periode,” katanya.

Atas temuan tersebut LSI Denny JA memberikan kesimpulan dan rekomendasi. Rekomendasi pertama menghentikan manuver penundaan pemilu dan presiden tiga periode karena tak ada alasan kuat.

Kedua Presiden Jokowi perlu mengikuti ketegasan partainya sendiri. PDIP secara keras dan tegas menolak penundaan pemilu dan presiden tiga periode.

Selanjutnya, gagasan penundaan pemilu dan presiden tiga periode dicurigai publik berasal dari satu faksi dalam istana sendiri tapi ditentang oleh faksi lain yang lebih besar juga dari istana. 

Terakhir, pemerintah fokus dengan penanggulangan COVID-19 serta pemulihan ekonomi. Isu penundaan pemilu dan presiden tiga periode akan menjadi energi negatif yang memecah fokus pemerintah.