Peneliti LIPI: Otsus di Tanah Papua Belum Berhasil
Berita Baru, Jakarta – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menyebut bahwa otonomi khusus (otsus) di tanah Papua selama kurang lebih 19-20 tahun ini belum berhasil dilaksanakan.
“Otsus jika ditempatkan dalam konteks resolusi konflik itu bisa dikatakan belum berhasil. Kalau ekstrimnya itu gagal ya, mungkin saya bilang belum berhasil,” kata Cahyo dalam diskusi virtual ‘20 Tahun Otonomi Khusus di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?,’ Jumat (13/11).
Menurut Cahyo ketidakberhasilan dari otsus di tanah Papua ini dikarenakan pertama, otsus Papua tidak memiliki legitimasi yang kuat karena otsus Papua tidak lahir dari suatu dialog, negosiasi atau perundingan antara pihak-pihak yang berkonflik.
Menurutnya hal ini dikarenakan sejak awal otsus Papua dilahirkan hanya dari kompromi dan negosiasi antara elit. Sebagai akibatnya tidak ada komitmen politik yang mengikat para pihak yang berkonflik baik itu di Papua maupun di Jakarta, “tidak ada komitmen politik untuk melaksanakan otsus sesuai dengan tujuannya sebagai alat resolusi konflik,” ujarnya.
Kemudian penyebab selanjutnya otsus Papua ini belum berhasil adalah Undang-Undang otsus ini disertai dengan paradigma lama. Ia mengatakan paradigma lama yang tidak berubah yaitu strategi pembangunan yang developmentalistik, teknokratis, dan instrumentalis.
Paradigma lama ini bersifat strategi pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja. Menurutnya hal ini belum ditransformasikan menjadi sebuah strategi pembangunan berbasis masyarakat adat yang lebih sesuai dengan kondisi atau karakteristik budaya di Papua.
Meskipun demikian, Cahyo mengapresiasi otsus yang telah berjalan selama 20 tahun ini, seperti ada kemajuan pembangunan infrastruktur fisik antara lain jalan trans papua, sarana pendidikan, sarana rumah sakit, dan Puskesmas. “Itu saya kira ada aspek positif,” katanya.
Cahyo mengakui bahwa jumlah rumah sakit, puskesmas, dan jumlah sekolah meningkat namun, ia mempermasalahkan soal bentuk partisipasi.
“Tetapi misalnya bagaimana partisipasi guru kemudian kehadiran dokter, kehadiran tenaga medis, ketersediaan obat dan lain-lain itu yang masih belum memuaskan atau belum baik sehingga di daerah-daerah terpencil dan terisolir pelayanan publik belum begitu dirasakan,” ungkap Cahyo.