Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pelarian Saleem dan Dongeng-Dongeng Jaleel | Cerpen: Erwin Setia
Ilustrasi: Noma Bliss

Pelarian Saleem dan Dongeng-Dongeng Jaleel | Cerpen: Erwin Setia



Saleem melarikan diri dari Makkara. Ia menjelajahi satu demi satu kota dengan kepayahan. Setiba di Dhuahayha, Saleem berjumpa teman lamanya yang telah menjadi pendongeng ulung. Teman itu bernama Jaleel. Penampilannya nyentrik sekali dengan jubah merah, kacamata hitam, dan serban kuning. Jaleel sedang berdiri di tepi jalan, di dekat gerbang pasar. Di hadapannya para pekerja yang tengah beristirahat duduk menonton.

Saleem membaur di antara para penonton. Ia ikut duduk dan mendengar dongeng Jaleel. Tempo bicara Jaleel sangat cepat, pembawaannya menarik karena ia pandai dalam menciptakan kesan dramatis, terlebih tangan dan wajahnya aktif untuk membantu para penonton lebih menghayati cerita. Saleem menyaksikan dan mendengarkan dongeng Jaleel yang berlangsung sekitar lima belas menit. Sepanjang seperempat jam, Jaleel mengisahkan dua buah dongeng.

Dongeng pertama tentang seorang peniup seruling dan unta yang buta. Alkisah seorang peniup seruling dihibahkan seekor unta oleh seorang saudagar kaya raya yang jatuh cinta pada keahliannya memainkan seruling. Peniup seruling teramat gembira dengan hadiah itu. Ia mengucapkan terima kasih sampai berbuih-buih kepada sang saudagar. Peniup seruling yang berasal dari keluarga jelata buru-buru menggunakan unta itu. Ia menunggangi unta untuk menuju rumah dan memberitahu kepada istri dan anaknya bahwa ia pulang membawa harta karun. Namun, baru beberapa puluh meter ia meunggangi unta, peniup seruling merasa ada yang janggal dengan si unta. Tiap kali menjumpai batu atau tembok di tengah perjalanan, si unta malah menabraknya alih-alih menghindar. Itu terjadi berulang-ulang sehingga membuat peniup seruling jengkel. Ia pun turun dari tubuh sang unta. Ia memeriksa sekujur tubuh untanya dan terbelalak manakala mendapati mata si unta cacat—matanya lengket dan ada bekas darah kering.

Penuh amarah, peniup seruling membawa unta buta itu kembali ke rumah sang saudagar. Di depan muka sang saudagar, ia memaki-maki dan menghardiknya. Sang saudagar, dengan wajah polos, memotong repetan peniup seruling dengan berkata, “Dasar tak tahu diuntung. Kau seharusnya bersyukur aku sudah memberimu unta ini. Lagipula, unta ini hanya buta, ia tidak tuli. Ia masih bisa mendengar suara serulingmu yang merdu itu.”

Dongeng kedua tentang seorang cucu gubernur dan bocah pengemis. Di kota Manakesh, ada pasar kecil di mana seorang penjual mainan dari kayu membuka lapak di situ. Cucu gubernur Manakesh yang bernama Waleed kerap meminta ayahnya—anak gubernur—untuk membawanya ke lapak penjual mainan. Waleed sangat suka melihat mainan-mainan itu. Tiap kali ke sana, ia meminta ayahnya agar membeli semua mainan yang dijual si pelapak. Sebagai anak seorang gubernur, ayah Waleed tentu mudah belaka memborong mainan-mainan tersebut. Penjual mainan selalu nyaris pingsan karena tak kuasa menahan kegembiraan tatkala Waleed datang memborong mainannya. Kejadian semacam itu berulang-ulang saban satu atau dua minggu sekali. Di pojok pasar tak jauh dari lapak penjual mainan, seorang bocah pengemis bernama Hameed selalu iri melihat cucu gubernur bisa mendapatkan banyak mainan dengan begitu gampang. Sedangkan ia, jangankan untuk membeli mainan, untuk makan sehari-hari pun susah bukan main.

Suatu kali Hameed nekat menghampiri Waleed dan ayahnya yang lagi-lagi hendak memborong mainan. Hameed memanggil Waleed—nama cucu gubernur itu sering disebut-sebut oleh penduduk pasar—dan mengatakan, “Duhai temanku Waleed, bolehkah aku meminta satu saja mainan milikmu?” Melihat bocah pengemis yang datang tiba-tiba seperti guntur di siang bolong, ayah Waleed dan penjual mainan terkejut. Penjual mainan buru-buru mengusir Hameed seolah-olah Hameed adalah seorang maling yang hendak mencuri dagangannya. Ayah Waleed menatap penuh curiga dan menutup hidung karena aroma Hameed memang tak sedap—bocah itu tak mandi berminggu-minggu dan tak kenal sabun. Sementara Waleed, si cucu gubernur, menyambut panggilan Hameed dan tanpa ragu-ragu memberikan sebuah mainan kayunya kepada Hameed. “Ini untukmu. Aku punya banyak sekali mainan seperti ini.” Hameed mengulurkan tangan kepada Waleed. Sepasang bocah itu bersalaman. Mereka saling tersenyum dan berkenalan. Hameed mengucapkan terima kasih kepada Waleed, lantas kembali ke tempatnya mengemis sambil lari berjingkrak-jingkrak. Melihat apa-apa yang dilakukan oleh dua bocah dari dua kelas sosial berbeda itu, ayah Waleed dan penjual mainan bersipandang kebingungan.

Selepas Jaleel bercerita, para penonton bertepuk tangan hingga suara tepukan itu menembus langit. Jaleel menundukkan kepala dan membentangkan tangan kepada penonton, seperti cara seorang pesulap mengungkapkan terima kasih. Satu per satu penonton pun buyar, kembali ke tempat masing-masing melanjutkan pekerjaan mereka. Sampai akhirnya, hanya tersisa Saleem seorang diri. Jaleel duduk di atas kursinya dan menenggak minuman. Ia tampaknya letih sekali, apalagi siang amat terik. Saleem berdiri dan menghampiri Jaleel. Melihat kawan lamanya datang tiba-tiba, Jaleel tak bisa menahan keterkejutan. Ia menyalami Saleem, bertanya segala macam, dan mengajak Saleem masuk ke ruangannya.

Ruangan Jaleel mungil belaka. Hanya seukuran enam kali enam hasta. Jaleel menyebut ruangan itu sebagai “ruangan khusus untuk pendongeng”. Sebelum Saleem bertanya, Jaleel langsung menuturkan kisahnya, tetap dengan tempo cepat, dan gaya bicara yang memikat. Ia bilang bahwa ia menjadi pendongeng resmi di pasar Dhuahayha sejak tiga tahun silam. Waktu itu ia sudah pergi ke sana-kemari untuk mencari pekerjaan, tapi tak jua menemukannya. Alih-alih mendapat untung, dalam perjalanan mencari pekerjaan ia justru ketiban dua kesialan: ranselnya dijambret perampok dan kantong uangnya dijambret perampok yang sama hanya dua hari setelah ranselnya dijambret. Ia nyaris menjadi gila andai saja ia tak bertemu Tuan Fawwaz. Tuan Fawwaz adalah seorang lelaki tua berjanggut sepanjang Nil—karena saking panjangnya—yang Jaleel temui di suatu jalan. Pertemuan keduanya tak disengaja dan pertemuan-pertemuan tak sengaja memang kerap menghasilkan suatu anugerah. Tuan Fawwaz, dengan suaranya yang serak dan lemah berkisah bahwa ia adalah pendongeng di pasar Dhuahayha, tapi ia masygul karena tak juga memperoleh orang yang bisa menggantikannya. Ia yakin sebentar lagi akan mati. Ia khawatir ia tidak bisa mati dengan tenang lantaran belum mendapat sosok yang bisa menggantikannya sebagai pendongeng di pasar Dhuahayha. Ia bilang ia tidak bisa membayangkan kehidupan para pekerja di pasar Dhuahayha tanpa kehadiran seorang pendongeng. “Kautahu, anak muda, hanya dongeng yang membuat para pekerja di pasar Dhuahayha bisa terus menjalani hidup walau kehidupan mereka begitu-begitu saja. Kehidupan mereka tetap pahit, penuh penderitaan, karena penguasa dan orang kaya di luar sana begitu zalim dan tak berperasaan.”

Demikianlah permulaan Jaleel menjadi pendongeng. Pendongeng yang tak pamrih, karena ia tidak meminta bayaran. Namun para pekerja selalu berbaik hati bergantian memberinya makanan dan kadang uang. Jaleel belajar berdongeng selama seminggu penuh kepada Tuan Fawwaz di ruangan yang kini menjadi ruangannya. Setelah seminggu dan Tuan Fawwaz merasa Jaleel sudah layak untuk menjadi pendongeng di pasar Dhuahayha, Tuan Fawwaz izin pergi ke tempat kelahirannya di Kurk. Ia ingin pulang menemui keluarganya. Keesokan harinya, Jaleel mendengar kabar seorang lelaki tua berjanggut sepanjang Nil meninggal dunia dalam perjalanan—Tuan Fawwaz sudah mati.

Untuk meningkatkan kepandaiannya dalam berdongeng, Jaleel banyak membaca kitab-kitab cerita peninggalan Tuan Fawwaz dan berlatih berdongeng di hadapan cermin. Selain itu, setiap beberapa bulan sekali—umumnya pada hari-hari besar ketika pasar libur—Jaleel mengembara ke berbagai kota, desa, dan dusun untuk menghimpun cerita-cerita baru. Ia mencatat percakapan yang ia dengar di jalan-jalan, mewawancarai orang-orang tua yang ia temui (karena para orang tua memiliki banyak kisah-kisah menakjubkan), bercengkerama dengan satu-dua penduduk, dan membeli makanan khas tempat yang ia kunjungi karena itu makin memudahkannya dalam menyerap kisah-kisah penduduknya. Jaleel bilang dua dongeng yang barusan ia bawakan pun bukan sepenuhnya dongeng atau bualan yang dikarang-karangnya sendiri. Ia sungguh-sungguh mendapati dua kisah itu, tapi dalam dongeng, ia sedikit memodifikasinya untuk memberi kesan dramatis dan menghadirkan daya gugah ke hadapan para penonton. Jaleel pun menandaskan ceritanya.

“Adapun kau, untuk apa kau ke sini, Saleem?”

“Aku kabur dari rumah majikanku, Jaleel.”

“Kenapa kau kabur?”

“Ia terus menerus menyiksaku.”

“Astaga. Sungguh biadab orang-orang kaya itu.”

“Aku membunuhnya sebelum aku kabur.”

“Apa?”

“Iya. Jadi, aku tidak bisa lama-lama di sini. Terima kasih atas ceritamu. Aku harus pergi sekarang juga.”

Saleem keluar ruangan. Di antara pasar yang hiruk-pikuk, seorang pemuda berlari terbirit-birit ke barat. Cepat sekali Saleem berlari, hanya dalam beberapa tarikan napas wujudnya sudah mengecil dan terus mengecil. Jaleel memandangi Saleem dari jauh. Ia sedang menimbang-nimbang sesuatu. Ketika Saleem betul-betul hilang dari pandangannya, Jaleel tersenyum tipis. Ia tahu apa yang ia harus ceritakan dalam dongeng esok hari.


Erwin Setia lahir pada 14 September 1998. Penulis lepas. Aktif menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Detik.com. Cerpennya terkumpul antara lain dalam antologi bersama Dosa di Hutan Terlarang (2018) dan Berita Kehilangan (2021). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.