Paramadina dan LP3ES Luncurkan Buku Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024
Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina, Jakarta menggandeng LP3ES menggelar seminar dan peluncuran Buku ‘Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 2024’.
Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, diantaranya Prof. Ward Barenschott (KITLV Leiden/Universitas Amsterdam), Prof Afrizal (Universitas Andalas), dan Bvitri Susanti (STIH Jentera).
Menurut Ward Barenschott, dalam buku tersebut terdapat tiga argumen pokok dari hasil penelitian yang meliput 150n kasus konflik perusahaan sawit dan rakyat.
“Konflik muncul karena adanya kehampaan hak warga masyarakat. Kesulitan warga untuk mengimplementasikan hak hak warga” demikian kata Ward Barenschott, sebagaimana dikutip dari resum diskusi.
Dalam situasi itu, lanjutnya, warga cenderung memilih strategi berjuang yang disebut Strategi Perlawanan atas Kehampaan Hak.
Bahkan, menurut Ward Barenschott, warga lebih memilih kompensasi finansial ketimbang hukum dan perlawanan kehampaan hak.
“Mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya dari 150 kasus yang diteliti, 68 persen kasus tidak terselesaikan,” tuturnya.
Ward Barenschott menyebut, di atas kertas, warga negara Indonesia memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya.
Oleh karena itu perusahaan harus meminta persetujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan.
“Secara de facto, riset menemukan bahwa warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak hak nya. Perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif,” ujarnya.
Bagi Ward Barenschott, perusahaan juga harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi segala aturan yang ada. Dalam banyak kasus, juga komunitas warga berhak atas skema bagi hasil yakni skema inti plasma atau kemitraan.
“Akhirnya, warga juga punya hak untuk mengorganisasi diri dan memprotes,” katanya.
Ward Barenschott melihat, dari berbagai macam hak yang dimiliki warga, yang utama menjadi masalah adalah realisasi hak hak tersebut. Dan Itulah yang dimaksud dengan ‘Kehampaan hak’.
“Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi/kekerasan,” katanya.
Lebih lanjut Ward Barenschott mengurai bahwa terdapat tiga sumber kehampaan hak. Pertama hak tanah yang terbatas karena keterbatasan pengakuan hak individu atas ‘warisan kolonial’ yang muncul di domein velklaring 1870.
“Sampai sekarang masih ada lahan yang cukup luas dan warga masih tetap sulit untuk mendapatkan hak haknya akibat warisan kolonial tersebut,” katanya.
Selanjutnya, perlindungan hukum yang tersisa dirusak lewat aturan-aturan tingkat bawah yang diterapkan backdooring of the law. Perlindungan ini selanjutnya diperlemah oleh kolusi bisnis dan negara yang meluas.
“Kolusi itu membuat aparat pemerintah cenderung berpihak ke perusahaan dengan melanggar UU yang melindungi hak hak warga,” katanya.
Dari beragam masalah itu, menurut Ward Barenschott ada beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintahan Jokowi setelah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait lahan.
Diantaranya, mendirikan badan mediasi di tingkat provinsi dan kabupaten untuk mengatasi tidak adanya kompetensi SDM di bidang penyelesaian hukum di tingkat daerah.
Selanjutnya, transparansi terhadap Izin HGU yang diberikan kepada perusahaan
memonitor apakah perusahaan peroleh fee, prior and informed consent dari warga terdampak.
“Government harus tegas terhadap masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak kewajiban,” ujarnya.
“Pemerintah pusat dan daerah harus menindak tegas perusahaan yang menolak kewajiban dan menolak terlibat dalam penyelesaian konflik,” pungkasnya.
Sementara itu, Afrizal menjelaskan bahwa riset dalam buku itu melihat awal mula dari kasus besar di mana warga Desa Olak-Olak bersama 9 warga desa lainnya di Kalimantan barat menuntut PT Sintang Raya (Kelapa Sawit) membayar kompensasi atas tanah mereka yang diambil dan meminta mengembalikan sebagian tanah.
Berbagai hal aksi menuntut hak telah dilakukan oleh warga, di depan Bupati, Perusahaan, dan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, juga kasasi di Mahkamah Agung yang memenangkan perusahaan.
Lalu warga melakukan Peninjauan Kembali (PK) sampai akhirnya MA memenangkan perkara tersebut dan perusahaan harus mengembalikan hak warga.
“Tapi ternyata keputusan MA tidak diindahkan oleh perusahaan. Dari 11 ribu hektar tanah hanya 5 hektar yang diserahkan kepada warga. Hampir tidak ada kompensasi atas kehilangan tanah dan penolakan penyerahan plasma kepada warga desa,” katanya.
“Buku ini juga mengupas perkara di atas dan 150 kasus konflik lahan warga dengan perusahaan kelapa sawit lain di provinsi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Tengah,” tambahnya.
Ia menyebut, buku ini ditulis karena masalah konflik kelapa sawit merupakan masalah besar dan mendesak diselesaikan. Tidak hanya untuk komunitas pedesaan tapi juga pemerintah dan perusahaan kelapa sawit.
“Konflik kelapa sawit juga menyediakan jendela untuk mengeksplorasi karakter kewarganegaraan dan hak warga negara di Indonesia,” ujarnya.
Adapu, Bvitri Sutanti menilai buku yang ditulis oleh Ward Barenschott dan Afrizal ini merupakan yang pertama kali membahas terkait masalah Kehampaan Hak warga negara atas lahan-lahan milik mereka yang dirampas perusahaan kelapa sawit.
“Para pegiat HAM dan keadilan hukum harus mampu memetakan masalah kehampaan hak agar bergerak lebih sistematis,” katanya.
Namun, masalahnya ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dengan pribumi namun setelah kemerdekaan relasi buruk tersebut tidak pernah dibedah setelah kolonialisme pergi.
“Dan ternyata pemerintah Kolonial sekarang digantikan oleh oligarki. Jadi relasinya pada Reproduksi. Kalau dulu kolonialisme, sekarang adalah korporasi. Lalu dimana pemerintah? Mestinya dia memediasi relasi yang tidak seimbang tersebut,” tuturnya.
Sementara, kata Bvitri, aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi-fungsi administrasi belaka, dan tidak ada respek, penghormatan terhadap hak hak warga dan HAM. Karenanya, masalahnya terjadi reproduksi terhadap relasi yang tidak setara tersebut.
“Masalah besar pertanahan saat ini terjadi karena terkait dengan hukum kolonial. Rata-rata negara eks kolonial tidak membongkar hukum kolonial karena dia ternyata menguntungkan orang yang punya kekuasaan,” sebutnya.
“Itulah yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia. Pola hukum lama kembali digunakan. Juga pola hukum penghasutan warisan kolonial yang kembali digunakan,” tambahnya.
Menurut Bvitri, keadaan ini menunjukkan tidak ada yang berubah setelah lebih 70 tahun merdeka. Yang berbeda hanyalah munculnya pemain baru yakni Civil Society.
“Civil society yang tidak hanya mengganggu oligarki tapi juga berupaya melaksanakan edukasi hukum kritis terhadap hak hak warga,” katanya.
“Kalau relasi-relasi kekuasaan tidak pernah dibongkar, maka kita tidak akan pernah bisa membongkar konflik-konflik yang ada, dan tidak hanya konflik agraria. Namun penyumbang masalah-masalah yang paling tinggi memang konflik agraria,” pungkasnya.