Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pakistan: Pembunuhan Noor Mukadam dan Kekerasan Berbasis Gender
(Foto: The Guardian)

Pakistan: Pembunuhan Noor Mukadam dan Kekerasan Berbasis Gender



Berita Baru, Internasional – Zahir Zakir Jaffer ditangkap atas dugaan pembunuhan berencana terhadap Noor Mukadam, putri bungsu seorang mantan diplomat Pakistan, setelah diduga menahannya selama tiga hari di apartemennya di daerah kelas atas Islamabad.

Kasus tersebut, yang melibatkan dua keluarga terkaya di ibu kota, telah menyoroti elit Islamabad, keturunan tuan tanah, politisi, dan taipan bisnis.

Di Pakistan, pembunuhan atas nama “kehormatan” adalah praktik umum. Kebrutalan itu membuat Pakistan menjadi negara dengan catatan buruk tentang kekerasan berbasis gender. Dalam indeks gender global Forum Ekonomi Dunia, negara itu berada di peringkat 153 dari 156 negara, tepat di atas tetangganya yang dilanda Taliban, Afghanistan.

Dikenal sebagai seorang seniman dan penyayang binatang, Noor baru saja ditugaskan untuk melukis mural pertamanya. Sebagai seorang anak, Noor menghabiskan waktu di Korea Selatan dan Irlandia karena peran diplomatik ayahnya. Teman-teman Noor menggambarkannya sebagai sosok yang rendah hati dan percaya diri. Atas keprihatinananya dengan krisis hak asasi, Noor telah mengambil bagian dalam pawai Aurat pada Hari Perempuan Internasional awal tahun ini.

Ayahnya, Shaukat Ali Mukadam, mengatakan keluarganya sangat kehilangan dan menyerukan hukuman mati untuk tersangka pembunuhnya.

“Kami terkejut dan hancur dan, sebagai orang tuanya, kami benar-benar hancur,” kata Mukadam. “Semua orang harus pergi dari dunia ini tetapi kehilangan anak seperti ini sulit diterima. Dia masih sangat muda. Gadis yang lembut dan baik hati.”

“Bukan hanya keluarga kami yang berduka, tetapi seluruh Pakistan. Saya telah kehilangan seorang putri, tetapi sekarang kami berjuang untuk semua wanita karena ini bisa terjadi kepada anak perempuan atau saudara perempuan siapa pun.”

“Orang-orang semua menuntut dia harus dihukum mati, jadi tidak kurang dari itu, karena jika orang seperti ini terus ada di masyarakat, pembunuhan ini bisa terjadi pada siapa saja.”

Setelah dikritik karena diam atas pembunuhan itu, keluarga Jaffer mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tersangka.

“Keluarga Jaffer menyampaikan belasungkawa yang terdalam kepada keluarga dan orang-orang terkasih Noor Mukadam. Kami berdoa agar jiwanya beristirahat dalam kedamaian abadi. Kami tahu bahwa tidak ada waktu yang akan mengembalikan kegembiraan yang telah hilang atau meringankan rasa sakit Anda,” bunyi pernyataan itu.

“Kejutan dan kesedihan kami atas tindakan mengerikan ini telah menyebabkan keheningan berkepanjangan yang sangat kami sesali. Namun, kami dengan tegas mengutuk kekejaman ini dan selamanya mengecam Zahir dan tindakannya,” katanya.

Selama masa penguncian Covid diberlakukan, Pakistan mencatat peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga, yang salah satunya dipicu dipicu oleh pertumbuhan konservatisme agama dan kegagalan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Sebuah RUU kekerasan dalam rumah tangga yang diharap-harapkan ditunda pada awal Juli setelah keberatan oleh Dewan Ideologi Islam, meskipun telah disahkan oleh Majelis Nasional.

Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, dihujani kritik dan kecaman setelah pernyataannya yang menyebut bahwa cara perempuan berpakaian menjadi penyebab atas meningkatnya kekerasan seksual. Dia kemudian mengklaim komentar itu diambil di luar konteks.

“Perempuan tidak hanya marah, mereka ketakutan karena kita tahu terlalu banyak pemerkosa dan pembunuh yang lolos begitu saja,” kata Kanwal Ahmed, pendiri Soul Sisters Pakistan, salah satu grup Facebook online khusus perempuan terbesar di negara itu.

“Banyak hal yang perlu dilakukan untuk melindungi perempuan. Tidak ada sumber daya, tidak ada implementasi undang-undang, bahkan tidak ada pernyataan tepat waktu dari pimpinan. Belum lagi dukungan alat-alat dasar seperti RUU KDRT. Tidak ada kecenderungan negara untuk membiarkan perempuan hidup begitu saja tanpa takut diperkosa atau dibunuh.”

Aktivis Leena Ghani, yang terlibat dalam pawai Aurat dan mengorganisir nyala lilin untuk Noor, mengatakan: “Kami semua lelah mengirimkan doa dan pikiran kami setiap kali terjadi kasus serupa. Kasus Noor bukanlah insiden yang terisolasi. Saya tidak ingin ada lagi wanita yang menjadi korban. Apa yang kita hadapi adalah epidemi terorisme gender. Kejahatan yang menimpa Noor sehingga ia harus menyerahkan hidupnya harus kita lihat dan pelajari pelajari sebagai kekerasan berbasis gender.”

Status kedua keluarga dan kebrutalan kejahatan telah membawa kasus ini menjadi perhatian dunia. Tetapi bagi korban dari latar belakang kelas bawah, tanpa uang atau publisitas, perjuangan untuk keadilan hilang bahkan sebelum dimulai.

Di antara mereka adalah Saima Ali, yang ayahnya, Raza Ali, seorang polisi dengan sejarah kekerasan dalam rumah tangga dan kecanduan narkoba, menembaki keluarganya, membunuh istrinya, dan melukai dua dari empat anaknya di rumah mereka di Peshawar.

Saima, yang menghabiskan 10 hari di rumah sakit setelah penembakan itu, mengatakan: “Saya seorang gadis berusia 23 tahun yang mengejar kasus ini tanpa dukungan apa pun. Dia menembak kami dan meninggalkan kami hingga mati dan polisi tidak melakukan apa pun untuk melindungi kami.

“Sangat sulit bagi perempuan dari latar belakang miskin untuk mendapatkan keadilan tanpa pengaruh atau dukungan apa pun. Kami menghadapi begitu banyak hambatan untuk mendapatkan keadilan karena diskriminasi gender. Saya sangat merindukan ibu saya dan saya takut dengan keluarga saya.”