Ombudsman Tanggapi Surat Keberatan KPK
Berita Baru, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai proses alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK).
Menanggapi hal tersebut, Ombudsman menyebut keberatan yang diajukan KPK adalah hak prosedural dari KPK dan BKN sebagai pihak terlapor yang memang ruangnya disiapkan oleh Ombudsman.
“Ombudsman menyiapkan ini dalam rangka mendapatkan tanggapan dari para pihak. Tetapi penting untuk segera kami tegaskan bahwa mekanisme keberatan ini tidak boleh dimaknai seperti halnya di pengadilan sebagai mikanisme banding,” kata Robert Na Endi Jaweng, Selasa (31/8).
Hal itu ia nyatakan dalam kanal Youtube Ombudsman RI dengan tajuk #OmbudsmanBicara Tanggapi Surat Keberatan KPK atas Tindakan Korektif yang Dikeluarkan Ombudsman RI.
“Jadi KPK dan BKN boleh menggunakan hak prosedural mereka, tetapi Ombudsman punya otoritas yang sangat penuh untuk kemudian menyikapi dan menanggapi surat keberatan yang ada,” ungkap Robert.
Lebih lanjut Robert menuturkan, setelah masuknya keberatan dari KPK maupun BKN Ombudsman sedang menyiapkan tahapan akhir. “Seperti halnya mekanisme di organisasi ini, kalau tindakan korektif yang kita sampaikan di laporan akhir itu tidak ditanggapi,” tambahnya.
“Maka ombudsman akan masuk ke proses penyusunan rekomendasi. Dan rekomendasi ini adalah putusan. Tahapan sekarang kita sedang menyusus rekomendasi dan hasilnya nanti kita akan keluarga dalam waktu yang dekat,” kata Robert.
Robert menjelaskan, sebagai suatu putusan, rekomendasi Ombudsman nantinya harus dipandang sebagai produk hukum.
“Pertama karena memang dikeluarkan atau diterbitkan oleh lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Ombudsman dibentuk oleh suatu Undang-undang yang sangat kuat, undang-undang 37,” ujarnya.
Kedua, lanjut Robert, karena isi rekomendasi soal pernyataan kesalahan dan soal sanksi. “Tentu kalau sudah bicara dua norma itu sifatnya mengikat, sesuatu yang sifatnya wajib. Dan dalam konteks hukum, segala hal yang sifatnya mengikat, segala hal yang sifatnya wajib itu harus dipandang, dilihat sebagai produk hukum,” imbuhnya.
Menurut Robert, harapan terbaik masalah tersebut selesai atau berhenti di KPK dan BKN. Namun apabila kedua instansi tersebut tidak memiliki iktikat baik menindaklanjuti tindakan korektif yang ada, Ombudsman menaruh harapan besar Presiden Jokowi dapat menyelesaikannya.
“Karena ini adalah isu kepegawaian, kita tahu Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan kepegaiwan atau pembinaan ASN sebagai PPK, maka jika PPK yang ada di BKN, PPK yang ada KPK, maupun kementerian atau lembaga dan Pemda itu tidak menjalankan apa yang menjadi rekomendasi Ombudsman, maka Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan kepegawaian itu bisa mengambil alih bisa take over kewenangan yang ada pada PPK di KPK,” tegasnya.
Karena pada prinsipnya, tuturnya, yang ada di PPK dan KPK itu hasil kewenangan Presiden. Ini sebenarnya dorongan Ombudsman yang pada kahirnya Presiden, sesuai laporan akhir sudah menyarankan saran perbaikan.
“Presiden diharapakan dan kita sangat berharap untuk memperhatikan saran ini. Dan mudah-mudahan menjadikan saran dari ombudsman sebagai dasar bagi presiden untuk mengambil keputusan, mengambil tindakan lebih lanjut,” tukas Robert.