Ombudsman Soroti Tiga Isu Krusial Polemik JHT
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik Ombudsman RI minta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah untuk merevisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Ombudsman melihat Permenaker JHT itu telah memicu polemik publik dan protes para pekerja sebagai stakeholder utama sekaligus pihak terdampak dari pemberlakuan kebijakan tersebut.
Anggota Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan paling tidak ada tiga isu krusial pada polemik JHT, yaitu proses penyusunan kebijakan, teks dan konteks kebijakan, serta strategi pemberlakuannya ke depan.
Menurut Robert, dalam tahap proses penyusunan, batu uji yang digunakan Ombudsman adalah ada-tidaknya maladministrasi proses, terutama yang berwujud kepatutan dan prosedur wajib yang harus dipenuhi.
Intinya, kata Robert, sejauh mana kualitas proses penyusunan kebijakan publik secara sungguh-sungguh melibatkan pekerja sebagai pihak terdampak dari pemberlakuan Permenaker yang baru tersebut.
“Partisipasi para pihak itu berintikan tiga hak prosedural berikut. Satu, diundang dan didengar (right to be heard), kedua hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan untuk memperoleh jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained),” kata Robert dalam keteranganya, Selasa (22/2).
“Dari komunikasi dengan pekerja/buruh dan serikat organisasi mereka, partisipasi yang ada tidak bermakna (meaningful participation), masih sebatas formalitas dan terbatas cakupannya,” tegasnya.
Isu kedua terkait kebijakan itu sendiri, Ombudsman menyadari bahwa landasan filosofi dan yuridis Permenaker tersebut relatif kuat dan ideal.
Namun, sisi sosiologis yang meresonansi realitas empirik kehidupan pekerja tidak tertangkap dengan baik. Teks yang ideal akan tak bermanfaat bagi penyelesaian masalah jika tidak memperhatikan konteks besar yang krusial.
“Suatu kebijakan yang baik harus meresonansi suasana kebatinan publik. Nah, apakah Permenaker itu sensitif dengan kerentanan hidup pekerja yang bergulat dengan situasi bertahan hidup ketika putus kerja,” ujarnya.
“Jelas, pekerja mengalami tekanan PHK, kenaikan UMP yang tertahan tahun ini, serta inflasi yang menggerus daya beli pekerja di tengah minimnya tabungan nyata yang ada,” tambah Robert.
Ia juga menyampaikan, narasi yang dibangun bahwa sudah ada alternatif Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), itu sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat.
“Kita semua tahu, JKP hari ini tidak inklusif, karena cakupannya terbatas pada pekerja formal tetap dengan masa iuran tertentu yang terkena PHK, bagaimana dengan pekerja informal, bagaimana dengan pekerja yang habis masa kontrak, mengundurkan diri dan sebagainya, ini tidak bisa mengakses manfaat JKP,” katanya.
“Belum lagi kalau kita bicara soal prosedur administrasi klaim manfaatnya paling lambat tiga bulan sesudah PHK, kalau tidak akan hangus,” jelas Robert.
Aspek ketiga adalah strategi pemberlakuan ke depan. Melihat situasi saat ini, menurut Robert, Permenaker tersebut diperpanjang masa transisinya dari 3 bulan menjadi setahun bahkan dua tahun untuk pemberlakuannya.
Selain diperkirakan semakin terkendalinya pandemi COVID-19 dan mulai pulihnya ekonomi tahun depan, juga agar pelaksanaan JKP sebagai bantalan sosial-ekonomi jangka pendek bisa ditata lebih baik sebagai “katup penyangga” atas kehidupan pekerja/buruh.
Dalam konteks JKP, tuturnya, usulan masa transisi setahun hingga dua tahun bagi Permenaker JHT tersebut.
“Sebagai bantalan ekonomi bagi pekerja yang terkena PHK atau berhenti kerja, mereka tentu tidak bisa memperoleh JKP seketika karena masa iuran paling sedikit 12 bulan (setahun) dalam 24 bulan (dua tahun) dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum PHK,” jelasnya.
Sembari menunggu masa setahun tersebut untuk bisa klaim manfaat JKP, maka JHT jangan berlaku dulu setahun ke depan.
“Jadi revisi atas kebijakan baru soal JHT itu bukan menyangkut filosofinya sebagai instrumen perlindungan jangka panjang, tabungan hari tua, tapi hanya terkait masa transisi pemberlakuan dari 3 bulan (Mei 2022, sesuai Pasal 15 Permenaker Nomor 2 tahun 2022) menjadi setahun,” ujarnya.
“Kita tetap mesti konsisten menata sistem SJSN secara menyeluruh, strategi transisi atas JHT ini merupakan pilihan tindakan taktis sementara,” pungkas Robert.