Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Situs Masyarakat Adat Australia

Meski Diprotes, Perusahaan Tambang tetap Berencana Menggilas Situs Masyarakat Adat Australia



Hanya selang beberapa minggu setelah perusahaan lain dikecam karena meratakan gua kuno di gurun Pilbara, BHP menyatakan mereka akan memperluas tambang bijih besi di daratan yang mengandung lapisan batu berusia sekitar 15,000 tahun.

Livia Albeck-Ripka

Berita Baru, Australia – Pada Kamis (11/6) lalu, sebuah perusahaan tambang raksasa mengungkapkan bahwa mereka akan tetap bergerak meratakan setidaknya 40 situs kuno masyarakat adat (Penduduk Indigenos) di padang gurun Pilbara, wilayah Barat Australia. Pernyataan ini muncul hanya beberapa hari setelah adanya protes nasional atas terkuaknya kasus pembongkaran situs arkeologi di wilayah lain.

Perusahaan yang bernama BHP tersebut telah menerima persetujuan untuk menghancurkan situs tersebut pada Mei, demi kepentingan perluasan wilayah tambang bijih besi yang bernilai $3.2 milyar. Sayangnya, lahan tersebut meliputi wilayah konservasi bebatuan yang berusia sekitar 15,000 tahun.

Akan tetapi di tengah pergolakan global terhadap isu ras dan ketidaksetaraan, rencana BHP tersebut telah memicu kemarahan dan kecaman di Australia. Persoalan itu juga telah mempertajam perdebatan panjang selama puluhan tahun mengenai perlakuan buruk atas masyarakat adat. Terutama keprihatinan atas warisan tradisional yang seringkali ditundukkan demi kepentingan industri terbesar dan terpenting milik negara: pertambangan.

Pada Kamis lalu, BHP terkesan berhati-hati saat mengatakan bahwa mereka tidak akan merusak situs warisan tanpa “konsultasi mendalam lebih lanjut” dengan pemilik tanah adat. Namun dalam sebuah wawancara lain, juru bicara BHP memperjelas bahwa tidak ada pilihan rencana untuk membatalkan pembongkaran tersebut.

Pengambilalihan lahan semacam itu membutuhkan “sebuah pengingkaran” atas hak-hak asasi masyarakat adat, papar Prof. Kristen Lyons, Sosiolog dari Universitas Queensland yang penelitiannya berfokus pada pertambangan dan hak asasi masyarakat adat. Pemilik tanah adat telah diingkari haknya dalam sebuah kesepakatan tahun 2015, tetapi hukum menguntungkan perusahaan dibandingkan masyarakat adat ketika terjadi pertentangan.

 “Ini adalah modus operandi di Australia,” tegas Profesor Lyons, menggambarkan kontradiksi yang nyata antara ketergantungan negara yang sudah ketinggalan zaman pada ekstraksi mineral dengan lonjakan kesadaran global saat ini terhadap rasisme yang terstruktur.

Sementara persetujuan atas penambangan kontroversial yang menghancurkan situs-situs budaya dan lokasi arkeologi penting bukanlah hal yang tidak biasa di Australia, sebagian besar pembangunan baru-baru ini telah memicu amarah banyak warga negara. Mengakibatkan terjadinya beberapa aksi protes dengan harapan bahwa hal ini dapat menjadi bukti sebuah momen perhitungan.

Di akhir Mei, akhirnya terungkap bahwa perusahaan tambang besar lainnya, Rio Tinto, telah meledakkan dua situs adat keramat yang berusia hampir 46,000 tahun di Pilbara. Beberapa hari kemudian diketahui bahwa Ben Wyatt, Menteri bagian Barat Australia untuk bidang Penduduk Indigenos Australia, telah menyetujui pembongkaran oleh BHP tersebut.

“Di situlah leluhur kami menempati kawasan tersebut,” Direktur Perusahaan Aborigin PKKP, Burchell Hayes, menyampaikan ke kantor berita lokal di wilayah Pilbara, setelah wilayah perlindungan di Juukan Gorge dihancurkan oleh Rio Tinto. Perusahaan Aborigin PKKP mengelola tanah adat milik suku Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura di Pilbara. Hayes bertindak sebagai penasehat untuk BHP.

“Itu sungguh, sungguh sulit untuk diterima bahwa tempat tersebut tidak lagi ada di sana,” sambungnya, mengacu ke wilayah perlindungan tersebut.

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, telah mengadopsi sikap yang semakin konservatif terhadap isu-isu seputar ras dan telah berupaya memisahkan hak-hak masyarakat adat dari perluasan gerakan Black Lives Matter yang menyebar di Amerika Serikat dan negara-negara lain.

Dirinya mengungkapkan dalam sebuah wawancara radio baru-baru ini, “Australia tidaklah berasal dari perdagangan budak.” Dia juga menambahkan dengan yakin bahwa negara tersebut tidak memiliki persoalan dengan rasisme sistemik.

Namun demikian, ada beberapa tanda bahwa protes keras atas pengrusakan situs-situs adat, yang mana tidak hanya signifikan bagi masyarakat adat melainkan juga bagi kepentingan ilmiah dan sejarah, telah menimbulkan dampak.

Pada Minggu, Kepala Eksekutif Rio Tinto, Chris Salisbury, meminta maaf atas penderitaan masyarakat adat tradisional karena perusahaan telah menghancurkan gua keramat mereka. “Hubungan kami dengan PKKP sangat bermakna bagi Rio Tinto. Kami telah bekerja bersama selama bertahun-tahun,” tambahnya, merujuk pada suku Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura.

Kamis malam di Melbourne, BHP mengeluarkan pernyataan klarifikasi bahwa mereka tidak mungkin memiliki rencana untuk merobohkan situs tanpa konsultasi lebih lanjut dengan pemilik tanah adat, suku Banjima. “Kami melakukan pendekatan yang berkelanjutan bagi operasi penambangan dan kerja kemitraan kami dengan tokoh-tokoh adat untuk menjamin bahwa setiap tahap pembangunan dikonsultasikan melalui cara pandang mereka,” papar pernyataan tersebut.

Sementara perwakilan Banjima mengatakan bahwa mereka membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan detail dari rencana perusahaan tambang tersebut, pengrusakan yang justru terjadi baru-baru ini di situs lain di Pilbara memperoleh kecaman mereka.

“Saat ini kami berdiri bersama semua pemilik tanah adat Aborigin dan khususnya saudara-saudara Pilbara kami, suku Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura. Kebencian kami terhadap penghancuran tempat perlindungan batu Juukan, dan dukungan terhadap mereka yang menderita ancaman atau baru saja mengalami pengrusakan situs sejenis,” tegas perhimpunan tersebut dalam sebuah pernyataan pada Kamis lalu.

Meskipun muncul perhatian baru atas penghancuran situs-situs masyarakat adat, ahli hukum mengatakan bahwa masih panjang tahapan yang perlu dilalui untuk menjamin situs keramat dan pemilik mereka terlindung dari eksploitasi.

 “Kerangka kerja hukumnya sangat lemah,” ungkap Samantha Hepburn, Direktur Pusat Hukum Energi dan Sumber Daya Alam di Universitas Deakin, Melbourne, Australia.

Meskipun perombakan cara bagaimana perjanjian dibuat sedang dipertimbangkan oleh pemerintah negara bagian Australia Barat, Profesor Hepburn mengatakan bahwa meminta pemilik lahan adat untuk menukar wilayah penting bagi budaya dan sejarah mereka dengan insentif uang merupakan suatu kesalahan dari awal.

“Warisan adat sedang dihancurkan dengan kecepatan tinggi dan itu tidak tergantikan, tidak akan dapat ditebus,” tegasnya.

Dia menambahkan, “Memang menyedihkan, bahwa kita tidak memiliki sebuah mandat dimana warisan budaya kita terlindungi secara layak di hadapan kepentingan ekonomi jangka pendek.”


SumberNytimes.com
PenulisLivia Albeck-Ripka
PenerjemahSarah Monica