Mengulik “Aroma” Akronim Publik
Apakah akronim punya aroma? Untuk subjek berbeda, saya pernah menanyakan hal yang sama dalam sebuah cerpen yang saya tulis,“Aroma Doa Bilal Jawad” (1998); apakah doa punya aroma? Menurut saya, doa punya semacam aroma yang bisa tercium secara zahir maupun batin. Ia bisa muncul dari menyan, makanan, atau bunga yang ditabur sebagaimana jamak ditemukan dalam tradisi Jawa atau Sumatera. Di Bali, doa-doa dipanjatkan di antara wangi dupa dan sesaji bunga-bunga. Harum sekali. Secara batin, aroma bisa muncul dari ketenangan dan rasa khusyuk. Tentu maknanya tidak harfiah.
Saya pikir, sebuah akronim juga dapat diandaikan punya “aroma”, khususnya akronim yang bertebaran di ruang publik. Akronim jenis ini ibarat udara yang dapat dihirup siapa saja sebab ia mengandung jiwa zaman (zeitgeist), cerminan sosok di baliknya, maupun peristiwa yang melatarinya. Dari situ kita bisa “mencium” dan “mengendus” pengertian atau konsep yang hendak diwedarkan. Efeknya membuat kita lebih intim, teromantisir, atau mungkin terteror. Semacam bibliosmia (aroma khas buku), lama atau baru, yang terhirup saat kita membuka atau membacanya.
Tegasnya, apa yang saya maksud dengan akronim publik adalah akronim kolektif yang dijadikan rujukan oleh masyarakat luas untuk melihat suatu masa atau sebuah peristiwa. Selain berserak di ruang massa seperti surat kabar atau “parlemen jalanan”, akronim publik bisa tercatat secara resmi dalam dokumen negara, masuk ke kurikulum, dan disebut dalam bahasa hukum, bahkan bisa saja tercantum dalam kitab undang-undang.
Keberadaan akronim publik yang tercatat secara resmi atau yang “hanya” termuat dalam karya sastra dan jurnalistik, menunjukkan ragam referensi melihat dan memaknai peristiwa. Dari situ publik bisa merujuk sejarah, persfektif dan eksistensi sebuah peristiwa dengan tidak satu jalur (mainstream). Secara teknis kita bisa lupa atau tak hapal kepanjangan sebuah akronim, tapi melihat “ekologi kata”-nya kita paham apa yang dimaksud. Itulah sebabnya, sebuah akronim kadang tercipta atau diciptakan sendiri oleh publik berdasarkan tindakan tokoh atau makna peristiwa di mata publik.
Misalnya, Jas Merah, menurut sejarawan Rusdhy Hoesein bukan datang dari Soekarno, tapi dari Kesatuan Aksi 66. Istilah itu merupakan tanggapan atas pidato terakhir Bung Karno pada peringatan 21 tahun kemerdekaan RI, 17 Agustus 1966 (CNN Indonesia, 16/5/2019). Terlepas dari itu, toh akronim tersebut terasa tepat mewakili sosok dan pikiran Soekarno yang tak hanya dikenal dalam jagad politik, juga sejarah dan kebudayaan.
Pada zaman Soekarno, masalah sosial politik yang pelik memang kerap dibungkus dengan akronim kreatif sehingga terkesan familiar. Wajar “aroma”-nya terasa kental dan tinggal lama dalam memori publik. Nasakom, Dwikora, Trikora, Trisakti, Ampera, Paraku hingga Pepera merupakan sederet akronim publik yang familiar itu. Tapi ada juga akronim ala Soekarno yang sesak, seperti Manifol USDEK (Manifes Politik Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).
Jatuhnya Soekarno
Jatuhnya Soekarno dan pecahnya biduk Orla (Orde Lama), didahului oleh sebaran “aroma” akronim publik yang khas. Dalam dunia politik ada Nasakom dan dalam kebudayaan ada Manikebu (Manifes Kebudayaan). Akronim Nasakom bisa saja diplesetkan menjadi “Baskom” karena memuat kaum Nasionalis, Agama dan Komunis dalam satu wadah (baskom). Bayangkan aroma apa yang muncul dari adonannya. Sementara Manikebu diubah secara sarkas oleh Lekra jadi Manikebo—dan aromanya tentu lebih sengak; mani kerbau!
Dalam politik dan militer, pasca-ontran-ontran-an, muncul akronim yang “baunya” sangat sangit (tajam seperti walang sangit atau wereng), yaitu: Gestapu (Gerakan Tigapuluh September). Rezim Orde Baru kemudian secara resmi menerakan akronim yang “aroma”-nya bertambah pahang (pengab, tak sedap) melalui kurikulum dan buku-buku pelajaran, yakni G 30 S/PKI.
Berakhirnya kekuasaan Soekarno dan mula berkuasanya Soeharto tidak terlepas dari “surat sakti” yang dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Nama yang sudah menjadi akronim publik itu (baik di ranah formal maupun di jalanan) diambil dari isi surat dan waktu terjadinya peristiwa. Isi surat berupa perintah untuk mengembalikan ketertiban umum pasca “kudeta” 1965, yang diberikan Soekarno kepada Soeharto pada 11 September 1966.
Akronim Supersemar bagi banyak orang tidak hanya merujuk surat itu sendiri, namun juga menggambarkan peristiwa yang berlangsung dan rentetannya setelah itu. Ungkapan tersebut akrab terutama di kalangan masyarakat Jawa yang dekat dengan tokoh wayang: Semar. Semar bisa dianggap sebagai tokoh super. Ia bisa mengejewantah dalam berbagai wujud dan limit.
Uniknya, senjata Semar paling ampuh adalah kentut yang berbunyi dan berbau. Baunya pasti busuk atau tidak enak (Ki Ageng Mangir, wayang.wordpress.com, 2010). Tapi gas itu harus dikeluarkan dari tubuh jika tak ingin jadi penyakit. Secara simbolik “kentut semar” bisa berarti suara atau perintah yang harus disampaikan meskipun tak enak didengar atau menimbulkan aroma kurang sedap.
Jadi akronim Supersemar bukan kebetulan, dan jika pun kebetulan, itu sangatlah pas. Sayang surat tersebut dinyatakan hilang sehingga kehilangan besar bagi bangsa kita. Untuk menggambarkannya bisa dengan meminjam judul buku puisi Hamid Jabbar, Super Hilang (1998). Sementara penyair Umbu Landu Paranggi yang menyebut Abdurrahmad Wahid atau Gus Dur sebagai Semar, sering guyon,”Sudahlah, tak usah pikirkan surat yang hilang, Gus Dur ‘kan sudah Super Semar atau Semar (yang) Super!”
Supersemar merupakan akronim publik yang bersifat transisi dari era Orla ke era Orba (kedua era ini juga akronim publik!) pasca gagalnya G-30-S/PKI.
Naiknya Soeharto
Naiknya Soeharto ke atas bahtera Orba (Orde Baru) dimulai dengan upaya melanggengkan akronim publik yang aromanya bikin publik jadi phobia. Gestapu dan G-30-S/PKI bukan hanya masuk kurikulum, juga menghiasi memori publik melalui sejarah, film, monumen dan Penataran P4. Minimal sekali setahun kita akan berjumpa besar-besaran dengan eksploitasi “aroma” akronim seputar “para pengganyang Pancasila”, sehingga “September Ceria” Vina Panduwinata terasa hambar belaka.
Sukses menguarkan “aroma” akronim dan idiomatik dalam sosial-politik, Orba makin keranjingan mengaduk aneka “aroma” untuk dilesakkan ke dalam memori publik. Jika akronim publik zaman Soekarno digali dari aroma diksi yang menyengat seolah aroma api, mesiu dan bau panas matahari (misal: “Revolusi” dan “Ganyang”), maka inti akronim publik masa Soeharto digali dari idiom-idiom pembangunan, kesejahteraan, ketertiban dan keamanan yang terkesan lebih soft. Misalnya, Repelita, Pelita, GBHN, P4, Bappenas, Kelompencapir, Sipenmaru, NKK/BKK, Inpres, Porkas, Toga hingga Bakin, Kopkamtib dan Petrus. “Aroma” yang terendus adalah wanginya beras pulen, pakaian anak kampus yang disetrika, pil KB, obat-obatan Puskesmas, keamanan yang terjamin lahir-batin, bunga-bunga dan tanaman obat keluarga serta sembako murah.
Dalam hal ketahanan pangan, muncul sebutan Bumi Gora untuk Pulau Lombok. Apa arti Gora? Saya kira kosa kata lokal yang mengandung spirit kearifan lokal seperti banua di Kalimantan Selatan atau kawanua di Minahasa. Ternyata itu akronim dari Gogoh Rancah. Alkisah, untuk mengatasi paceklik beras di NTB, diadakan program menanam padi jenis gogoh rancah yang cocok tumbuh di sana.
Untuk ketahanan pangan ini pula, ditahbiskan sebuah akronim beraroma lumpur, beserta senyum kalem presiden di tengah caping para petani: Kelompencapir. Artinya, Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan yang kerap muncul di TVRI sebagai siaran “wajib”—sebagaimana “Laporan Khusus” Menpen Harmoko yang harus menggeser jadwal tayang acara tetap seperti “Dunia Dalam Berita”.
Sementara dalam partisipasi pembangunan daerah, di Sumatera Barat, misalnya, muncul istilah Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang), yakni gerakan perantau Minang mengumpulkan uang Rp 1000/orang untuk membangun kampung halaman yang mendapat dukungan penuh dari “Bapak Presiden”.
Pada akhir kekuasaan Soeharto, kita juga punya akronim yang sangat mendekati suasana represif dan masif, yakni Kudatuli (Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli)! Akronim ini pasti tak ada dalam rancangan undang-undang atau kurikulum. Saya menduga akronim ini diciptakan oleh para jurnalis dan aktivis. Maknanya tidak sebatas merujuk kasus yang terjadi, tapi juga peristiwa yang melatarbelakanginya.
Entah mengapa tiap kali menyebut Kudatuli, di memori saya muncul seekor Kuda (yang) Tuli dikendarai Don Quixote atau Jendral Lu Xun, diliputi suasana realis-magis ala Marquez atau Borges. Aroma darah dan mesiu tercium dari situ. Sebagaimana kita juga menciumnya pada Mei kelabu atau September yang jauh.**
________________________
Penulis:
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, 19 Januari 1975. Buku cerpennya yang terbaru, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020). Ia mengelola Komunitas Rumahlebah dan Akar Indonesia di Yogyakarta. Sastrawan tinggal di Yogyakarta.
Sumber gambar: hellomister net