Menggugat Kedaulatan Ekonomi di Tengah Pusaran Modal Swasta
Menggugat Kedaulatan Ekonomi di Tengah Pusaran Modal Swasta
Oleh: Ronny Ardiansyah
Pada periode pemerintahan Joko Widodo, baik periode pertama maupun periode kedua, investasi dapat disebut sebagai penopang utama ekonomi Indonesia. Bahkan untuk menggenjot pertumbuhan investasi di Indonesia, dalam kurun waktu 2014-2018, pemerintah telah mengeluarkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi (PKE).
Sementara, pada perubahan PKE XVI, pemerintah menambah insentif bagi Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) dalam negeri (Mediatama, 2019).
Adapun periode kedua pemerintahan Joko Widodo, guna memudahkan proses masuknya investasi, Pemerintah Indonesia menggagas diterapkannya omnibus law sebagai sarana kemudahan perizinan investasi di Indonesia.
Pada titik ini, kita melihat upaya yang sangat maksimal dari pemerintahan Indonesia untuk mengerekkan pertumbuhan ekonomi dengan menarik investor baik dari dalam maupun luar negeri.
Namun, dari segala upaya tersebut, penulis mengajukan sebuah pertanyaan mendasar, apakah kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan mendasar ekonomi Indonesia atau kebijakan-kebijakan tersebut hanya menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu akan meledak.
Secara fundamental, Pasal 33 Undang-Undang Dasar tahun 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional disusun menurut asas kekeluargaan. Secara lebih lanjut dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perekonomian nasional disusun menurut demokrasi ekonomi. Ketentuan tersebut secara eksplisit nampak absurd, karena ketentuan itu tidak menjelaskan secara spesifik tentang sistem perekonomian nasional yang dianut Indonesia.
Namun, setelah penulis telusuri secara mendalam, penulis menemukan cita-cita perekonomian nasional dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agrarian (UU PA). Pada bagian penjelasan undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa kerangka perekonomian nasional menganut ajaran Sosialisme Indonesia.
Sosialisme merupakan ide yang dicetuskan oleh Karl Marx sebagai sebuah tatanan masyarakat yang lahir dari pertarungan kelas dalam masyarakat. Tatanan masyarakat sosialis merupakan anti-tesis dari tatanan masyarakat kapitalis yang mulai berkembang pada abad ke 18 hingga hari ini.
Walaupun secara ilmiah Marx menyatakan bahwa masyarakat sosialis suatu saat akan terbentuk, Marx juga menyampaikan bahwa terbentuknya masyarakat sosialis akan dihadapkan dalam berbagai tantangan-tantangan yang berbeda di setiap masa.
Mohammad Hatta menyampaikan pendapat yang berbeda dengan Marx. Menurut Hatta, masyarakat sosialis di Indonesia akan terbentuk dengan sendirinya, karena corak kolektivitas dan kekeluargaan telah melekat pada pola kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada satu sisi, penulis bersepakat bahwa pada pendapat tersebut, namun pada sisi yang lain, Hatta melupakan bahwa dalam sebuah masyarakat terdapat pertarungan atas sebuah eksistensi, baik pada sisi ekonomi, sosial maupun politik. Peristiwa jatuhnya Presiden Soekarno dan lahirnya masa orde baru yang bercorak kapitalisme Negara menjadi anti tesis dari pendapat Hatta.
Produksi dan Watak Investor
Ekonomi merupakan suprastruktur masyarakat. Sebagai suprastruktur, ketersediaan dan penguasaan sumber daya ekonomi (pekerja, produksi dan material produksi) akan mempengaruhi superstruktur masyarakat (ideologi, sistem politik, pendidikan dsb). Melalui konsepsi tersebut, kedaulatan atas politik, ideologi dan superstruktur lainnya, hanya dapat dicapai melalui kedaulatan ekonomi.
Untuk mencapai tahapan tersebut, makna kedaulatan ekonomi harus diperjelas terlebih dahulu. Banyak kalangan berpendapat, bahwa kedaulatan ekonomi akan dicapai apabila angka ekspor komoditas per tahun lebih besar daripada angka impor per tahun. Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka Negara “dianggap” mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun, terdapat beberapa logical fallacy pada beberapa aspek, terutama aspek kepemilikan modal dan aspek redistribusi keuntungan. Pada aspek kepemilikan modal, modal produksi dikuasai oleh segelintir individu yang lazim disebut sebagai investor.
Sebagai pemilik modal yang membiayai produksi, investor tentu akan mengharapkan keuntungan maksimal dengan resiko yang seminimal mungkin, watak inilah yang kami sebut sebagai watak investor.
Hal tersebut, tentu dilakukan melalui menekan ongkos produksi (upah pekerja, harga material produksi dan biaya operasional produksi). Sebagai bagian dari komponen produksi, tentu pekerja tidak berhak untuk mendapat hasil laba dari komoditas. Akumulasi keuntungan atas komoditas akan dibagikan kepada investor yang membiayai produksi tersebut.
Pada bidang produksi pertanian, problematikanya dapat dikatakan lebih kompleks lagi. Hal ini disebabkan karena secara kepemilikan lahan (sebagai alat produksi), petani dibedakan menjadi dua macam, yakni petani pemilik lahan dan petani gurem.
Petani pemilik lahan, merupakan petani yang berdaulat atas produksinya. Makna berdaulat dalam hal ini adalah, petani memiliki kuasa untuk menentukan komoditas yang akan diproduksi. Namun, permasalahan terbesar dari petani pemilik lahan adalah rantai distribusi yang tidak dikuasai secara kolektif.
Permasalahan tersebut menjadi sangat krusial, karena rantai distribusi merupakan satu-satunya jalan agar hasil produksi petani dapat sampai ke tangan konsumen, peran krusial inilah yang menyebabkan tengkulak (sebagai mata rantai distribusi) seringkali sewenang-wenang dalam menentukan harga. Bahkan seringkali margin keuntungan tengkulak jika memainkan harga mencapai 2 kali lipat dari harga beli dari petani.
Petani dalam hal ini tidak ada pilihan lain selain menjual komoditas tersebut, karena komoditas pertanian merupakan komoditas yang mudah busuk, sehingga menimbun komoditas pertanian merupakan tindakan yang sangat beresiko.
Permasalahan petani gurem lebih kompleks daripada permasalahan petani pemilik lahan karena petani gurem, tidak berdaulat atas produksinya sehingga harus bergantung kepada petani pemilik lahan yang dihisap produksinya oleh tengkulak.
Pembukaan Investasi : Kebijakan Ekonomi yang Akan Menjadi ‘Aspirin’
Setelah diurai berbagai permasalahan mendasar terkait produksi dan distribusi komoditas dalam masyarakat, mari kita kembali pada pertanyaan yang kami ajukan pada awal paragraph tulisan ini. Apakah kebijakan-kebijakan ekonomi dengan membuka investasi besar-besaran akan menyelesaikan problematika tersebut?.
Terdapat beberapa alasan, beberapa perusahaan asing melakukan penanaman modal dalam bentuk FDI di Indonesia yakni, ketersediaan pekerja yang murah, serta faktor lokasi Indonesia yang dekat dengan material produksi.
Kebijakan pemerintah yang untuk membuka akses investasi besar-besaran dapat diartikan bahwa pemerintah Indonesia semakin jauh dari cita-cita perekonomian nasional sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.
Pada satu sisi, kami tidak menampik bahwa pembukaan investasi besar-besaran sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Karena dengan dibukanya pintu investasi, maka jumlah arus modal yang mengalir di Indonesia semakin besar, terbukanya kesempatan kerja yang semakin besar, bahkan pembukaan investasi dapat menjadi stimulan bagi perusahaan yang melakukan investasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, dana Coorporate Social Responsibility (CSR) sangat berguna bagi pembangunan sumber daya manusia di wilayah perusahaan beroperasi.
Namun, pada sisi lain penulis berpendapat bahwa pembukaan investasi hakikatnya hanya menjadi ‘aspirin’ dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Karena pada hakikatnya proses penanaman modal tidak bertujuan untuk membangun ekonomi masyarakat, namun bertujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi investor.
Apabila sebuah modal pembangunan sebuah Negara dihasilkan melalui penanaman modal swasta, peran Negara yang seharusnya menjadi lokomotif dalam penataan perekonomian nasional akan semakin tereduksi. Sehingga cita-cita perekonomian nasional yakni Sosialisme Indonesia hanya menjadi angan-angan.
Sebelum membahas tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk menuju kedaulatan ekonomi, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai makna kedaulatan ekonomi itu sendiri.
Sebab, banyak kalangan (terutama pengampu kebijakan) salah tafsir mengenai makna kedaulatan ekonomi. Bahkan maknanya direduksi bahwa kedaulatan ekonomi hanya sebatas pada akumulasi jumlah modal dalam negeri yang lebih besar daripada akumulasi modal asing yang beredar di Indonesia.
Makna tersebut menjadi rancu karena akumulasi modal dalam negeri tersebut hanya dikuasai oleh segelintir orang di Indonesia. Jika ditinjau dari akumulasi kekayaan masyarakat Indonesia, 1% orang terkaya di Indonesia, menguasai 46,6% total kekayaan penduduk Indonesia.(“1% Orang Terkaya Indonesia Menguasai 46% Kekayaan Penduduk | Databoks,” n.d.).
Sehingga kedaulatan ekonomi tidak dapat dimaknai hanya sebatas, akumulasi modal dalam negeri yang lebih besar, akan tetapi kedaulatan ekonomi harus dimaknai sebagai penguasaan sendi-sendi perekonomian oleh masyarakat secara kolektif. Untuk menuju cita-cita tersebut, penataan ulang sistem perekonomian harus segera dilakukan.
Penataan ulang sistem perekonomian harus dilakukan dalam koridor untuk melakukan redistribusi kekayaan sehingga sendi-sendi perekonomian (alat produksi dan akses pasar) dikuasai secara kolektif oleh masyarakat.
Salah satu bentuk undang-undang yang memiliki spirit tersebut adalah UU PA. Spirit yang terkandung dalam UU PA adalah redistribusi tanah sebagai alat produksi bagi petani. Namun, instrumen reforma agraria tidak hanya sebatas pada penguasaan alat produksi, namun juga pembukaan akses pasar, agar akses pasar dikuasai secara kolektif oleh masyarakat.
Selain melakukan redistribusi tanah, salah satu hal yang dapat dicontoh dari pemerintahan orde lama secara makro ekonomi adalah melakukan isolasi ekonomi.
Isolasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintahan orde lama melalui pengaturan yang tegas terhadap sektor-sektor utama melalui perencanaan nasional yang komprehensif. Melalui instrumen tersebut seluruh modal yang akan ditanamkan di Indonesia harus sesuai dengan perencanaan perekonomian nasional.
Walaupun isolasi ekonomi tersebut menuai kegagalan dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1960, namun langkah-langkah tersebut mampu membendung arus liberalisasi pasar yang hendak menguasai sektor-sektor perekonomian utama di Indonesia.
Di tengah sistem perekonomian yang bercorak pasar bebas saat ini, langkah-langkah tersebut perlu dilakukan sebagai bentuk komitmen pemerintah kepada konstitusi. Jika pemerintahan secara nasional belum mampu melakukan, setidaknya langkah tersebut minimal dilakukan oleh pemerintahan daerah, terutama pemerintah kabupaten Jember. [*]
Ronny Ardiansyah adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas Jember. Sekarang menjadi Staf Lembaga Studi Desa untuk Petani (LSDP).