Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Masyarakat Sipil Soroti Pelemahan KPK Pasca Terbitnya UU 19/2019

Masyarakat Sipil Soroti Pelemahan KPK Pasca Terbitnya UU 19/2019



Berita Baru, Jakarta – Pelemahan struktural dan sistematis terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya terbukti, seperti yang dikhawatirkan berbagai kelompok masyarakat sipil. Hasil penelitian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan adanya sejumlah indikasi pelemahan yang serius.

Muhammad Nur Ramadhan, peneliti dari PSHK, menjelaskan bahwa dampak dari diterbitkannya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No.30 Tahun 2002 menciptakan berbagai permasalahan, salah satunya adalah kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Sejak awal, masyarakat sipil mengkritik keras kewenangan ini karena membuka peluang KPK untuk menghentikan perkara yang belum terselesaikan,” ungkap Ramadhan dalam sebuah diskusi terkait Laporan Evaluasi Kinerja KPK Periode 2019-2024, Jumat (06/09/2024).

Kekhawatiran masyarakat sipil terbukti ketika pada 1 April 2021, KPK pertama kali menerbitkan SP3 untuk menghentikan penyidikan dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu, SP3 juga diterbitkan KPK untuk delapan kasus korupsi lainnya, yang menimbulkan perdebatan mengenai efektivitas dan independensi KPK dalam memberantas korupsi.

Ramadhan juga menyoroti ketidakjelasan posisi dan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. “Kewenangan Dewas tidak diatur dengan jelas dalam UU 19/2019, hanya disebutkan tugasnya. Ini membuat Dewas seolah kehilangan kekuatan dalam melakukan pengawasan,” jelasnya. Hal ini berpotensi menimbulkan benturan kewenangan antara Dewas dan Inspektorat KPK, terutama karena objek pengawasan mereka serupa. Ramadhan menambahkan, “Penegakan etik oleh Dewas juga belum optimal karena adanya kelemahan dalam kewenangan mereka.”

Selain itu, Dicky Anandya, peneliti ICW, menyoroti masalah internal KPK terkait birokrasi yang semakin gemuk dan adanya loyalitas ganda di kalangan penyidik dan penyelidik KPK. Peraturan KPK No.7 Tahun 2020 yang menambah jumlah deputi dari empat menjadi lima dinilai bermasalah. “Peraturan ini tidak sejalan dengan Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU 30/2002. Loyalitas ganda ini adalah masalah lama yang tidak pernah diselesaikan oleh pimpinan KPK,” ujar Dicky.

Dicky juga menjelaskan bahwa Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU 19/2019 mengamanatkan KPK untuk bisa merekrut penyidik secara mandiri. Hal ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.109/PUU-XIII/2015 yang menegaskan bahwa KPK tidak harus bergantung pada kepolisian dan kejaksaan.

Penurunan performa KPK juga terlihat dari angka keberhasilan penuntutan (conviction rate) yang sempat mencapai 100 persen, tetapi kini menurun. KPK yang dulu mendapatkan apresiasi karena setiap terdakwa berhasil dihukum, kini mulai kebobolan dengan adanya beberapa putusan bebas. Selain itu, jumlah tuntutan yang diajukan jaksa KPK juga turun drastis dalam kurun waktu 2018-2023.

Ramadhan berpendapat bahwa merosotnya integritas KPK ini juga disebabkan oleh kinerja pimpinan KPK periode 2019-2024 yang dinilai bermasalah. Berbagai masalah internal dan eksternal ini telah berdampak serius terhadap efektivitas KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.