KPAI Catat 207 Anak Alami Pelecehan Seksual di Sekolah Sepanjang 2021
Berita Baru, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 207 anak menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021. Sebagian besar pelaku adalah guru.
“Rincianannya, 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti lewat siaran pers, Selasa (28/12).
Berdasarkan catatan tahunan KPAI, korban kekerasan seksual menimpa anak dari rentang 3 – 17 tahun. Murid PAUD/TK 4 persen, usia SD/MI 32 persen, SMP/MTs 36 persen, dan SMA/MA 28 persen.
Mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school. Dari 18 kasus, 12 di antaranya terjadi di bawah satuan pendidikan asrama.
Pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang (55.55%), Kepala Sekolah/ Pimpinan Pondok Pesantren sebanyak 4 orang (22,22%), pengasuh (11,11), tokoh agama (5.56%) dan Pembina Asrama (5.56%).
Jumlah pelaku ada 19 orang, meskipun total kasusnya 18. Sebab kasus kekerasan di Pondok pesantren Ogan Ilir dilakukan oleh 2 pelaku yang berstatus guru.
Retno menerangkan bahwa modus pelaku cenderung beragam. Mulai dari mengiming-imingi korban dapat nilai tinggi, menjadi polwan, bermain game online di tablet pelaku, sampai meminta korban untuk memijat namun diraba raba bagian intimnya.
“Pelaku meminta korban menyapu gudang namun kemudian dicabuli di dalam gudang, mengancam memukul korban jika menolak, mengeluarkan dalil-dalil harus nurut pada guru, dan dalih terapi alat vital yang bengkok,” lanjutnya membeberkan modus pelaku.
KPAI lalu mendorong Kementerian Agama memiliki Peraturan Menteri seperti Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan Di Satuan pendidikan.
KPAI juga juga mendesak KemendikbudRistek dan Kementerian Agama untuk membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis.
“Terutama pada satuan pendidikan berasrama atau boarding school. Peraturan Menteri harus disertai penanganan dan penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan,” kata Retno.