Kontras Desak Pemerintah Evaluasi Pendekatan Militeristik di Papua Tanpa Keadilan bagi Keluarga Yeremia
Berita Baru, Jakarta – Tepat empat tahun sejak pembunuhan tragis Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya, Papua, keadilan bagi keluarganya masih belum terwujud. Pada 19 September 2020, Pendeta Yeremia, seorang tokoh agama yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan, ditembak hingga tewas di kebun miliknya oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Meskipun tiga anggota TNI telah diadili, putusan peradilan militer dinilai jauh dari harapan keluarga korban.
Menurut laporan, Pendeta Yeremia bersama istrinya, Mama Miriam Zoani, berada di kebun mereka di daerah Bomba saat terdengar suara tembakan dari Markas Koramil Hitadipa. Sore harinya, Mama Miriam bertemu dengan rombongan TNI, yang dipimpin oleh Alpius, seseorang yang ia kenal. Rombongan tersebut kemudian menuju ke kandang babi milik pendeta, namun hingga malam tiba, Pendeta Yeremia tidak kunjung kembali. Mama Miriam yang mencarinya menemukan sang suami tergeletak dengan luka tembak dan tusukan.
Dalam kondisi kritis, Pendeta Yeremia sempat menyebut bahwa serangan tersebut dilakukan oleh rombongan yang dipimpin Alpius. Namun, nyawanya tidak tertolong, dan ia meninggal pada malam harinya.
Kasus ini kemudian diadili di Pengadilan Militer III-19 Jayapura, di mana tiga anggota TNI, yaitu Moh. Andi Hasan Basri, Alex Ading, dan Saiful Anwar, dinyatakan bersalah atas pembunuhan tersebut. Namun, hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, yakni masing-masing satu tahun penjara. Vonis ini semakin mengecewakan ketika putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Militer pada Mei 2023.
“Keluarga tidak dilibatkan dalam proses persidangan, dan keputusan yang diambil sangat jauh dari kata adil. Peradilan militer ini tidak transparan, dan kami tidak mendapatkan akses informasi selama persidangan berlangsung,” ungkap KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dalam siaran persnya pada Sabtu (21/9/2024).
KontraS menilai, kasus ini menunjukkan bagaimana peradilan militer gagal menerapkan prinsip-prinsip keadilan, independensi, dan imparsialitas. KontraS juga menekankan bahwa mekanisme peradilan militer seringkali tertutup dan sulit diakses oleh korban.
Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi terhadap pendekatan keamanan di Papua. “Pendekatan militeristik di Papua tidak pernah berhasil menyelesaikan konflik. Justru, eskalasi kekerasan terus meningkat, dan banyak penyalahgunaan kekuasaan terjadi,” ujarnya.
KontraS juga meminta revisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang dinilai sudah tidak relevan. “UU ini harus direvisi agar proses hukum lebih transparan dan akuntabel. Tanpa reformasi ini, rantai impunitas akan terus berlanjut, dan masyarakat Papua akan terus dirugikan,” tegas Dimas.
Pemerintah diharapkan segera mengubah pendekatan keamanan menjadi lebih humanis dan membuka ruang dialog yang konstruktif untuk menyelesaikan konflik di Papua. Dialog dan penghormatan terhadap hak asasi manusia diyakini menjadi kunci dalam mencapai solusi jangka panjang bagi Papua.
“Sudah saatnya pemerintah berhenti mengandalkan kekuatan militer dan mulai mendengarkan suara masyarakat Papua yang mendambakan keadilan,” tutup Dimas.