Komnas HAM: RKUHP Harus Sesuai Koridor Hak Asasi Manusia
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengingatkan Pemerintah dan DPR RI agar penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sesuai dengan koridor hak asasi manusia.
“Komnas HAM berharap perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tetap berada dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro di Jakarta, Senin (5/12).
Menurut Atnike, Komnas HAM menyoroti sejumlah hal dalam draf RKUHP versi terbaru. Misalnya, tindak pidana pelanggaran berat HAM di dalam RKUHP sebagian besar diadopsi dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Secara prinsip dan asas delik pelanggaran HAM yang berat atau dalam RKHUP disebut tindak pidana berat terhadap HAM memiliki prinsip dan asas yang tidak sama dengan tindak pidana biasa meskipun di RKUHP disebut tindak pidana khusus,” paparnya.
Ia menjelaskan dalam delik pelanggaran HAM berat dikenal dengan asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal kadaluarsa. Apabila RKUHP tidak memasukkan dua asas tersebut, maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang penyelidikannya sudah selesai dapat dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi.
“Padahal faktanya kita masih bisa menemukan korban atas peristiwa-peristiwa tersebut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Atnike menyebut, Komnas HAM menganalisis adanya kecenderungan ancaman pemidanaan penjara yang menurun di RKUHP dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Untuk kejahatan genosida, Undang-Undang Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun,” tuturnya.
Sementara, lanjut Atnike, dalam RKUHP paling singkat lima tahun dan paling lama tahun. Hal itu tertuang dalam Pasal 598 RKUHP versi 30 November 2022.
“Untuk tindak pidana terhadap kemanusiaan, Undang-Undang Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun,” ujarnya.
Disisi lain, katanya, dalam RKUHP diatur ancaman pidana penjara tergantung pada delik yang disangkakan, namun paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun. Hal tersebut tertuang pada Pasal 599 RKHUP.
Dalam RKUHP versi terbaru, maksimal penghukuman hanya 20 tahun sehingga sifat kekhususan (“extra ordinary crime”) dari delik perbuatan pelanggaran HAM yang berat direduksi oleh tindak pidana biasa.
“Dengan demikian harapan atau cita-cita hukum untuk menimbulkan efek jera (aspek retributif) dan tidak terulang menjadi tidak jelas,” ujar Atnike.
Tidak hanya itu, kata dia, diaturnya genosida dan kejahatan kemanusiaan di RKUHP dapat melemahkan bobot kejahatan/tindak pidana tersebut dan dikhawatirkan berkonsekuensi mengubah kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.
Termasuk, ujar Atnike, berpotensi mengaburkan sifat khusus yang ada dalam kejahatan tersebut dan berpeluang menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif.
“Termasuk ketidakjelasan atau ketidakpastian hukum dengan instrumen hukum lain yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP serta memiliki potensi celah hukum,” pungkasnya.