Koalisi Save Sangihe Island: Tiga Saksi Blak-blakan Soal Ancaman Tambang
Berita Baru – Jakarta, Pendampingan penyelamatan pulau Sangihe dari eksploitasi tambang masuk persidangan lanjutan. Berdasarkan UU RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pasal 35 huruf k dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang.
Pasal 35 huruf k menjelaskan dilarangnya melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan merugikan masyarakat sekitarnya.
Hal itu juga dijelaskan Irfan Ghazy selaku anggota advokasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bagian dari Koalisi Save Sangihe Island. Menurutnya, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Tambang Mas Sngihe (TMS). Di antaranya ialah penambangan yang dilakukan di pulau kecil, melanggar RTRW – tidak mengatur pertambangan skala besar, dan Sangihe termasuk kawasan konservasi.
“Selain itu, wilayah Sangihe ini termasuk kawasan rawan bencana, ada gunung api aktif, gunug Awu. Perda no.4 th 2014 pasal 1 tentang RTRW kabupaten Sangihe disebutkan bahwa Sangihe merupakan kawasan rawan bencana gunug berapi. Pasal 40, rawan letusan gunung api, dan rawan letusan api bawah laut. Serta, kawasan longsor – pasal 38.” Jelasnya.
Karena belum menemukan titik terang, kasus yang bermula pada akhir tahun lalu berlanjut hingga sekarang. Pada 13 Januari lalu adalah persidangan terakhir yang dihadiri oleh tiga orang saksi. Semua pihak hadir ke persidangan, kuasa hukum penggugat utama, kuasa hukum penggugat intervensi, kuasa hukum tergugat Intervensi yakni PT. TMS tanpa kehadiran Kuasa Hukum dari Tergugat utama Menteri ESDM RI.
Muhammad Jamil, selaku kepala devisi hukum JATAM mengatakan bahwa sidang berlangsung sejak pukul 13.00 – 15.00 WIB dengan tiga orang saksi fakta dengan latar belakang yang berbeda asal pulau Sangihe.
Pertama, Robison Saul asal desa Sowaeng Pulau Sangihe. Ia menjelaskan dari sisi kerugian nelayan dan keterancaman nelayan, pesisir mangrove dan pulau-pulau kecil.
Kedua, Arbiter seorang pensiunan guru PNS asal desa Salurang Pulau Sangihe menjelaskan tentang masa depan anak-anak, tragedi hilangnya air bersih akibat aktivitas tambang PT. TMS dan menjelaskan juga selama ini warga pulau Sangihe menyekolahkan anaknya hingga ke universitas dari hasil laut dan pertanian,bukan pertambangan.
Ketiga, Samsared asal desa Soataloaba II seorang pegiat lingkungan dan burung. Ia memberikan kesaksian tentang ancaman tambang di pulau kecil yang terdapat gunung api aktif bawah laut dan darat akan membuat warga jadi pengungsi yang bingung akan ke mana. Selain itu keterancaman burung endemik, burung Niu di gunung Sandarumang terancam punah.
Sidang masih belum menemukan keputusan dan akan berlanjut pada Rabu 26 Januari 2022 dengan agenda yang sama yaitu tambahan bukti surat dan keterangan saksi dari para pihak penggugat dan penggugat intervensi. (Al/ Muiz)