Kenapa Terlalu Bising Pada Aturan Kebisingan TOA?
M. Bakhru Thohir
Selain argumen Menteri Agama (Menag) melarang adzan, menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing, ada satu argumen lain yang juga lumayan sering muncul untuk merespon surat edaran Menteri Agama No 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala yang sudah seminggu ini bikin gaduh, yakni: kenapa sih harus ngurusi hal-hal yang gak pernah jadi problem bertahun-tahun. Padahal masih banyak hal yang bisa diatur dan diperhatikan.
Mereka melanjutkan bahwa masalah yang dihadapi negara ini sudah banyak, seperti penanganan pandemi varian omicron, sengketa tanah, timnas yang tak kunjung ikut piala dunia, sampai minyak goreng yang hilang dari pasaran. Ada hal-hal krusial yang bisa diurusi dari pada sesuatu yang sudah ajek dan baik-baik saja selama menahun. Mereka juga memungkasi dengan pernyataan bahwa Kementerian Agama ini bikin aturan-aturan sendiri, bikin gaduh sendiri dan sibuk klarifikasi sendiri.
Pertama-tama, argumen masih banyak hal krusial tapi kenapa yang sudah baik ini dibuat gaduh malah terkesan mengada-ada, kenapa? Karena tidak semuanya jadi isu strategis dari Kementrian Agama. Ya masak Kementrian Agama komentar soal bola, kan nanti juga bisa kena bully. Bully lagi ya kan.
Lalu, urusan kenapa Menag bikin gaduh dengan membuat aturan tentang sesuatu yang dari dulu udah adem ayem. Saya kira ini juga kurang tepat. Kenapa demikian? Karena saya pernah menemui sebuah tulisan dari Gus Dur yang membicarakan topik serupa pada medio 1980an dan dimuat di majalah tempo. Saat itu Gus Dur menyoroti penggunaan pengeras suara atau lebih jamak dikenal TOA yang disetel sejak pagi buta saat orang masih terlelap tidur. Artinya urusan TOA ini bukan terus adem ayem, dari dulu sudah dibicarakan atau didiskusikan. Apalagi sampai Gus Dur menulis dan diterbitkan di media massa, tentu buat beliau ini bukan urusan yang remeh-temeh.
Eh ndilalah saya kemudian menemukan sebuah utas data yang menarik dari CRCS UGM yang membicarakan tentang perkembangan aturan pengeras suara ini. Yang perlu saya highlight adalah ternyata pada 1970an, ada sebuah masjid di Kebon Jeruk yang mengharamkan penggunaan pengeras suara karena hal itu tidak ada di zaman Nabi. Lalu saat tahun 1973, terjadi musyawarah alim ulama terbatas di DKI Jakarta yang mengeluarkan keputusan soal penggunaan pengeras suara masjid. Lalu pada tahun 1976, Gubernur DKI merujuk keputusan musyawarah alim ulama itu membuat seruan tertulis tentang penggunaan pengeras suara untuk alat syiar dan 1978 Dirjen Bimas Islam mengeluarkan surat instruksi tentang penggunaan pengeras suara untuk masjid, langgar, dan musala. Sekali lagi hal ini bukan terus di ada-adakan. Dari dulu ternyata sudah banyak yang membicarakan.
Lalu kalau dicermati tentang sebenarnya siapa si orang-orang yang paling vokal bersuara merespon isu ini? Sependek pengamatan saja, mereka bukan datang dari kelompok NU atau Muhammadiyah. Mereka datang dari yang selama ini akrab dengan narasi islamofobia dan yang punya pegangan hidup bahwa sebaik-baiknya aturan itu kalau hidup diatur berdasarkan syariat islam, atau kalau dalam pengantar buku islamku, islam anda, islam kita yang ditulis Bapak Syafii Anwar disebut kelompok legal-eksklusif.
Saya membaca ramainya hiruk pikuk ini, lalu sedikit mengambil gambaran tentang sebuah karakter yang mungkin bisa menggambarkan kenapa mereka sebegitunya gaduh saat Menag mengeluarkan aturan yang ternyata sejak zaman bahula itu sudah beberapa kali dibahas. Karakter yang saya kira juga akan cocok dengan terjemahan Bapak Syafii Anwar yang menyebut golongan ini dengan legal-eksklusif, yakni sikap tidak berani melakukan kritik pada Islam atau pada hal-hal yang diyakini oleh dirinya sendiri. Mereka meyakini bahwa apa yang datang atau bersandar pada agama adalah sesuatu yang absolut dan tak perlu dibahas apalagi dikritik.
Kenapa hal ini bisa terjadi, saya merujuk pada mereka yang kenapa merespon harus sebegitu marahnya pada sesuatu yang bahkan dalam syariat ajaran saja tidak ada. Kita tahu bahwa yang ada dalam syariat adalah anjuran untuk adzannya bukan tentang TOA-nya. Selain itu, banyaknya argumen yang “digoreng” mulai dari isu gonggongan anjing, pertanyaan tentang “emang siapa yang terganggu oleh adzan”, sampai Menag pelarangan adzan yang ternyata memang sangat tidak substansial. Kalau kita telaah baik-baik pada isi aturan itu, tidak ada satu narasi pun yang muncul bahwa Menag melarang adzan. Bahkan mungkin satu-satunya yang -kalau bisa disebut- larangan adalah soal suara TOA maksimal hanya boleh 100 db.
Tentu ini tidak setara dengan kemarahan mereka. Menag dibuat ilustrasi berbadan anjing sampai menginjak muka Menag beramai-ramai, tentu itu lebih tidak islami. Kalau mereka adalah orang yang berani bertanya pada apa yang diyakini, saya kira mereka akan berani ngecek tentang sejarah pengeras suara, siapa yang sejatinya terganggu oleh suara riuh surau, 100 db itu setara dengan suara apa, sampai apa sih hukumnya adzan menggunakan pengeras suara sebelum terlalu murka seperti ini.
Tapi nyatanya memang ini belum muncul, untuk tidak mengatakan tidak kalau-kalau ada yang bertanya tapi lolos dari pengamatan saya. Namun kebanyakan dari mereka yang kontra ini lebih suka muncul ke permukaan dengan mempertontonkan sifat denay. Mereka menyatakan kalau sebenarnya tidak ada orang yang terganggu dengan suara masjid karena itu kalimat-kalimat yang indah dan agung, biarkan antar surau saling bersahutan, biar meriah. Peda’i Felix Siauw juga mengatakan kalau istrinya punya rumah yang jejer dengan mushala dan selama hidupnya ia tidak pernah protes dengan bunyi-bunyian mushala bahkan bahagia dengan keadaan itu.
Selain itu, apakah mereka juga lupa bahwa banyak sekali hal-hal yang saat ini dibuat identik dengan Islam adalah hasil serapan budaya dan teknologi. Data CRCS UGM menyebutkan bahwa tahun 1970an masih ada yang menganggap TOA bidah dan haram digunakan karena gak ada di zaman nabi, padahal ini baru beberapa tahun yang lalu. Selanjutnya, kalau Menag buat aturan tentang sajadah, tasbih, hiasan dinding masjid, lampu-lampu masjid, sampai menara, apakah mereka akan semarah ini? Padahal semua itu jelas adalah produk budaya dan teknologi selepas Islam lahir.
Dulu zaman Nabi, Bilal yang naik ke menara, sekarang pengeras suaranya yang naik ke menara, Bilalnya tetap di bawah dan ini berbeda dengan zaman nabi. Dan masih banyak hal lain yang dulu dan sekarang ini berbeda, banyak aturan-aturan yang menyertainya dan ini wajar-wajar saja untuk menyesuaikan dengan tempat dan waktu. Lagi pula aturan-aturan tidak lantas mengurangi esensi dan nilai-nilai dari ajaran Agama Islam.
Sehingga saya rasa kemarahan mereka itu terlalu berlebihan. Anda tentu boleh tidak setuju, tapi anda juga tidak boleh menutup mata bahwa ada di antara kita yang kadang-kadang perlu fokus untuk sebuah webinar jam 4 sore, eh ternyata surau mengeluarkan suara yang membuat tidak bisa fokus pada isi webinar dan tidak bisa ikut berpendapat untuk webinar itu. Kita juga tak bisa tutup mata kalau ada wanita yang haid, bayi dan orang tua yang sakit menjadi tidak bisa tidur dengan lebih nyenyak karena jauh sebelum subuh surau sudah mengeluarkan bunyi-bunyian. Dan anda juga tak bisa menutup mata memang ada orang yang ingin menikmati ramadan dengan lebih hening dan intim dengan Tuhan seperti di Mesir tetapi tidak terjadi karena selama ramadan 24 jam TOA berbunyi. Ini semua ada, tidak perlu menutup mata, karena sejatinya berlebihan dalam islam itu tidak baik. Bukan hanya berlebihan dalam membelanjakan harta dan marah, bahkan berlebihan dalam beribadah juga ndak dianjurkan.
Penulis adalah penggerak GUSDURian Nasional, Pegiat Literasi Gubuk Tulis, dan Dosen di Universitas Bojonegoro.