Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

MBKM: Percepatan Konversi Universitas Ke Sekolah Vokasi?

MBKM: Percepatan Konversi Universitas Ke Sekolah Vokasi?



Penjelasan Bagus Muljadi, asisten profesor di University of Nottingham, tentang fungsi universitas dan profesor membuat saya faham apa yang seharusnya dilakukan universitas dan profesor. Tetapi di waktu yang sama, saya merasa sepertinya fungsi itu berbeda dengan apa yang diinginkan Mas Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, saat ini dengan MBKM-nya.

Dalam sebuah podcast yang bertajuk endgame di channel YouTube Gita Wirjawan, Bagus Muljadi menjelaskan bahwa universitas adalah tempat inkubasi ide-ide besar, termasuk yang radikal. Dilahirkan dan diuji sebelum nantinya akan diadopsi masyarakat. Sementara profesor secara kata berasal dari frasa profiteri yang artinya menyuarakan dengan lantang. 

Profesor dilindungi haknya untuk menempa ide baru, berpikir, dan menguji apa yang tepat untuk masyarakat. Sehingga yang dinilai adalah gagasan yang lahir bukan sekadar kum atau matrik, ansih. Selain itu, fungsi paling jelas tentang universitas adalah tempat orang belajar bernalar, sementara tempat yang memiliki fungsi untuk mencetak pekerja adalah sekolah vokasi, yang memang berasal dari kata vocare yang artinya adalah panggilan atau karir. Dan saya merasa bahwa banyak dari program-program MBKM yang malah mengarah ke vocare itu tadi.

Menempuh Kuliah di Luar Prodi

Hal pertama yang membuat saya berpikir bahwa MBKM menjauh dari fungsi dasar universitas adalah adanya program mahasiswa kuliah di luar prodinya. Mahasiswa dapat menempuh pendidikan di luar prodi agar pengetahuan yang didapat lebih beragam dan nantinya aktivitas itu akan direkognisi atau dihargai dengan sejumlah SKS dari prodi asal.

Saya ingat betul analogi yang dipakai Mas Nadiem di awal-awal peluncuran MBKM tentang kenapa mahasiswa perlu belajar di luar prodi. Beliau mengibaratkan dunia setelah kampus adalah seperti laut lepas. Akan ada banyak badai dan ombak besar yang tidak bisa diprediksi, kalau mahasiswa hanya menguasai satu teknik renang, dia akan mudah digulung ombak, sehingga mahasiswa perlu dibekali banyak skill atau banyak gaya renang sehingga dapat bertahan di kejamnya laut lepas.

Lalu bagaimana dengan kedalaman intelektualitas? Perbedaan paling mencolok dunia universitas dan SMA di Indonesia adalah focusing materi. Dulu saat kita sama-sama SMA, kita merasakan betul bagaimana hidup diforsir dengan harus menguasai banyak hal. Universitas menjadi pembeda karena selama bertahun-tahun kita ditempa untuk menjadi intelektual yang mapan pada bidang yang ditekuni.

Meminta mahasiswa untuk kuliah di luar prodi bukankah sama saja mengembalikan proses belajar mahasiswa ke tataran tidak fokus seperti saat sekolah dulu?

Saya masih belum dapat membayangkan bentuknya saat kebijakan ini diterapkan di fakultas-fakultas yang sifatnya adalah ilmu dasar semisal MIPA, Filsafat, atau Kedokteran. Selanjutnya, banyak contoh yang saja utarakan adalah dari prodi saya: kimia. Sampai semester 5 bahkan 6, tidak semua mahasiswa dari prodi ilmu dasar sudah berbicara hal-hal teknis, akan tetap ada beberapa mata kuliah yang sifatnya masih prinsip dasar, seperti analisis instrumen atau mekanisme reaksi anorganik. 

Kemudian saat mahasiswa mengikuti program belajar di luar prodi dan akhirnya tidak mendapatkan basis prinsip dasar tersebut? Bukankah ini malah akan menjadi lubang pengetahuan bagi mahasiswa? Bukankah ini malah menghambat proses munculnya intelektual?

Meskipun saya perlu jujur, bahwa saya tidak begitu paham tentang kondisi di luar fakultas ilmu dasar seperti pertanian atau ilmu lingkungan. Mengalami hal yang sama atau tidak, tapi saya rasa setiap mereka akan punya tantangannya sendiri. 

Namun saat dugaan saya ini benar, bagaimana universitas akan menjadi tempatnya orang belajar bernalar, toh terdapat lubang dasar pengetahuan yang tidak didapatkan mahasiswa karena mereka melakukan program di luar kampus yang katanya untuk menambah skill. Dan bukankah skill bernalar, berargumen, dan berdiskusi telah disediakan oleh ormawa di kampus? Kenapa tidak ini saja yang dibenahi, agar hal-hal buruk yang kita dengar tentang ormawa seperti perpeloncoan dapat terdegradasi?

Magang atau Praktik Industri

Selain belajar di luar prodi, satu hal lagi yang sangat terkenal dari proses MBKM adalah magang. Magang di sini berbeda dengan praktik kerja lapangan yang hanya dilakukan dalam waktu 1 bulan. Magang MBKM bisa berlangsung selama minimal 3 bulan dan bahkan bisa full 1 semester atau 6 bulan. Dan lagi-lagi, kegiatan ini bisa dikonversi ke SKS. Sehingga mahasiswa akan mendapatkan nilai meskipun tidak menempuh tatap muka di kelas sama sekali.

Alasan kenapa magang menjadi salah satu program prioritas MBKM adalah memberikan soft skill pada mahasiswa untuk siap dengan dunia kerja setelah lulus. Karena salah satu yang ingin dituju dari MBKM adalah lulusan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Konon kabarnya program ini diinisiasi oleh industri, program MBKM menyebutnya DIDU (dunia industri dan dunia usaha), agak semakin banyak mahasiswa yang mencicipi dunia kerja dan harapannya mereka bisa langsung kerja setelah lulus. Nilai untuk prodi memang besar saat mahasiswa lulus dapat langsung bekerja di tempat magangnya saat ikut MBKM. Mungkin untuk memangkas biaya training.

Dan benar saja, bahwa saat ini salah satu indikator lulusan itu “berguna” bagi prodi dan universitas adalah saat ia mendapatkan kerja tidak lebih dari 6 bulan setelah lulus, dan kerjanya pun harus sesuai dengan prodi. Ini bisa diampuni kalau lulusan memilih berwirausaha atau membuka lapangan pekerjaan. Intinya adalah yang penting cepat kerja. 

Sehingga nuansa yang kental adalah dari mana pun kamu, siapa pun kamu, kamu harus magang dan cepat dapat kerja setelah lulus. Dan hal inilah yang membuat saya mengernyitkan dahi karena merasa semakin kesini semakin kabur perbedaan universitas dan sekolah vokasi. 

Memang perlu diakui bahwa saat mahasiswa hanya duduk di kelas dan mendengarkan ceramah tidak cukup untuk memberikan bekal pengetahuan. Karena sejatinya pendidikan yang memerdekakan pikiran orang adalah yang juga diimbangi dengan pengalaman langsung. Tapi bukan lantas magang menjadi solusi. Menurut saya memperbanyak praktikum di laboratorium lebih masuk akal karena apa yang akan dikerjakan mahasiswa benar-benar konteks dengan yang dibicarakan di kelas. 

Sementara dunia industri sudah lumayan spesifik dan tidak memberikan banyak informasi. Misal, saat mahasiswa kimia melakukan magang di sebuah perusahaan oleokimia, dia hanya akan berkutat pada topik oleokimia dan ditambah menggunakan instrumen yang namanya GCMS. Aktivitas itu kurang lebih akan cocok dengan 2 mata kuliah, yakni kimia industri dan pemisahan kimia.

Setelah mengikuti magang mahasiswa akan mahir soal oleokimia dan GCMS, buruknya hanya itu yang akan didapat. Sementara saat mengikuti kuliah kimia industri, pemisahan kimia serta lengkap dengan praktiknya, mahasiswa akan tahu seluruh jenis industri kimia dan cara kerjanya. Dan mahasiswa juga akan tahu banyak hal untuk melakukan pemisahan kimia tidak hanya GCMS saja.

Proses kuliah dan praktikum juga akan memberikan kemampuan tentang memilih jalur analisis mana yang lebih tepat, efisien, dan murah. Tidak hanya soal kesesuaian melaksanakan prosedur pada satu alat saja. Sehingga magang memang bisa memberikan pengalaman, namun tidak utuh dan komprehensif. Dan sekali lagi bahwa universitas harusnya membuat mahasiswa pandai bernalar bukan sebatas siap kerja.

Sehingga,

Bukanlah lebih bijaksana kita melakukan apa yang memang menjadi fungsi masing-masing. Kalau memang universitas memiliki fungsi untuk menciptakan pemikir-pemikir baru, ya mari mengajak mahasiswa untuk menjadi insan intelektual. Kalau memang sekolah vokasi memiliki fungsi menciptakan tenaga kerja handal, ya mari dibekali dengan sederet soft skill yang dibutuhkan.

Saya pernah mendengar bahwa MBKM ini lahir karena Mas Menteri sadar kalau sekolah tidak hanya di dalam ruang kelas dan guru bisa datang dari siapa saja, tapi ya jangan lantas dikemas dengan program-program formal seperti ini. Kalau memang keterbatasan pemerintah adalah hanya bisa melakukan kegiatan formal, lebih baik kegiatannya adalah mengakomodir dan mensupport badan-badan yang menyediakan pendidikan alternatif. Kan asal tujuannya kena.

——

Penulis: M. Bakhru Thohir (Kaprodi Kimia Universitas Bojonegoro)