Kekuatan Politik Kerakyatan dan Politik Uang: Meneropong Proses Politik Pilkada Sumatera Selatan
Opini: Okky Asranja
Dari pemilu 14 Februari kemari kita bisa melihat arah gerak perpolitikan di pilkada serentak Oktober nanti apakah bergerak ke arah pendidikan politik yang memberikan memori baik bagi rakyat atau tragedi politik tukar tambah kepentingan dan jual beli suara semata. ingatan kita tentang brutalnya pemilu serentak Februari lalu yang menyuguhkan proses-proses politik busuk dari tingkat nasional sampai tingkat daerah, tukar tambah kepentingan, permainan aturan dan politik uang.
Realitas politik menjelang pilkada serentak mulai menjadi asupan penting dewasa ini. yang menarik dari proses politik 5 tahunan ini adalah bagaimana para tokoh yang berlaga menggunakan segala macam cara untuk memikat rakyat, memilih turun sampai ke akar rumput, berbicara tentang harapan-harapan dan menyatukan kekuatan politik masing-masing partai pendukung. Seperti yang terjadi dikontestasi pilkada Sumatera Selatan yang menjadi bahan penulis dalam meneropong arah proses politik yang baik atau sama brutal nya dengan pemilu 14 Februari yang lalu. pilkada sumatera selatan menyajikan menu cukup kompleks antara Herman Deru, Mawardi Yahya, dan Edi Santana dalam memperebutkan kursi Sumatera Selatan 1.
Metode politik blusukan menjadi pilihan Herman Deru dalam mengkampanyekan hajat politiknya. bertemu hampir seluruh lapisan masyarakat se-Sumatera Selatan, menggalang dukungan semua kalangan, berbincang tentang persoalan kerakyatan. pendekatan politik semacam ini memang melekat pada tubuh politik Herman deru yang tidak enggan untuk bercengkaraman langsung bersama rakyat, mendengar problematika kerakyatan. dan terbukti metode seperti ini mengantarkan Herman deru menjadi gubernur Sumatera Selatan periode sebelumnya.
Lain halnya Mawardi Yahya yang berangkat dengan dukungan partai politik yang banyak, dalam pidatonya di pertemuan partai-partai koalisinya, Mawardi menyampaikan dan meminta untuk seluruh kader-kader partai pendukungnya yang mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi di Sumatera Selatan untuk menghimpun kembali kekuatan suara yang mereka dapatkan di pemilihan umum 14 Februari lalu. hal ini menjadi perhatian khusus bagi penulis yang melihat proses politik di pemilu 14 Februari lalu yang penuh dengan politik kotor. naiknya angka penggunaan metode politik uang untuk mendapatkan suara menjadi menu utama dalam perhalatan politik 5 tahunan itu. hal ini menjadi ketakutan penulis jika memang metode yang sama akan di digunakan kembali dalam upaya menduduki kursi nomor 1 di Sumatera Selatan tersebut, maka rakyat perlu khawatir karena politik uang adalah bentuk kejahatan yang di anggap lumrah oleh para pelaku politik dan efeknya menjadi buruk untuk pendidikan politik kerakyatan.
Edi Santana datang di menit-menit akhir pendaftaran calon gubernur Sumatera Selatan yang di usung oleh parta PDI-Perjuangan. yang mana kita tahu sebelumnya Heri Amalindo, yang merupakan kader dari PDI-Perjuangan yang tidak mendapatkan restu dari rumah nya sendiri yakni PDI-Perjuangan. layaknya hal-hal yang datang tak terduga, muncul nya Edi Santa menjadi pertanyaan besar di masyarakat.
Melihat fenomena politik di pilkada sumatera selatan ini, penulis mengkhawatirkan apa yang terjadi dalam proses politik di pemilu 14 Februari lalu yang sangat kental dengan metode politik uang. apa yang kita ketahui tentang yang terjadi di pemilu 14 Februari lalu presentasi penggunaan metode politik uang dalam mencari dan mendapatkan suara sangat tinggi dan hampir seluruh kontestan yang berlaga menggunakan metode politik uang ini. hal demikian yang harus kita cegah agar tidak terulang kembali di pilkada sumatera selatan ataupun dalam wilayah yang lain. kita tidak bisa lagi menganggap bahwa metode politik uang itu bagian dari sesuatu yang lumrah terjadi. kedangkalan kita dalam memandang kejahatan menjadi persoalan yang serius, karena politik uang adalah bentuk dari kejahatan yang kita dangkalkan dan kita anggap bukan sesuatu yang buruk.
Hannah Arendt dalam bukannya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, sangat gamblang menjelaskan bagaimana efek buruk dari kita mendangkalkan kejahatan. sejarah mencatat dengan baik bagaimana kekejaman pasukan Nazi yang melakukan gonosida besar-besaran dan mereka menganggap kejahatan tersebut merupakan hal yang biasa. kedangkalan pengetahuan akan membawa kita pada sikap serupa. begitu juga dengan proses politik yang kotor; politik uang. jika kita menganggap bahwa metode politik dengan menggunakan politik uang adalah hal yang lumrah dalam meraih kekuasaan sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan para pejabat Nazi yang mengakui pada sidang di Yarusalem tentang kejahatan yang mereka buat adalah kejahatan yang biasa saja.