Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pendidikan Humanisme dan Kebhinekaan | Opini: Salahuddin Al Ayubi

Pendidikan Humanisme dan Kebhinekaan | Opini: Salahuddin Al Ayubi



Salahuddin Al Ayubi


Salah satu prinsip yang dapat mempersatukan dan memperkuat kebhinnekaan di Indonesia adalah humanisme. Uraian yang cukup panjang di atas menunjukkan bagaimana humanisme telah menjadi nilai universal yang dapat menyatukan semua manusia dari beragam bangsa. Humanisme tidak dibangun dari perbedaan. Humanisme dibangun dari penghargaan atas manusia dan kehidupan bersama. Perbedaan budaya, suku, bangsa, agama dan golongan tidak ditolak di dalam humanisme. Semua itu adalah identitas masingmasing manusia. Namun jauh di dalam diri manusia, kemanusiaanlah yang menjadi perekat dan penghubung antar manusia yang berbeda.

Pendidikan merupakan pintu gerbang pertama bagi humanisme agar dapat dibawa kembali pada kehidupan manusia Indonesia. Driyakara menyebut bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk memanusiakan manusia muda ataupun mengangkat manusia ke taraf yang lebih insani. Lewat pendidikan, generasi muda Indonesia bisa memahami humanisme dalam Pancasila sehingga mereka dapat berpikiran terbuka terhadap kebhinnekaan dan menghargai sesama manusia sesuai kodratnya. Padahal, pendidikan Pancasila telah lama ditinggalkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa banyak anak muda Indonesia yang belum memahami prinsip-prinsip dasar Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, pertimbangan keterwakilan, dan keadilan sosial.

Pendidikan Pancasila pada dasarnya sangat urgen untuk kembali ke bangku sekolah, apalagi jika melihat situasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang dilanda krisis kebhinekaan. Menurut Jurgen Habermas, pendidikan intensional dapat menjadi  alternatif  pendidikan humanistik yang mungkin dialami  guru dan siswa. Dalam pendidikan intensional, siswa dan guru terbuka untuk berkomunikasi dan mendiskusikan isu-isu sosial, politik, dan lainnya yang akan membuka visi mereka terhadap dunia yang pluralistik. 

Di dalam kelas pendidikan deliberatif, humanisme Pancasila bisa menjadi topik yang didiskusikan oleh guru dan peserta didik. Mereka bebas untuk memberikan argumen, opini ataupun sanggahaan yang logis berkaitan dengan tema ini. Jika para guru dan peserta didik terbiasa untuk mendiskusikan humanisme Pancasila dalam kesehariannya, menurut Lawrence Kohlberg, nalar mereka akan terbentuk secara otomatis untuk memiliki sikap moral yang humanis sesuai dengan Pancasila.

Humanisme yang dibawa masuk ke ranah pendidikan akan mengembangkan rasionalitas para peserta didik karena humanisme ini didiskusikan dengan dasardasar metodologi ilmiah yang jelas. Dengan rasionya, para peserta didik menalar segala kemungkinan yang terbuka dari humanisme untuk kemudian darinya ia mengkritisi realitas yang ia hidupi. Diskusi juga membuka pintu bagi mereka untuk belajar bagaimana berkomunikasi satu sama lain, memahami ide satu sama lain, dan kemudian membentuk konsensus bersama. Konsensus ini tentu saja secara fundamental, secara moral, menuju kebaikan.

Bentuk lain dari pendidikan humanis adalah dengan mengajak siswa dan guru untuk terjun langsung mengalami  kemanusiaan seperti yang diajarkan John Dewey dengan gagasan learning by doing. Guru dan siswa akan bertemu dengan kelompok budaya dan agama, status sosial, dan lain-lain untuk belajar langsung tentang nilai-nilai kemanusiaan. Dengan melihat dan mengalami keragaman, mereka akan belajar pentingnya humanisme sebagai salah satu perekat keragaman ini.


Penulis merupakan guru pendidikan bahasa Indonesia dari Semarang