Jimly Asshiddiqie Nilai Sistem Pemilu Perlu Ditata Dengan Omnibus
Berita Baru, Jakarta – Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017 Jimly Asshiddiqie menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki sistem demokrasi agar lebih berkualitas dan berintegritas.
Hal itu ia sampaikan melalui unggahan pada akun media sosial twitter pribadinya @JimlyAs pada Minggu (31/1).
“Sangat disayangkan, Pemerintah akhirnya sudah merasa nyaman dengan sistem yang ada sekarang, tidak berminat lagi untuk memperbaiki sistem demokrasi agar lebih brkualitas & brintegritas dalam jangka Panjang,” tulis Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Apabila ditelusuri lebih jauh, ungkapan Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi 2003-2008 tersebut merupakan kelanjutan dari pernyataan sebelumnya yang menyinggung sikap mayoritas partai politik dan pemerintah yang tidak mau melakukan revisi Undang-Undang Pemilu.
“Nampaknya mayoritas parpol & pemerintah cenderung tidak mau revisi UU Pemilu. Ya sudah lah. Yang penting, Capres 2024 perlu diupayakn jangan 2 tapi 3 sampai 4, biar ragam aspirasi tersebar untuk akhirnya disatukan oleh Presiden terpilih. Parpol-parpol jangan mau diborong/ngeborong untuk tujuan sempit,” tulisnya pada Minggu pagi (31/1).
Selanjutnya Jimly mengutarakan jika dia telah lama mengusulkan penerapan omnibus law sebagai upaya penataan sistem hukum yang harmonis dan padu secara menyeluruh. Termasuk untuk menata sistem politik secara modern.
“Sudah sejak lama saya anjurkan penerapan omnibus law sebagai legislative technique. Untuk penataan sistem hukum yang harmonis & padu secara mnyeluruh. Sistem politik yang terpusat di pemilu & kepartaian sudah semestinya juga ditata ulang secara modern & padu,” terang Jimly.
Jimly menilai Pemilu selalu terkait dengan setidaknya 14 Undang-Undang, yaitu UU Partai Politik, UU Ormas, UU Mahkamah Konstitusi, UU Mahkamah Agung, UU PTUN, UU Aparatur Sipil Negara, UU Administrasi & Kependudukan, UU Perseroan, UU Penyiaran, UU Pemerintahan Daerah, UU Daerah Khusus Istimewa Jakarta, UU Keistimewaan Yogyakarta, UU Otonomi Khusus Papua, dan UU Otonomi Khusus Aceh.
UU ASN berkaitan dengan netralisasi aparatur sipil negara. UU Adminduk dianggap selalu berbenturan dengan data pemilih. Sedangkan UU PT dan UU Penyiaran untuk mengatur agar kelompok bisnis dan media netral politik.
“Maka perlu ditata dengan Omnibus. Inisiatif mesti (dari_red.) pemerintah, bukan parpol,” tegasnya.