Jadi Penyair | Puisi-Puisi Edy Firmansyah
Jadi Penyair
Jika puisi
menjadi darah dan daging
kau akan sadar
betapa kecil diri
dalam semesta penciptaan
Hujan, angin gaduh,
daun jatuh,
lalu lalang kendaraan
kemacetan, kecelakaan
malam remang, siang garang
jalan licin, fatamorgana pada aspal
angka-angka dalam kalender
daftar belanja
struk harga berwajah angker
Menjahit kata-kata lebih mudah
daripada menjalani hidup
–semudah menekan tombol wifi
Penyair sejati menyampaikan
hal-hal kecil tapi dekat
bukan hal-hal besar tapi jauh
begitu jauh
dan tak tersentuh
2022
Penyair Biasa Saja
Jangan pernah berpikir
bahwa aku semurni-murninya penyair
hampir sebagian hidupku tunduk
pada mesin absensi
sebagai orang suruhan
Kadang-kadang aku menulis
kadang-kadang melakukan petting
dengan cleaning service
di ruang sekretaris
kadang melakukan petting
dengan sekretaris
di ruang ganti cleaning service
aku tidak bisa memperbaiki talangan bocor
tapi sedikit bisa menegangkan kata-kata yang kendor
Aku sendiri tidak tahu
mengapa takdir membawaku sejauh ini
sebuah kutukan atau penghiburan?
Jadi penyair adalah menjadi manusia
bukan untuk terkenal
tapi karena malu
pada diri sendiri
belum bisa memberi banyak
pada dunia ini
2022
Bertemu Seorang Nabi
Aku bertemu seorang nabi
hari ini
ia berusia 5 tahun
masih cukup belia
untuk memimpin dunia
tapi punya harapan
Aku baru saja menarik uang
dari ATM. honor puisiku
yang dimuat di media online
lalu pulang ke rumah
dengan sebungkus rokok
sebatang sabun dan sekotak sikat gigi
dengan tulisan; BELI 2 GRATIS 1
Aku masuk rumah
duduk di ruang tamu
dan ia datang menghampiriku
kuberikan padanya Rp. 5.000
sebagai hadiah
siapa tahu ia ingin beli
permen atau chiki
Tapi ia menggeleng dan berkata:
“Ayah, aku tak ingin uang
aku ingin sebuah pelukan”
Aku terkejut
lalu segera memeluknya
uang itu masih tergetak di meja
2022
Dua Bocah
Dua bocah berkulit terang dan gelap
berlarian riang menembus udara lembab
mengejar capung-capung
Mengapa matahari yang mematangkan biji-bijian
dan menegakkan rerumputan menggelantung murung
di sebuah ranting tua pohon akasia?
apakah karena langit muram itu
atau hari-hari berlalu pilu
Ada tawa bahagia di mulut bocah-bocah
dan hati setulus dan selincah ricik alir air
di kedalaman tanah
Langit menggelegar
amuk hujan garang
dua bocah itu masih berlarian
menyusuri pematang demi pematang
makin jauh, makin samar
dan menciptakan embun di remang
sepasang bola
matamu
2022
Nasehat
Anakku,
untuk memberi nyawa
ibu harus mempertaruhkan nyawa
Airmata ibu adalah lautan darah
yang menampung alir seribu cabang sungai
rasa sakit dan kesedihan
Karena itu menangislah jika
engkau ingin menangis
dan tertawalah jika
engkau ingin tertawa
jangan menunggu tua
untuk memahami cinta
cinta adalah ASI
yang kau minum sejak
tangis pertama
memekakkan dunia
Jangan membenci
pada mereka
yang punya banyak waktu
mencintai
Jangan pernah merampas
sebab orang-orang merampas
karena tak punya banyak keberanian
untuk memberi
2022
Bocah Dalam Diri
Aku bertanya: usia itulah yang bikin kemput
nyali di keras hujan?
atau Tuhan?
Kulihat jalanan mati
rumah-rumah pucat dari kaca helm berembun
tak ada bocah lari-lari mandi, hanya bocah di dalam diri
menikmati deru mesin matik menerobos hujan di kekosongan
2022
Senin Pagi
Tak ada puisi di Senin pagi
menjelang 1 Mei
hanya belek
menempel pada pelupuk
dan mata remang sibuk
menepis amuk kantuk
Di bawah hujan
bangkai April
tertidur di lubang-lubang jalan
berwarna keruh cokelat hitam
motor-motor matic melintas pesat
anak-anak berseragam berwajah lesu
berjalan di pinggir jalan
bak domba-domba menuju rumah pejagalan
mengejar angan hari esok yang tak mesti
dalam Senin pagi
2022
Edy Firmansyah lahir di Pamekasan, Madura. Buku antologi puisi tunggalnya yang pernah terbit, antara lain: Derap Sepatu Hujan (Indie Book Corner, 2011) dan Ciuman Pertama (Penerbit Gardu, 2012). Buku puisi terakhirnya yang akan segera terbit berjudul Ciuman Terakhir (Penerbit Diomedia, 2022).
Beberapa Puisinya juga berserakan dalam antologi bersama, di antaranya: Dian Sastro For President! End of Trilogy (AKY&Insist Book, 2005) Tuah Tara No Ate: Bunga Rampai Puisi dan cerpen Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, 2011), 100 Puisi terpilih Gelombang Maritim (Dewan Kesenian Banten dan SN Book, 2016), MENAPAK KE ARAH SENJA: Sepilihan Puisi Sastra Digital 2011-2014 (Buku Sastra Digital, 2017), Bima Membara (Halaman Moeka Publishing, 2012), Agonia: antologi penyair Jember-Jogya (IBC&Tikungan, 2012). Selain itu juga tersebar di media cetak dan online seperti: Harian SURYA, JAWA POS, Radar Madura, Radar Surabaya, Surabaya Post, Pojokpim.com, apajake.id, biem.co, dsb. Bisa dihubungi via twitter: @semut_nungging dan IG: @edy_firmansyah