Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mukjizat Akhir Pekan | Cerpen Nanda Winar Sagita
Ilustrasi: Wassily Kandinsky

Mukjizat Akhir Pekan | Cerpen Nanda Winar Sagita



Sekondel Mambo tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk menerjemahkan karyanya ke dalam bahasa asing mana pun atau mengadaptasinya menjadi bentuk visual apa pun. Cukup dinikmati dalam bentuk buku yang tertulis dalam bahasa kita saja, katanya. Semua orang tahu ia itu siapa: ia adalah penulis dengan tiras penjualan buku paling laris di negeri ini—secara teknis dan isi, berbobot pula. Hanya dari menulis dua buku kumpulan cerita pendek dia sudah membeli sebuah rumah mewah di kawasan elite ibu kota. Dia sering menyumbangkan sebagian kecil hartanya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim dari pinggiran kota hingga ke pelosok desa, dan membangun pula sebuah perpustakaan megah di sebuah sekolah pinggiran. Awal kejayaan itu diraupnya terjadi sekitar dua tahun silam, setelah dia menerbitkan buku pertamanya yang langsung meledak di pasaran.

Tentu bukan hanya itu: kalimatnya juga sering dikutip, sehingga namanya sangat populer melebihi para selebritis. Nyaris tak ada seorang bocah atau seorang renta pun yang tidak tahu dirinya; dan menurut seorang kritikus masyhur: kehadiran Mambo di kancah kesusastraan telah mengangkat derajat sastra sampai ke taraf yang tidak pernah terbayangkan.

Pernah suatu ketika ada bloger antah berantah yang mempublikasikan karyanya dalam Bahasa Inggris, dan bloger itu ia tuntut ke pengadilan. Si bloger didenda dengan jumlah uang yang tidak masuk akal—konon seharga lima puluh sapi—dan sejak kasus itu, tidak ada lagi yang berani untuk melanggar aturan yang telah ia buat. Memang ada segelintir kritikus yang menyerangnya, tapi karena sifatnya yang ramah dan dermawan, dia tidak pernah kehilangan penggemar. Namun ada satu orang yang nyaris meruntuhkan segala kejayaan yang diraih Mambo; dan orang itu adalah penulis pemula yang kerap memakai nama pena Algozo di Aptenun.

***

“Aku tidak membencinya secara personal,” kata Algozo pada Azmi Surender, rekan intelektualnya, “tapi ada yang tidak beres dari cerita-cerita yang dia tulis.”

“Mungkin kau cuma iri,” kata Azmi, “karena mustahil bagimu untuk mencapai apa yang telah dia capai.”

“Bagaimanapun juga aku memang pernah mengaguminya. Tentu sebelum aku membaca sebuah cerpen dari bahasa Bahasa Dzongkha, yang kemudian mengantarkanku pada cerpen-cerpen lain dari belasan bahasa yang sangat asing dengan kita.”

“Dzongkha? Bahasa dari planet mana itu?”

“Masih di bumi. Itu bahasa resmi di Bhutan. Tahu, kan?”

“Oh ya ya,” kata Azmi Surender seraya mengangguk, meski saat itu ia sendiri tidak yakin apakah temannya itu memang serius atau sedang bergurau.

***

Algozo di Aptenun pernah ingin menyerahkan jiwanya pada Iblis. Saban tengah malam tiba, ia kerap berdiam diri di setiap persimpangan jalan untuk menunggu kedatangan Mephistopheles—sebagaimana pratogonis dari sebuah buku yang pernah ia baca—untuk menjual kebebasannya dengan menandatangani perjanjian terkutuk demi mendapat bakat menulis yang mumpuni. Sosok gaib itu tidak pernah ia temui, dan hanya menjadi mitos mengecewakan dalam riwayat pencariannya.

Ia memang terobsesi untuk menjadi seorang penulis yang melampaui Mambo. Usianya tujuh tahun lebih tua dari Mambo, dan lama-kelamaan sifat alamiah dalam dirinya memang membuat ia sadar bahwa mengidolakan orang yang lebih muda adalah penghinaan atas impian muluknya. Semestinya dia cukup mengagumi legenda semacam Faulkner atau Rumi saja, bukannya orang yang baru lahir saat ia sudah duduk di bangku SD. Sejauh ini, cerpen-cerpennya baru dipublikasikan di media-media kecil dan nyaris tidak ada yang membaca. Sebenarnya cerita yang ia tulis cukup bagus, hanya saja ia kurang beruntung.

Kesadarannya muncul pada suatu akhir pekan yang basah di pertengahan bulan November. Saat itu rinai hujan di atap rumahnya mengalahkan suara musik yang ia putar lewat ponselnya. Lantaran suara musik itu tidak terdengar lagi, maka dia iseng-iseng membuka situs dalam bahasa Dzongkha. Tentu saja aplikasi Chrome membuat laman yang ia buka secara otomatis diterjemahkan ke dalam bahasa ibunya. Setelah sekian menit berselancar di internet, ia secara tidak sengaja masuk ke situs cerpen dan membacanya.

“Apa-apaan ini!” kata Algozo. “Orang ini memplagiat cerpen Mambo!”

Namun setelah membaca titimangsa yang tertera di sudut kanan-bawah tulisan itu, Algozo malah mengumpat lebih nyaring lagi.

“Setan!” katanya. “Bukan orang Bhutan ini yang memplagiat, tapi Mambo!”

Lantaran penasaran, setelah itu ia mencoba untuk menyalin cerpen-cerpen Mambo yang lain untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Dzongkha lewat Google Terjemahan, kemudian menyalin hasil terjemahan itu untuk ditempelkan di kolom pencarian. Memang dia tidak menemukan kesamaan lain, tapi ketika ia menerjemahkannya ke dalam bahasa Yoruba untuk kemudian melakukan hal yang sama, dia kembali mengumpat.

“Laknatulah!” umpatnya,” anak setan!”

Setelah itu dia melakukan aktivitas itu secara berulang, dan menemukan kesamaan yang tidak bisa disangkal antara cerpen-cerpen Mambo dan cerpen-cerpen dari bahasa asing seperti Tatar, Sesotho, Lituania, Magyar, Korsika, Chicewa, dan beberapa bahasa lainnya yang benar-benar asing dengan kita. Tentu dia paham, bahasa yang diterjemahkan oleh mesin Google itu masih berantakan, tapi setidaknya dengan sedikit sentuhan subtil dan kemampuan merangkai bahasa, maka kalimatnya bisa dipermak dengan sangat indah dan memukau.

“Pantas saja Mambo melarang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing,” ceracau Algozo, “dia tidak ingin rahasia besarnya terbongkar!”

Saat itu, muncul ide brilian dalam benaknya. Ia ingin menelanjangi Mambo di hadapan semua orang. Caranya tentu sudah ia pikirkan juga: ia mengirim sebuah esai analitik yang berisi perbandingan atas cerpen-cerpen Mambo dan cerpen-cerpen sumbernya, lantas mengirim esai itu ke media ternama. Namun setelah tiga bulan menunggu, tidak ada surel yang membalas tulisannya. Ia tahu tulisannya ditolak, dan ia harus melakukannya dengan cara lain.

***

“Kau yakin ingin melakukannya?” kata Azmi. “Sudah kau pikirkan efek yang akan menimpamu nanti? Dia itu orang terkenal, lho.”

“Aku yakin,” kata Algozo.

“Aku sarankan jangan. Kalau kau mempublikasikan hasil temuanmu di medsos, penggemar fanatiknya pasti akan menyerangmu. Selain itu, kau hanya akan terjebak dalam ketenaran 15 menit. Aku yakin sekali soal itu. Mending kau ajak dia bertemu, dan bicarakan baik-baik.”

“Apa menurutmu itu bagus? Bagaimana kalau setelah itu dia menculikku? Orang kaya tentu punya seribu cara busuk untuk melenyapkan musuh-musuhnya.”

“Kau coba saja dulu. Usahakan di tempat ramai. Di kafe atau apa gitu.”

***

Setelah memikirkan saran dari Azmi, Algozo merenung sangat lama. Sepanjang malam, oh tidak, sampai pagi dia memikirkan saran itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mambo via pesan di Instagram. Saat membuka profil akun Mambo, ia merasa agak cemburu. Akun itu punya lebih dari tiga puluh juta pengikut, dan tentu saja itu jumlah yang melampaui penyanyi kondang sekelas Agnez Mo sekalipun.

Dengan jemari gemetaran, ia mulai menulis pesan. Tapi tiap kali ia selesai menulis, secepat itu pula ia menghapusnya. Tentu saja pesan yang ia kirim harus lugas dan meyakinkan. Setelah tujuh belas kali percobaan, akhirnya ia mengirim pesan yang berbunyi: “Aku tahu rahasia tulisanmu. Bahasa Dzingkha dan Sesotho? Cerdas sekali. Jadi kapan kau sempat menemuiku di kafe Abadi Jaya?”

Tentu saja butuh waktu enam hari sebelum pesan itu dibaca, dan butuh waktu dua hari lagi sebelum dibalas. Ketika menerima balasan dari Mambo, ia diajak untuk bertemu di tempat yang ia mau. Hari itu, Algozo benar-benar gelisah. Dia tidak ingin kalah, jadi hal pertama yang harus diasahnya adalah kemampuan bicara dan kesiapan mentalnya. Untuk menguatkan temuannya, ia juga mencetak esai yang telah ia tulis sebagai data akurat untuk melawan Mambo.

***

Sekondel Mambo datang seorang diri ke kafe itu. Ia memakai kacamata hitam dan menutupi bagian bawah wajahnya dengan masker scuba, sehingga tidak ada seorang pun yang menyadari kehadirannya. Di meja yang berada agak jauh dari pintu, Algozo sudah menantinya. Setelah perkenalan singkat dan basa-basi memuakkan lainnya, mereka akhirnya tiba pada inti obrolan.

“Aku tidak akan menyangkalnya,” kata Mambo. “Tapi kita berdua tidak akan dapat apa-apa kalau kau membongkarnya.”

“Jadi kau mau menyogokku, begitu?” kata Algozo.

“Mari kita saling membantu saja. Aku akan membuatmu terkenal. Sebelum ke sini, aku mencari namamu di internet. Muncul beberapa cerpen yang cukup bagus. Kalau kau mau, aku bisa membantumu untuk berada di posisiku sekarang.”

“Kau meremehkanku.”

“Bukan begitu, Sobat. Ada banyak cara untuk mencapai impian. Dan aku kira jalan yang aku pilih masih bisa dimaafkan. Lagi pula, siapa sih di negara ini yang akan membaca cerita dari bahasa Dzongkha atau Chicewa? Kecuali kau, tentu saja, dan itu bukti bahwa aku tidak meremehkanmu.”

“Kau mencuri ide dari kepala orang lain, dan itu tidak bisa dibenarkan.”

“Tapi bisa dimaafkan. Ayolah, ini kesempatan langka. Kau bisa memilih untuk menghancurkan hidup kita berdua atau bersama-sama membangunnya.”

***

Hanya dalam waktu sebulan setelah pertemuan di kafe itu, buku perdana Algozo diterbitkan. Tentu dengan kalimat pujian dari Mambo yang tertera di sampul depan, sekaligus video promosi singkat yang dipublikasikan di akun Youtube dan Instagram milik Mambo. Hanya dalam waktu sepekan setelah diterbitkan, buku itu sudah dicetak ulang tiga kali. Judul buku itu “Mukjizat Akhir Pekan”—yang merupakan bentuk pengejawantahan dari akhir pekan yang basah di pertengan bulan November itu, tepat saat ia menyadari semua tulisan Mambo adalah hasil plagiat.

Algozo mungkin tidak bisa secepat itu mengalahkan ketenaran Mambo, tapi setidaknya ia telah mengalahkan nasib malangnya sendiri. Dalam suatu wawancara di stasiun televisi, ia sempat keceplosan dan ucapannya menjadi trending selama berhari-hari di Twitter. Waktu itu ia bilang: “Ternyata Mephistopheles bukan hantu yang suka menunggu mangsa di persimpangan jalan. Terkadang dia menjelma sebagai sosok penulis terkenal yang memuji karyamu setinggi langit!”


Nanda Winar Sagita, berdomisili di Takengon, Aceh Tengah, aktif sebagai Pengajar sejarah dan penulis lepas. Esai dan cerpen karyanya dimuat di berbagai media. Dapat dihubungi melalui Nanda Winar Sagita (FB), @nanda.winar.sagita (instagram)