Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ismail Fahmi: tidak Semua yang di Media Sosial itu Opini Publik

Ismail Fahmi: tidak Semua yang di Media Sosial itu Opini Publik



Berita Baru, Tokoh – Kita adalah apa yang kita konsumsi di media sosial. Semakin media sosial berisi kebohongan, semakin palsu pula pikiran dan kesadaran kita.

Itulah yang beberapa kali Ismail Fahmi siratkan ketika berdiskusi tentang para pendengung dalam sesi Bercerita Beritabaru.co ke-55, Selasa (13/7).

Menurutnya, penting untuk diperhatikan di sini bahwa apa yang tampil di beranda media sosial kita bukanlah sepenuhnya opini publik atau sesuatu yang alami dan nyata.

Namun di dalamnya juga berhamburan informasi-informasi yang sengaja disebar untuk memanipulasi dan menggiring opini publik demi tujuan tertentu. Istilah yang Fahmi pakai adalah “orkestra informasi”.

“Orkestra informasi seperti ini bukan berarti sampah loh ya. Justru dengannya kita bisa mencari tahu ini siapa dan sedang bermain apa,” ungkap Founder Drone Emprit ini.

Klasifikasi ini, lanjut Fahmi, tidak saja terjadi di beranda atau timeline tetapi juga bagian trending topic. Apa yang muncul paling atas di kolom pencarian Twitter misalnya bukanlah seutuhnya alami.

Di bagian tersebut justru berbagai pihak berloma untuk melakukan manipulasi. Kenyataan bahwa dampak dari trending topic sangat efektif untuk menyampaikan suatu “pesan” merupakan alasan mengapa demikian.

Antara organik dan manipulatif

Dalam diskusi yang ditemani oleh Al Muiz Liddinillah ini Ismail Fahmi juga berbagi tentang bagaimana kita bisa memanipulasi opini dan trending topic.

Menurut Fahmi, kita bisa melakukan kerja tersebut melalui algoritma, yaitu dengan meningkatkan jumlah unggahan dengan kata kunci yang sama setiap menitnya.

“Sederhana sih, yaitu misalnya di menit pertama kita mengunggah 100, maka di menit kedua harus 200 dan di menit ketiga 300. Begitu seterusnya, sehingga terbentuk pola kenaikan yang dari kenaikan inilah, suatu isu bisa muncul di baris paling atas kolom pencarian Twitter,” jelas laki-laki yang menyelesaikan studi S2 dan S3 di Belanda ini.

Fahmi menengarai, untuk kerja orkestra ini adanya tim adalah harga mati. Tim yang oleh publik Indonesia lebih dikenal sebagai buzzers atau para pendengung dan salah satu yang cukup konsisten menggunakan jasa tim tersebut adalah Film Ikatan Cinta.

Kendati demikian, bukan berarti tidak ada yang natural dalam trending topic. Tidak jarang yang menjadi populer adalah organik dan aksi natural terbaik sementara ini yang mengusai jagad Twitter adalah K-Popers.

“Para penggemar Korea Selatan ini solid, militan, dan suka berdengung di Twitter, sehingga ketika mereka beraksi, pihak mana pun akan mundur, daripada kalah,” jelasnya.

Terlepas dari mana yang organik dan manipulatif, kata Fahmi, yang jelas yang bisa stabil di trending topic adalah mereka yang memiliki sumber daya yang mumpuni.

Jika kita diskusi tentang gerakan sosial dan politik umpamanya, maka boleh dibilang pihak kedualah yang lebih mungkin stabil. Sebab basisnya pekerjaan profesional yang bisa menciptakan ritme maraton—santai tapi berkelanjutan—sedangkan yang pertama volunter dengan gaya sporadis dan ritme sprint, cepat tapi cepat pula menguap.

Adapun untuk membedakan antara keduanya, berdasarkan sistem yang ia ciptakan Social Network Analysis (SNA), Fahmi menyebut kita bisa melihatnya dari segi volume.

Yang organik biasanya berskala besar, sedangkan sisanya nyempil atau menyendiri, terpisah dari yang utama atau berskala besar tadi. Jika dilihat dari sistem, kata Fahmi, perbedaan keduanya teramat mencolok.

“Kenapa bisa begini? Sebab kata kunci yang dipakai, waktu mengunggah, dan tempat mengunggah, antara yang organik dan manipulatif tidaklah sama,” katanya.   

Sebagai tambahan, Fahmi juga menjelaskan bahwa bicara yang manipulasi, maka bicara dua model, yakni menggunakan bot dan buzzers. Yang kerap berdengung di kolom komentar biasanya adalah buzzers.  

Bukan soal trending, tapi dampak

Terkait trending, Fahmi melanjutkan, sebenarnya bukanlah itu yang harus dipertimbangkan, tetapi lebih pada sejauh mana apa yang kita sampaikan di media sosial memiliki dampak riil pada kehidupan nyata, kebijakan pemerintah misalnya.

Sebab, tidak sedikit suatu isu beberapa kali jadi trending, tapi tidak memiliki dampak apa pun. “Jadi, ukurannya di sini adalah dampak riil, bukan ke trending, tapi lebih pada jangkauan ke timeline pengguna platform,” ungkapnya.

Salah satu skema dari “berdampak” tersebut berkaitan dengan demokrasi. Pada dasarnya, dengan tanpa rekayasa pun opini-opini di media sosial berkelindan dengan demokrasi.

Ismail Fahmi memetakan tiga model di sini, yakni model media sosial, jajak pendapat (polling), dan para pendengung.

Pertama berdampak ketika opini masyarakat sudah menjadi semacam gelembung besar dengan satu tujuan atau tuntutan. Tertundanya kebijakan vaksin berbayar adalah contoh konkret dari model ini.

Kedua, selain melalui opini langsung, untuk memengaruhi kebijakan kita bisa pula dengan jajak pendapat. Beberapa platform sedang dalam pengembangan untuk ini, seperti kitabisa.com dan change.org.

Terakhir lebih pada yang “merusak” demokrasi yang terjadi di media sosial—atau demokrasi 4.0, bahasanya Fahmi—yakni pendengung politik. Mereka dikatakan demikian sebab mencoba untuk mengintimidasi pendapat orang lain melalui pendekatan langsung pada aspek personalnya, bukan idenya.

Negeri Pendengung

Pendengung kerap dinilai negatif di Indonesia, tapi bagi Ismail Fahmi itu kurang tepat. Pendengung adalah netral, yang menjadikannya negatif adalah sikap atau cara yang digunakan dan tujuan utamanya.

Untuk memudahkan, Fahmi membagi pendengung menjadi tiga (3): organik, perusahaan, dan politik.

Ketika sedang terjadi gempa bumi umpamanya dan kita tergerak untuk turut membantu menyebar informasi donasi, maka di situ kita adalah seorang pendengung, pendengung dalam arti positif, yang tidak lain ini merupakan jenis pendengung organik.

Adapun kedua merujuk pada pendengung yang mencoba menawarkan suatu produk dari perusahaan tempat ia bekerja. Pendengung jenis ini jugalah positif.

“Ya soalnya, dari beberapa yang saya alami, yang dari perusahaan ini, cara penyampaiannya bagus,” ungkap Fahmi.

Jika dua di awal positif, maka jenis yang terakhir adalah yang negatif, yakni pendengung untuk kepentingan praktis politik tertentu yang kerap menggunakan berbagai cara untuk melakukan intimidasi di media sosial.

“Yang jelas, ukurannya adalah di cara dan tujuan itu,” kata Fahmi.

Drone Emprit

Ismail Fahmi bisa melakukan pemetaan fenomena digital sedemikian rupa salah satunya karena sistem yang dikembangkannya pada 2016, yakni Drone Emprit.  

Seperti diakuinya sendiri, sebenarnya embrio Drone Emprit sudah ada pada 2012, bahkan 2009, ketika ia masih menjalani studi di Belanda. Namun, baru berdiri mapan dan dengan nama Drone Emprit pada 2016, tepatnya setelah mengamati gerakan 212 di Monas pada 2 Desember 2016.

Pemicu awal dikembangkannya Drone Emprit adalah keresahan Ismail Fahmi atas semakin masifnya penyebaran hoaks dan manipulasi informasi di dunia maya, sehingga untuk menjaga agar publik tetap mendapatkan informasi secara baik dan benar, maka Drone Emprit dikembangkan.

Terhitung hingga akhir 2020, Drone Emprit mengalami perkembangan cukup signifikan. Berdasarkan keterangan Fahmi, saat ini Drone Emprit sedang merambah ke platform Tik Tok, setelah sebelumnya kanal Instagram, Youtube, dan Facebook.

“Meski fokus Drone Emprit adalah Twitter, karena beberapa alasan, kami tetap merasa perlu untuk mengembangkan sistem ini ke media sosial lainnya,” kata Fahmi.

Untuk penggunaan, bahkan hari ini sistem Drone Emprit bisa dipakai juga oleh pihak luar selama untuk kepentingan penelitian dan tidak dikomersilkan.

“Syaratnya sederhana, tinggal hubungi kami melalui website, mengirimkan draft penelitian, dan di akhir mengirimkan juga hasil penelitiannya yang menggunakan Drone Empit itu,” ungkap Fahmi.