Ingatan
Anggota Komunitas Garawiksa Institute
Ia seorang lelaki yang sangat mudah tergores hatinya. Ia juga tak mudah menaruh perasaan. Ia mengatakan jatuh cinta adalah kematian yang disengaja, dan jatuh cinta berikutnya adalah kematian yang diulang.
Ia suka mengingat beberapa jalan yang telah dilupakan oleh ingatannya; jalan yang pernah ia lalui, juga jalan yang belum pernah ia lalui, dan yang mungkin pernah ia lalui.
***
Sampailah pada suatu jalan yang pernah ia lalui, tahun 1997, Minggu sekitar pukul tiga pagi; lelaki itu berjalan dengan seorang wanita. Di sebuah jalan yang telah istirahat dari keramaian, di antara bangku berjajar rapi, mereka membicarakan pernikahan.
“Apa kau baik-baik saja dan akan datang di pernikahannya nanti?”
“Pernikahanmu!” sahut lelaki itu.
“Ah, tidak. Itu bukan pernikahanku. Itu pernikahan dia dan keluarganya, juga keluargaku. Apa kamu baik-baik saja?”
“Ini lebih baik dari kemarin.”
Sebelumnya mereka tidak pernah membicarakan pernikahan itu meski keduanya telah tahu. Tapi bagaimana pun kini pernikahan itu sudah semakin dekat.
“Aku berharap, esok nanti matahari tidak muncul.”
“Tapi aku lebih berharap esok sudah tidak ada hari lagi,” sahut si perempuan, sembari memandangi jalanan yang kian sepi.
“Itu terlalu menakutkan. Bukankah tidak ada matahari maka tidak akan ada siang? Tidak ada hari esok? Dan lalu kita bisa berlama di sini membicarakan pernikahanmu?”
“Kau takut mati?” tanya perempuan itu. Kini ia menoleh dan menatap wajah kekasihnya.
“Tidak, sama sekali tidak! Aku lebih takut lagi kalau pernikahan itu menyakitkan. Ah, seperti ini biar kujelaskan. Aku tidak takut mati, dan kau harus menganggap kalau sekarang sedang berjalan dengan orang mati. Dan orang mati tidak perlu kau sedihi. Jika kamu rindu denganku, maka anggaplah kematian ini sebagai puncak. Jadi aku sudah selesai, sudah di puncak kerinduanmu yang menyiksa itu.”
“Entahlah apa yang kamu maksud.”
Mereka kembali berdiri. Wanita itu mengabaikan soal kematian yang dibicarakannya.
“Emm, soal matahar benar katamu. Aku ingin Tuhan menghilangkan matahari saja. Biar tidak ada siang dan kita bisa tetap di sini.”
“Kau ingin berdoa untuk itu?”
“Ya.”
***
Minggu pagi di kamar tidur seperti biasa, lelaki itu tidak bisa keluar dari pikirannya sendiri. Ia melupakan puisi, melupakan sarapan, melupakan beberapa tanaman. Dia juga lupa hari ini adalah hari Minggu yang sebentar lagi seorang loper koran datang meminta tagihan.
***
Tanggal dua Maret 1997 hari Minggu, mereka berdoa supaya matahari tidak terbit, supaya orang-orang tetap bercinta tanpa memikirkan siang. Menghangatkan tubuh dengan kekasihnya tanpa memikirkan segala hal yang membingungkan di siang hari. Tapi itu merupakan harapan yang mustahil.
“Bagaimana nanti jika dia memerankan peran yang salah? Maksudku, lelaki itu.”
“Jika itu terjadi padamu, kemarilah, tidak apa kau boleh meninggalkannya.”
“Kenapa tidak sekarang saja. Bukannya itu akan membuatmu menjadi lebih baik. Kau melamarku dan kita akan menikah.”
“Kau yakin?”
“Ya. Itu bisa kita lakukan. Aku tidak akan pulang. Kita tidak usah mengharap restu orangtuaku, percuma saja. Mereka lebih memilih kekayaan daripada nasib anaknya. Bukankah kau akan mempertimbangkan itu?”
“Aku tidak yakin dengan itu. Ah, seperti ini: apakah kau yakin dengan keadaanku. Maksudku, aku menderita sakit yang serius, dan kau juga sudah tahu sendiri kata dokter,”
“Bukankah dokter itu manusia seperti kita? Dan, dia tidak berhak menentukan kapan kematian itu terjadi. Aku membenci dokter itu. Aku ingin mendatanginya, dia harus menarik perkataannya.”
Lelaki itu tersenyum.
***
Lelaki itu masih di atas tempat tidurnya. Masih di alam pikirannya sendiri. Entah seberapa jauh dia menjelajah di Minggu pagi itu.
Dia pernah dinyatakan akan meninggal di tahun 1997 dulu, tapi hingga sekarang ia belum juga meninggal. Sekarang ia percaya, dokter itu berbohong, dokter tidak berhak menentukan kematian seseorang.
Lalaki itu pun kembali di ujung ingatannya pada tahun 1997. Tepat setelah matahari hampir terbit, ia melihat dirinya tergelatak di pangkuan seorang perempuan. Ia lalu mendekatinya, semakin dekat dan memastikan bahwa lelaki itu benar-benar dirinya.
Melihat dirinya sendiri, ingatan itu pun kian samar diantara derai tangis perempuan yang paling ia cintai.
***
Minggu pagi berikutnya, lelaki itu kembali mengingat. Ia suka mengingat beberapa jalan yang telah dilupakan oleh ingatannya; jalan yang pernah ia lalui, juga jalan yang belum pernah ia lalui, dan yang mungkin pernah ia lalui.