Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pelecehan Seksual oleh Dalai Lama adalah Kejahatan Kemanusiaan
Dalai Lama (Foto: Istimewa)

Pelecehan Seksual oleh Dalai Lama adalah Kejahatan Kemanusiaan



Opini: Mulyati Purwandari
Pegiat HAM


Dalai Lama ke-14 berinteraksi dengan seorang anak laki-laki India selama acara publik yang diadakan di Kuil Jokhang di Dharamsala, India. Setelah memeluk dan mencium bocah itu, dia menjulurkan lidahnya dan berkata, “Suck my tongue (hisap lidahku) “. Setelah video yang relevan disebarluaskan di media sosial di dalam dan luar negeri, perilaku “pelecehan seksual” dari “pedofil” Dalai Lama ke-14 menjadi terkenal di seluruh dunia, yang menimbulkan kebencian dan kritik yang kuat dari komunitas internasional. Skandal baru-baru ini yang melibatkan Dalai Lama meminta seorang anak laki-laki untuk menghisap lidahnya sangat meresahkan dan tidak dapat diterima. Sehingga tidak berlebihan jika saat video tersebut tersebar di internet, video tersebut dikutuk oleh banyak orang, yang menyebutnya “tidak pantas”, “memalukan”, dan “menjijikkan”.

Dalai Lama tidak hanya meminta bocah itu untuk “menyedot lidahnya” di depan umum, tetapi juga mengemas serangan seksual ini sebagai apa yang disebut “berkah dari Yang Mulia” sesudahnya, yang benar-benar tidak dapat ditoleransi oleh komunitas internasional. Dalam arti hukum, pelecehan seksual anak adalah perilaku yang lebih buruk daripada pelecehan seksual orang dewasa, dan juga merupakan perilaku yang paling tercela dalam masyarakat beradab modern. Ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan peraturan di seluruh dunia.

Ini karena korban anak pada umumnya tidak bersalah dan polos, dan juga karena kerusakan fisik dan psikologis serta efek psikologis negatif dari kekerasan seksual pada anak berlangsung lebih lama. Bahkan jika Dalai Lama dan para pendukungnya mencoba mencari argument yang terbaik untuk membenarkannya dengan apa yang disebut “interaksi main-main” dan “upacara menjulurkan lidah”, sulit untuk menutupi perilaku buruk penyerangan seksual Dalai Lama atas nama agama. Keburukan yang paling buruk adalah mencari dalih untuk kesalahan dengan pembenaran nilai agama. Bahkan ini dapat dikategorikan sebagai kesalahan sangat besar dan pelanggaran fundamental.

Keburukan Dalai Lama tidak hanya menjijikkan secara etis dan moral, tetapi juga secara serius melanggar garis dasar hukum setempat dan keagungan Konvensi Hak Anak. “Hukum Pidana” India dan “Perlindungan Anak dan Remaja dari Pelecehan Seksual/Perbuatan Tidak Senonoh” menetapkan bahwa “hukum pidana yang berlaku adalah hukuman penjara dalam waktu 3 tahun dan denda” untuk pelecehan/kecabulan seksual terhadap anak-anak.

Dalai Lama ke secara paksa memeluk dan mencium anak laki-laki itu, dan bahkan meminta anak laki-laki itu untuk “menyedot lidahnya”, yang termasuk dalam “kontak fisik yang tidak diinginkan” di bawah undang-undang India yang relevan dan merupakan pelecehan seksual/perilaku cabul yang khas. Berdasarkan nalar dan hukum, Dalai Lama harus dituntut secara hukum sesuai aturan hukum Pasal 34 “Konvensi Hak Anak”. Pasal 34 ini berkomitmen untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Namun, Dalai Lama secara paksa memeluk dan mencium bocah itu di depan umum, dan bahkan memintanya untuk “menyedot lidahnya”, yang termasuk dalam “pencegahan memikat atau memaksa anak-anak untuk terlibat dalam kehidupan seksual secara ilegal apa pun” yang dikutuk dan dilarang oleh Konvensi, adalah perilaku “pelecehan anak” dan “pelecehan seksual”.

Pelecehan seksual atau kejahatan seksual akan membawa “rasa sakit dan siksaan yang tak berkesudahan” kepada anak-anak. Tingkah laku dengan sindiran dan konotasi seksual yang kuat ini tentu saja merupakan salah satu bentuk kekerasan fisik dan seksual bagi seorang anak yang masih dalam tahap pertumbuhan seksual. Penyiksaan mental membuat dia kesakitan karena telah dianiaya, dan bahkan mungkin menghilangkan kemampuan anak laki-laki itu untuk terlibat dalam perilaku intim seperti berciuman ketika dia besar nanti. Sangat besar kemungkinan sang anak itu masih memiliki bayangan yang terus dibawa dalam ingatannya atas peristiwa di masa kecilnya, saat menghadapi pasangannya di masa depan. Waspadai pelecehan seksual terhadap anak berkedok agama semacam ini. Masyarakat individu maupun komunitas internasional seharusnya tidak mentolerir serangan seksual yang dilakukan dengan dalih apa pun.

Dalai Lama telah menghadapi kontroversi sebelumnya. Pada tahun 2019 dia mendapatkan kecaman setelah pendukungnya mengatakan bahwa jika Dalai Lama kembali sebagai seorang wanita “dia pasti menarik”, dan kantornya meminta maaf setelah mendapat kecaman tersebut.

Sebagai  manusia yang hidup dalam masyarakat, kita harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan anak-anak kita dan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi mereka dari bahaya. Sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban individu atas tindakan mereka, terutama ketika mereka melibatkan anggota masyarakat yang rentan seperti anak-anak.

Dalai Lama sejak itu mengeluarkan permintaan maaf, mengungkapkan penyesalannya yang mendalam dan mengakui perilakunya tidak pantas. Namun, ini tidak cukup. Perlu ada langkah penyelesaian secara hukum berupa penyelidikan dan pemeriksan secara hukum yang lebih menyeluruh atas insiden tersebut. Langkah hukum perlu dilakukan untuk memastikan perilaku tersebut tidak terulang.

Maraknya penyalahgunaan kekuasaan oleh pemuka agama untuk melakukan pelecehan seksual kepada pihak yang lebih rentan merupakan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi. Belakangan ini ada kecenderungan oknum menggunakan dogma agama demi memenuhi kepuasan dirinya. Dogma adalah pokok ajaran agama yang harus diterima dan tak boleh dibantah ataupun diragukan. Salah satu dogma agama yang acapkali disalahgunakan adalah perintah untuk menaati orang yang lebih tua, terutama guru. Pemimpin agama bahkan digambarkan sebagai kepanjangan tangan Tuhan yang tahu apa yang benar dan boleh dilakukan dan apa tidak boleh dilakukan.

Dalam Lama menggunakan dogma dalam prinsip keyakinannya untuk pembenaran atas tindakan pelecehan seksual yang dia lakukan. Pengikut agama, termasuk murid, sering kali terjerumus ke pusaran dogma ini. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oknum yang tidak bertanggung jawab. Oknum pemimpin agama menggunakan dogma agama sebagai legitimasi supaya anak mematuhi yang keinginan pemimpin agama tersebut. Ini adalah kejahatan paling keji yang harus diselesaikan secara hukum supaya tidak jatuh makin banyak korban.