Indonesia Siap Hadapi Aturan Kebijakan EU-RED II di WTO
Berita Baru, Kuta – Pemerintah Indonesia akan bersiap menghadapi dan menggugat Uni Eropa (UE) terkait dengan aturan Kebijakan Energi Terbarukan (Renewable Energi Directive/RED) II dan Implementasi Peraturan (Delegated Regulation/DR) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Rencana gugatan digulirkan karena aturan tersebut ditengarai akan berdampak langsung pada industri kelapa sawit Indonesia. Hal ini disampaikan Kepala Biro Advokasi Perdagangan Kementerian Perdagangan Sondang Anggraini pada kegiatan diskusi kelompok terarah (FGD) di Kuta, Bali, pada Senin (7/10).
“Pemerintah Indonesia harus bersiap menghadapi aturan RED II karena aturan ini akan berdampak negatif bagi industri kelapa sawit di Indonesia. Penting bagi kita menggali lebih jauh lagi persiapan dan posisi hukum Indonesia dalam menghadapi fase implementasi dari EU-RED II,” jelas Sondang.
Aturan RED II diundangkan pada 2018 lalu dan memiliki beberapa potensi negatif bagi industri sawit di Indonesia. Kemudian, pada Maret 2019, Komisi UE mengeluarkan Regulasi Komisi UE yang mengaitkan biofuel dengan perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (Indirect Land Use Change/ILUC).
Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa ILUC terjadi jika dalam proses produksi biofuel menyebabkan areal pangan berkurang (terkonversi ke tanaman biofuel), memicu terjadinya konversi hutan atau lahan sehingga menyebabkan peningkatan emisi.
Beberapa aturan RED II tersebut akan berlaku mulai 1 Januari 2021. Seluruh anggota diharapkan sudah menerapkan RED II dalam tingkat aturan domestik masing-masing negara pada Juni 2021. Adapun pada 2030, seluruh target EU-RED II diharapkan dapat tercapai, yaitu tidak ada lagi bahan bakar hayati yang berasal dari bahan baku yang berpotensin menyebabkan risiko tinggi terhadap perubahan iklim dan ketersediaan pangan.
Sondang juga menyampaikan, dalam kasus ini terdapat dua diskriminasi yang perlu dikaji Pemerintah Indonesia. Pertama, terkait diskriminasi yang UE terapkan pada minyak sawit Indonesia dengan produk bahan baku dari negara lain seperti kacang kedelai. Kedua, diskriminasi yang UE terapkan pada minyak sawit Indonesia dengan produk bahan baku asal UE. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi masalah tersebut.
Dalam FGD ini, turut dibahas langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam menghadapi implementasi RED II dan segala dampaknya.
“Dampak kebijakan RED II dan DR terhadap kelapa sawit Indonesia yaitu menurunnya ekspor kelapa sawit ke negara-negara Eropa. Jika demikian, Indonesia akan kehilangan pasar penting untuk komoditas kelapa sawit dan terjadi penurunan permintaan yang berakibat harga komoditas turun, hrapingga akan terjadinya ‘efek bola salju’ atas kebijakan UE,” jelas Sondang.
Melihat dampak dari RED II ini yang cukup serius bagi perkembangan industri kelapa sawit Indonesia itu, Sondang memaparkan beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah. Langkah-langkah tersebut yaitu melanjutkan riset mendalam mengenai ILUC sebagai dasar mengajukan gugatan ke WTO, menganalisis secara mendalam kesesuaian peraturan RED II dan DR dengan ketentuan WTO, menyusun penilaian dampak ekonomi apabila terjadi phase-out biofuel sawit di EU pada 2021, memetakan pemain kunci terkait pihak pro dan kontra terhadap sawit, serta menyusun dan melakukan kampanye positif minyak sawit.