Ideologi Kebencian dan Cara Melawannya
Ideologi Kebencian dan Cara Melawannya;
Pergulatan untuk Jiwa Kebudayaan Kita
Sekarang banyak pembunuh secara massa menuliskan manifesto. Mereka tidak sedang membunuh karena mengalami gangguan secara psikologis seperti trauma. Mereka juga tidak membunuh karena kesepian atau pesimis terhadap hidup yang mereka jalani. Namun mereka mendapatkan banyak inspirasi membunuh dari penyebaran ideologi, suatu ideologi yang diharapkan akan menyebar lewat gelombang teror.
Ekspresi paling jelas dari ideologi yang ditulis adalah seseorang yang melakukan pembantaian di Christchurch, New Zealand. Manifestonya telah dikutip oleh para teroris lain; tersangka dalam penembakan di El Paso menyebutnya dalam manifestaso miliknya.
Hal itu tidak seluruhnya bisa diperkirakan. Pada satu sisi pengarangnya menulis tentang perjalanannnya menjelajahi dunia: “Dimanapun aku berwisata, terbuka sedikit pengecualian, aku telah diperlakukan dengan baik, seringkali sebagai tamu bahkan seorang teman. Perbedaan budaya di seluruh dunia menyapaku dengan kehangatan dan kasih sayang, dan aku sangat menikmati setiap moment yang aku habiskan dengan mereka.”
Ideologi digunakan untuk memenangkan keunggulan ras, tetap hal itu bukanlah xenophobia ataupun supremasi kulit putih. Fitur utamanya adalah esensialisme. Hal terpenting yang bisa kamu ketahui tentang seseorang adalah bangsanya. Seorang kulit putih melihat dunia sebagai seorang kulit putih dan orang latin juga melihat sebagai seorang latin. Pada dasarnya Identitas adalah ras.
Fitur kedua adalah separatisme. Bangsa akan baik ketika mereka asli dan murni. Dunia membaik jika orang-orang yang berbeda secara bangsa hidup secara terpisah. Dunia akan memburuk ketika bangsa-bangsa bercampur. “Saya melawan percampuran bangsa karena hal itu menghancurkan keragaman genetik dan menciptakan problem identitas,” tulis tersangka El Paso.
Yang ketiga adalah Darwinisme. Bangsa-bangsa terkurung dalam perjuangan darwinian yang mana mereka mencoba untuk mereproduksi saingan. Saat ini, bangsa kulit hitam dan cokelat lebih kuat daripada kulit putih dan berada pada ambang batas menghapuskannya lewat invasi.
Para Imigran, tersangka Christchurch menulis, datang “dari suatu budaya dengan angka kesuburan yang lebih tinggi, kepercayaan sosial yang lebih besar dan tradisi kuat yang mencari untuk mengambilalih tanah bangsaku dan secara etnik menggantikan bangsaku.”
Jika kita membiarkan mereka masuk ke negeri kita, imigran cokelat akan semakin banyak, bangsa putih hanyalah orang Eropa yang mendesak orang asli Amerika seabad yang lalu. Sebagaimana tersangka El Paso katakan, “Orang asli tidaklah menanggapi invasi orang-orang Eropa dengan serius, dan apa yang tersisa sekarang hanyalah suatu bayangan dari masa lalu.” Imigrasi adalah menggantikan bangsa putih. Imigrasi tidak lain merupakan genosida bangsa putih.
Ideologi itu tidaklah muncul dari kepercayaan diri bangsa putih namun sebaliknya yaitu rasa tidak aman bangsa putih.
Ideologi itu merupakan suatu bentuk paling ekstrem dari gerakan yang lebih luas (antipluralisme) yang sekarang datang dalam berbagai jenis. Nasionalis Trumpian, populis otoriter, dan jihadis Islam adalah versi berbeda dari antipluralism.
Gerakan tersebut bereaksi terhadap sifat keragaman, kecairan dan kesalingtergantungan kehidupan modern. Antipluralis mendambakan kembalinya batasan yang jelas, mendudukkan kebenaran dan menstabilkan identitas. Mereka membunuh untuk suatu khayalan, suatu dunia yang cerah dalam bayangan mereka tapi tak pernah hadir dalam kehidupan nyata.
Perjuangan antara pluralisme dan antipluralisme adalah salah satu perjuangan paling mematikan saat ini, dan hal itu menjadi laga dalam setiap sektor.
Kita sebagai seorang pluralis tidak meyakini bahwa manusia dapat direduksi dalam satu label ras. Setiap orang adalah simponi dari identitas yang beragam. Kehidupan kita kaya karena setiap dari kita mengandung banyak perbedaan.
Pluralis percaya pada integrasi, bukan pemisahan. Kita menghargai betul pengintegrasian yang mengirimkan para antipluralis ke dalam kepanikan. Setengah abad yang lalu, jarang ditemui pernikahan yang melompati garis warna. Sekarang, 17 persen pernikahan orang Amerika adalah antar ras.
Pluralist selalu memperluas definisi dari “kita”, tidak malah membatasinya. Delapan tahun yang lalu, Protestan, Katolik dan Yahudi tidak pernah bersama, kemudian suatu kategori baru diciptakan, Yahudi-Kristiani, yang membawa orang yang sebelumnya bermusuhan dalam “ke-kita-an” yang baru. Tiga puluh tahun yang telah lewat, perseteruan berkembang antara orang hitam dan orang hispanik, lalu kategori “bangsa berwarna” digunakan untuk menciptakan “ke-kita-an” yang lebih luas.
Pluralist meyakini percampuran budaya selalu dan harus menjadi kondisi manusia. Semua kebudayaan mendefinisikan dan memperbarui diri mereka sendiri melalui perjumpaan. Suatu kebudayaan asli adalah kebudayaan yang mati ketika suatu percampuran budaya merupakan suatu budaya kreatif. Peradaban tinggi yang kaum separatis putih usung untuk dipertahankan pada dirinya sendiri adalah produk dari gelombang imigrasi yang lebih awal.
Terakhir, pluralisme adalah penjelajahan kehidupan. Pluralisme bukan hanya membiarkan bangsa yang beragam hidup bersama di suatu tempat. Hal itu juga keluar dan masuk ke dalam hidup tiap orang. Suatu dialog terus menerus yang tiada kata akhir karena tidak ada jawaban tunggal tentang bagaimana kita harus hidup.
Hidup dalam masyarakat yang plural adalah suatu gerakan melingkar tanpa ujung. Musuh dari pluralism merobeknya menjadi serpihan kecil dan penenun komunitas mengikatnya bersama. Tidak ada ruang untuk menunggu. Perubahan, pencairan dan pergerakan semua sedang mengalir.
Para teroris memimpikan kemurnian, dunia yang statis. Namun satu hal yang statis yaitu kematian, yang mana mereka secara patologis ditarik pada kematian. Pluralisme adalah tentang gerakan, saling bergantung dan hidup. Perjuangan ke depan adalah tentang persaingan nilai, mengkontrol senjata, dan mengobati jiwa yang rusak. Pluralism berhasil ketika kita menyebut apa yang teroris benci tentang kita, dan menghudupkannya.
Penulis: David Brooks
Penerjemah: Agus S Efendi
Sumber: The New York Times