ICJR Desak Pengadilan Bebaskan Septia: “Berbicara Fakta Bukanlah Perbuatan Pidana”
Berita Baru, Jakarta — Perhatian publik kembali tertuju pada kasus kriminalisasi terhadap buruh perempuan, Septia, yang dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 setelah menyuarakan pelanggaran hak ketenagakerjaan melalui akun Twitter (X) pribadinya pada 2 November 2022. Dalam sidang lanjutan pada 11 Desember 2024, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Septia dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider 3 bulan kurungan.
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mengecam langkah ini sebagai bentuk kriminalisasi yang tidak berdasar hukum. “Tindakan Septia adalah bentuk perjuangan pekerja dalam memperjuangkan hak-haknya dan kepentingan umum. Berdasarkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE 2021 dan Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024, penyampaian fakta untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana,” tegas ICJR dalam siaran pers yang dirilis pada Kamis (12/12/2024).
ICJR menyoroti dua kekeliruan utama dalam proses hukum terhadap Septia. Pertama, dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dinilai cacat formil. Surat dakwaan No. Reg.Perkara: PDM-195/M.1.10/08/2024, yang disusun pada 26 Agustus 2024, masih menggunakan UU ITE 2016, meskipun telah diterbitkan UU ITE 2024 yang memberikan ketentuan pidana lebih ringan.
“Penggunaan dasar hukum yang sudah digantikan jelas melanggar prinsip lex posterior derogat legi priori, di mana undang-undang yang baru seharusnya mengesampingkan yang lama. Selain itu, lex favor reo mengatur bahwa jika ada perubahan peraturan, maka aturan yang lebih ringan harus diterapkan pada terdakwa,” terang ICJR.
Lebih lanjut, ICJR menyebut bahwa dakwaan terhadap Septia tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Karena itu, surat dakwaan seharusnya dinyatakan batal demi hukum, mengacu pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP.
Kedua, ICJR menegaskan bahwa tindakan Septia menyuarakan pelanggaran hak ketenagakerjaan melalui akun media sosialnya adalah bentuk perjuangan pekerja untuk menegakkan keadilan. Menurut ICJR, Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024 dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE 2021 secara tegas melindungi hak warga negara dalam menyampaikan informasi demi kepentingan publik.
Pada 8 Desember 2024, ICJR juga telah mengajukan amicus curiae ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Amicus curiae ini bertujuan untuk memberikan pandangan kepada majelis hakim terkait aspek hukum yang dinilai keliru dalam perkara ini.
ICJR mendesak majelis hakim untuk membebaskan Septia dari segala dakwaan. “Majelis hakim harus melihat bahwa perkara ini tidak sekadar soal UU ITE, tetapi juga tentang keadilan bagi pekerja perempuan yang memperjuangkan hak-haknya,” tegas perwakilan ICJR.
Kasus ini memicu gelombang dukungan dari masyarakat sipil, pegiat hak asasi manusia, dan aktivis pekerja. Seruan agar pengadilan bersikap adil semakin mengemuka seiring meningkatnya kesadaran publik tentang bahaya pasal karet dalam UU ITE yang kerap digunakan untuk membungkam kritik dan pencarian keadilan. Sidang putusan kasus ini akan menjadi penentu, tidak hanya bagi Septia, tetapi juga bagi nasib para pekerja lainnya yang menghadapi ancaman serupa di masa depan.