Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

ICJR
Ilustrasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Foto: ICJR).

ICJR Desak Pendekatan Perlindungan Anak dalam Kasus MAS di Lebak Bulus



Berita Baru, Jakarta – Penetapan MAS (14 tahun) sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) oleh Polres Jakarta Selatan dalam kasus pembunuhan di Lebak Bulus memicu respons kritis dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Dalam siaran pers yang dirilis Selasa (3/12/2024), ICJR menekankan pentingnya mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Kasus ini bermula ketika MAS mengaku melakukan penikaman terhadap ayah, ibu, dan neneknya, yang menyebabkan ayah dan neneknya meninggal dunia, sementara ibunya menderita luka parah. Kejadian tragis ini memunculkan narasi publik yang mendorong hukuman berat, bahkan hukuman mati untuk MAS.

“Kami menyayangkan adanya stigma dan dorongan publik untuk menghukum anak dengan berat. Narasi ini tidak hanya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga mengabaikan prinsip perlindungan hak anak,” ujar ICJR dalam pernyataan resminya.

ICJR menyoroti bahwa perilaku kekerasan pada anak, termasuk dalam kasus ini, tidak dapat dipisahkan dari berbagai faktor kompleks, seperti pola pengasuhan, kondisi keluarga, hingga lingkungan sosial. “Pola pengasuhan otoriter, misalnya, dapat memicu kemarahan dan perilaku agresif pada anak. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan harus komprehensif dan tidak semata-mata berfokus pada hukuman,” lanjut pernyataan tersebut.

Studi juga menunjukkan dampak buruk pemenjaraan pada anak. Penelitian Barnert et al. (2019) menemukan bahwa individu yang dipenjara saat anak-anak cenderung mengalami kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk saat dewasa dibandingkan mereka yang dipenjara pada usia lebih tua atau tidak pernah dipenjara sama sekali.

ICJR mendesak aparat penegak hukum untuk:

  1. Melakukan penelitian kemasyarakatan secara mendalam yang mempertimbangkan latar belakang individu dan lingkungan anak, serta merekomendasikan intervensi yang komprehensif.
  2. Menjamin hak anak atas pendampingan hukum yang efektif di setiap tahapan peradilan, dengan berpegang pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
  3. Memastikan pengawasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam proses hukum, termasuk akses layanan konsultasi psikologis dan pembinaan pasca proses hukum.

“Penghukuman berat bukanlah solusi. Aparat penegak hukum harus tetap berpegang pada tujuan pemulihan dan pembinaan anak, bukan sekadar menghukum,” tegas ICJR.

Kasus ini, menurut ICJR, menjadi pengingat pentingnya pendekatan yang berbasis perlindungan anak dalam sistem peradilan, memastikan bahwa masa depan mereka tetap terjamin meski menghadapi konflik hukum.