Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jokowi Ma'ruf Amin
(Foto: Istimewa)

ICJR Beri Rapor Merah 2 Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin



Berita Baru, Jakarta – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan rapor merah terhadap dua tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Rapor merah tersebut diberikan karena reformasi peradilan pidana belum menjadi prioritas pemerintah saat ini. ICJR menilai reformasi peradilan pidana masih stagnan.

“ICJR masih memberikan rapor merah pada pekerjaan rumah Presiden Joko Widodo di isu reformasi peradilan pidana,” ujar Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, Jumat (22/10).

Erasmus menyoroti tiga indikator yakni reformasi hukum pidana materiil, reformasi hukum acara pidana, dan reformasi respons pemerintah terhadap kritik masyarakat.

Terhadap reformasi hukum pidana materil, ia berujar pemerintah luput melakukan langkah-langkah reformatif mengatasi masalah kelebihan kapasitas (overcrowding) dan ketergantungan pada penjara.

Hal itu dapat dilihat dari pembahasan dan perumusan RKUHP. Setelah 12 kali melakukan sosialisasi, terang Erasmus, substansi RKUHP masih berpotensi menghadirkan overkriminalisasi.

Kata dia, pasal-pasal yang sudah dikoreksi karena bertentangan dengan negara demokrasi justru dihadirkan kembali dengan ancaman penjara menjadi pilihan utama.

“Mulai penghinaan pada presiden, lembaga negara, sampai pidana berunjuk rasa yang mengganggu ketertiban umum (di mana pasal ini sudah tidak lagi berlaku di KUHP saat ini), masih saja diancam pidana dan dihadiahi penjara,” tutur Erasmus.

RKUHP juga masih memuat pasal-pasal kriminalisasi yang berkaitan dengan penyerangan ruang privasi warga negara.

Erasmus menambahkan overkriminalisasi juga terdapat dalam legislasi lain seperti UU Narkotika yang masih memenjarakan pengguna. Ia memandang semestinya pemerintah belajar dari peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang menewaskan 48 orang mayoritas pengguna narkotika yang semestinya tidak perlu dipenjara.

“Masalah narkotika yang berujung pada overcrowding masih menjadi kegagalan terbesar Presiden Jokowi,” kata Erasmus.

Kebijakan pidana lainnya yakni UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Erasmus berpendapat Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri terkait Pedoman Implementasi UU ITE belum mengatasi akar masalah. Ia meminta agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU tersebut.

Pemerintah, tambah Erasmus, juga tak segera membuat pengaturan hukum acara pidana yang tetap menjamin hak atas peradilan yang adil di tengah kondisi darurat (pandemi Covid-19).

Pada aspek lain, kata dia, KUHAP yang minim pengawasan semakin memperlihatkan masalah. Hal itu berhubungan dengan terjadinya penyiksaan. Erasmus mengutip data KontraS yang menyebutkan 80 kasus penyiksaan sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 dengan aktor utama kepolisian.

“Kewenangan begitu besar pada kepolisian untuk melakukan penahanan semakin menunjukkan masalah ketika pandemi terjadi,” jelasnya.

Ia menyatakan reformasi hukum acara pidana mau tak mau harus dilakukan dengan merombak hukum acara pidana melalui revisi KUHAP guna memberikan jaminan perlindungan HAM dan sistem akuntabel dengan pengawasan efektif.

Erasmus juga memberikan catatan terkait dengan respons pemerintah terhadap kritik masyarakat. Aparat, kata dia, sering kali bertindak represif dengan tidak mengindahkan batasan kewenangan yang diatur dalam UU.

Hal itu terlihat dari demonstrasi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Mosi Tidak Percaya 2020. Saat itu terlihat penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of force) oleh aparat.

“Belum lagi, iklim ketakutan bagi publik untuk menyampaikan pendapat dengan adanya praktik penghapusan mural hingga ancaman warga yang menyuarakan #PercumaLaporPolisi,” ucap dia.