ICEL Sebut Pemerintah Inkonsisten dalam Penanggulangan Karhutla
Berita Baru, Jakarta – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyebutkan arahan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dikeluarkan Presiden masih menyimpan beberapa masalah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah.
Dalam siaran persnya, Kepala Divisi Kehutanan dan Adrianus Eryan, mengatakan, agenda pencegahan Karhutla yang didorong melalui kebijakan Inpres tidak jelas capaiannya. Hal itu dibuktikan dari laporan yang tidak disampaikan ke publik oleh pemerintah.
“Sejak tahun 2015 sudah ada Inpres No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan (Inpres 11/2015). Namun, hingga saat ini laporan capaian Inpres tersebut tidak dibuka ke publik. Padahal sudah ada Putusan Komisi Informasi No. 001/1/KIP-PS-A/2017 yang menyatakan bahwa laporan capaian Inpres 11/2015 merupakan informasi publik yang terbuka,” ujarnya, Selasa (23/2).
Ia menegaskan, dalam amar putusan tersebut Majelis Komisi Informasi memerintahkan kepada Kemenkompolhukam untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 serta menyerahkannya kepada Presiden dan Pemohon.
“Tanpa adanya laporan pelaksanaan Inpres 11/2015 yang dibuka ke publik, tentu kita tidak dapat menilai sejauh mana capaian Pemerintah dalam mengendalikan karhutla,” tegas Adrianus.
Selain itu, Presiden juga dinilai telah menerbitkan Inpres No. 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Inpres 3/2020) yang menggantikan Inpres 11/2015. Sayangnya masih tidak dijumpai adanya kewajiban pelaporan kepada publik dalam Inpres 3/2020.
“Pengoordinasian pelaporan dilakukan oleh Sekretaris Kabinet langsung kepada presiden, tanpa adanya kewajiban pelaporan ke publik. Sebagai evaluasi dan perbaikan agar tidak mengulang kesalahan Inpres sebelumnya, harus ada indikator capaian yang jelas, akuntabel, dan disertai pelaporan yang transparan ke publik tentang sejauh mana pelaksanaan Inpres 3/2020 tersebut oleh Kementerian dan Lembaga terkait yang ditugaskan, termasuk dampak yang dihasilkannya,” terang Adrianus.
Lebih lanjut, ICEl juga menyoroti eksekusi penanggulangan karhutla yang belum berjalan dengan baik sehingga penegakan hukum karhutla belum optimal.
Kemudian, juga terdapat beberapa instrumen hukum yang justru memperlemah penegakan hukum karhutla. Misalnya, kata ICEL UU Cipta Kerja yang mengatur sektor perkebunan.
“Dalam perubahan Pasal 67 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, hanya disebutkan bahwa setiap pelaku usaha wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup. Padahal dalam ketentuan aslinya, terdapat ketentuan yang lebih tegas seperti kewajiban pelaku usaha untuk memiliki Amdal, analisis risiko, dan sarana-prasarana pengendalian kebakaran.,” tuturnya.
Menurutnya, UU Cipta Kerja menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam PP. Namun dalam PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, tidak dijumpai ketentuan tersebut.
Oleh karena itu, ICEL mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan Inpres 3/2020 secara akuntabel, melibatkan masyarakat, dengan indikator capaian yang jelas, disertai laporan yang dirilis ke publik.
ICEL juga mendorong pemerintah mengadakan forum koordinasi dengan instansi gakum terkait terutama KLHK, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan dan hingga instansi lainnya yang berwenang mengurus pendanaan dan pemulihan untuk dapat mempercepat proses eksekusi perkara-perkara karhutla.
“Sekalipun terdapat ketentuan yang melemahkan penegakan hukum, Pemerintah harus tetap berpegang pada prinsip perlindungan lingkungan dan kembali pada ketentuan UU organik yang mengatur kewajiban dengan lebih tegas,” pungkasnya.