Hetifah Sjaifudian dan Plan B sebagai Kunci Pengawasan Pembelajaran Tatap Muka
Berita Baru, Tokoh – Sebagai dampak dari Pandemi Covid-19, sudah satu tahun lebih pembelajaran di Indonesia menggunakan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Untuk antisipasi keselamatan PJJ memang penting, namun dalam kaitannya dengan sosio-psikis baik pelajar ataupun tenaga pendidik dan penetrasi keilmuan, ia dinilai kurang mendapatkan penetrasi.
Apa yang disampaikan Hetifah Sjaifudian Wakil Ketua Komisi X DPR RI dalam sesi #Bercerita Beritabaru.co ke-47 pada Selasa (11/5) tentang Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri berkenaan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi tidaklah berbeda jauh. Menurutnya, berbagai pihak memang penting untuk segera menyiapkan segalanya menuju Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dan meninggalkan PJJ.
“Sebab, diakui atau tidak, melihat jalannya pembelajaran daring selama ini terasa tidak efektif, apalagi bagi siswa atau mahasiswa yang baru. Sudah satu tahun belajar, tapi belum tahu siapa guru dan teman-temannya. Soal penyerapan pengetahuan pun, karena tidak secara langsung barangkali ya, terpantau kurang maksimal. Yg jelas, soal pembelajaran, PTM jauh lebih efektiflah ketimbang daring,” kata Hetifah pada acara yang dipandu oleh David Ruston Khusen ini.
Meski demikian, ungkap Hetifah, tidak semua daerah siap untuk PTM. Terhitung sampai Selasa (11/5), sekolah yang usai melaporkan tingkat kesiapannya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) baru 53,97% atau setara dengan 289.072 sekolah se-Indonesia.
Itu jumlah yang kecil, kata Hetifah. Titik aman kita bisa menyelenggarakan PTM adalah setidaknya 80%. Belum lagi, untuk sejumlah 53,97% tadi, pihak yang bersangkutan belum melakukan verifikasi apakah semua dari total tersebut siap atau sebaliknya, sehingga dilihat dari segi ini sebenarnya kita belum siap.
Kenyataan bahwa suatu kebijakan penting untuk memiliki pijakan data konkret di lapangan merupakan alasan mengapa demikian. Jika kita tidak memiliki data terbaru yang cukup mengenai tingkat kesiapan sekolah dan tetap menyelenggarakan PTM, maka hasilnya bisa kontra-produktif, apalagi pada bulan Mei ini ada libur panjang lebaran yang sangat mungkin akan melahirkan lonjakan kurva pandemi.
Dengan ungkapan lain, Hetifa melanjutkan, SKB Empat Menteri di muka adalah kebijakan yang positif. Namun, itu harus diselenggarakan secara ekstra hati-hati dan terpadu, yakni dengan menyiapkan matang-matang rencana B sebagai antisipasi adanya lonjakan pascalebaran dan adanya pusat aduan agar pemerintah bisa tahu keluhan masyarakat di lapangan terkait PTM.
“Hasil aduan-aduan ini tidak lain adalah data yang bisa sangat berguna untuk sistem pengawasan kami,” ujarnya.
PTM dan beberapa hal yang belum selesai
Berkenaan dengan pelaksanaan di lapangan, Hetifah berpendapat ada dua (2) hal sekurangnya yang perlu dipikirkan, yaitu kerja sama antara berbagai pihak dan mekanisme tes entah itu GeNose maupun Rapid Test Antigen selama PTM. Pertama merujuk pada kolaborasi antara pihak sekolah, pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan terdekat, dan orang tua yang sama sekali dibutuhkan agar PTM berlangsung efektif serta tidak menimbulkan klaster baru.
Kedua lebih pada upaya untuk memastikan bahwa para peserta didik—termasuk tenaga pendidik kendati sudah mendapatkan vaksin—bebas dari virus, sehingga PTM bisa berlangsung aman. “Untuk tes kami belum membahasnya, tapi sepertinya ini penting untuk dianggarkan. Barangkali dengan Antigen dan dilakukan beberapa minggu sekali,” tegas Hetifah.
Jauh dari yang diharapkan, Hetifah menyebut andai besok ada lonjakan kasus pandemi, pendidikan betapa pun harus mengikuti kesehatan, yang persis di sini plan B mutlak dibutuhkan. Jelasnya, kesehatan dan keselamatan adalah yang utama.