Harga Kedelai Meroket, Pengusaha Tahu di Gresik Terpaksa Pilih Rugi
Berita Baru, Gresik – Tingginya harga kedelai berdampak pada pengusaha tempe dan tahu di Gresik. Mereka hanya bisa pasrah dan terpaksa memilih rugi dan tetap produksi ketimbang meliburkan karyawan. Salah satunya pengusaha tahu UD Sumber Makmur di Desa Gadingwatu, Kecamatan Menganti, Gresik.
Pengusaha produksi tahu itu hingga kini masih beroperasi, kurang lebih 30 karyawan masih bekerja membuat tahu malam sore hari. Mulai dari menimbang kedelai, merendam, memasak dan pencetakan tahu.
Mereka masih bekerja meski harga kedelai impor menyentuh harga Rp 11 ribu per kilogram dan terus merangkak naik hingga Rp 12 ribu. Dalam sehari, usahanya mampu memproduksi sekitar 1 ton lebih tahu. Jumlah produksi itu masih sama dengan harga kedelai saat masih belum naik.
Iswati (41), pemilik UD Sumber Makmur mengaku sempat berhenti beroperasi. Libur satu hari karena tingginya biaya operasional tahu, akibat harga kedelai impor naik.
“Omset kita menurun. Sempat libur sehari kalau tiga hari kita tidak bisa produksi lagi. Karena tahu kita hanya mampu bertahan dua sampai tiga hari,” ucap Iswati, Rabu (23/2).
Ukurannya tidak dikurangi. Ketebalannya masih sama.
“Kalau dikurangi kasihan pelanggan. Tidak apa-apa kita mengalah dahulu. Namanya juga usaha. Kadang ada untung ada rugi, sekarang lagi rugi. Kami tetap produksi daripada meliburkan karyawan karena lebih kasihan mereka,” imbuh Iswati.
Dikatakannya, harga kedelai yang naik hingga Rp 11 ribu itu sudah sangat parah dibanding kenaikan sebelumnya. Iswati berharap bisa menurunkan harga kedelai. Sehingga harga tahu juga bisa turun.
“Berharap kedelai tersedia dan harganya murah. Kalau bisa di bawah Rp 10 ribu,” imbuhnya.
Imbas kenaikan kedelai impor membuat pengusaha tempe di wilayah Kebomas hanya bisa pasrah.
Sementara Aisyah (37), pengusaha tempe mengaku kenaikan harga kali ini paling parah. Dia hanya bisa berharap agar pemerintah memiliki cara untuk menstabilkan harga kedelai.
“Saya beli kedelai dari agennya sudah mahal. Mohon pemerintah agar harga ini stabil, tidak tiba-tiba naik. Kami yang pengusaha kecil rumahan ini biar tidak bingung jualannya,” kata Aisyah.
Dahulu, pengusaha tempe di Desa Klangonan khususnya di RT 09 cukup banyak. Warga yang tidak produksi tempe di tahun 90an masih bisa dihitung jari. Tahun ini kebalikannya, jumlah warga yang masih produksi tempe malah bisa dihitung jari. Hanya lima sampai enam warga yang masih bertahan memproduksi tempe di RT setempat.