Generasi Hijau Desak Stimulus Fiskal Hijau dalam APBN 2022
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Gerakan Ekonomi Hijau Masyarakat Indonesia (Generasi Hijau) meminta pemerintah memasukkan green economy recovery dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Kerangka Ekonomi Makro, dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) serta APBN 2022.
“Kami percaya dengan pemulihan ekonomi hijau ini kita dapat bangkit dari krisis saat ini bersamaan dengan menghindari dampak dari bencana akibat perubahan iklim di masa yang akan datang,” ujar Koordinator Koalisi Generasi Hijau cum Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggara (FITRA) Misbah Hasan, Senin (26/4).
Koalisi yang terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil itu menilai bahwa selama ini kebijakan pemerintah masih bersifat jangka pendek baik di bidang kesehatan, jaring pengaman sosial, maupun pemulihan ekonomi.
Menurut Generasi Hijau sudah harus pemerintah mulai berpikir membuat kebijakan penanganan Covid-19, terutama dalam pemulihan ekonomi, yang bersifat jangka panjang dengan memperhatikan faktor-faktor dampak perubahan iklim dan Pembangunan Rendah Karbon (PRK).
Proses penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF), dan pembacaan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2022 dari April hingga Agustus 2022 harus dijadikan momentum untuk merealisasikan komitmen pemerintah untuk mencapai target PRK yang secara eksplisit tertuang di RPJMN 2019-2024.
“Jika kebijakan fiskal tidak bertransformasi diarahkan untuk mendukung perekonomian hijau, maka dikhawatirkan pembangunan ekonomi akan bekerja seperti business as usual,” jelas Misbah.
Akibatnya, kata dia, dampak buruk krisis iklim pada kondisi ekonomi nasional akan semakin meningkat baik dalam bentuk krisis pangan, muncul pandemi penyakit baru, cuaca ekstrim, hingga hadirnya berbagai bencana yang melanda nusantara.
Koalisi tidak menampik bahwa Indonesia sudah melakukan berbagai upaya dalam menghadapi krisis iklim dalam satu dekade terakhir, salah satunya dengan melakukan ratifikasi Paris Agreement tentang perubahan iklim yang dituangkan melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
Dalam aturan tersebut, ditegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional sebagai NDC pada 2030 mendatang.
Begitu juga dilevel kebijakan pemerintah, di mana RPJMN 2020-2024 telah memasukan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang sudah masuk dalam.
Hanya saja, dukungan anggaran untuk pemulihan ekonomi hijau dan penanganan krisis iklim dan juga pemulihan ekonomi hijau masih sangat lemah, bahkan bisa dikatakan belum dilakukan oleh pemerintah secara memadai.
“Karena itu, salah satu terobosan yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan masuknya kerangka green economy recovery dalam APBN tahun 2022 sebagai bagian dari penanganan pemulihan ekonomi sekaligus potensi krisis iklim di masa depan,” tukas Misbah.
Dia meyakini bahwa green economy recovery bisa menjadi strategi jitu pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Bukan hanya berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi, tapi juga penanganan krisis iklim, bahkan bisa berdampak langsung pada penciptaan tenaga kerja.
Tiga Sektor Utama
Menurut Koalisi Generasi Hijau, pemerintah harus segera mentransformasi perekonomian menjadi yang lebih berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan dengan memasukkan strategi penanganan krisis iklim dalam kebijakan fiskal.
Ada tiga sektor utama yang dapat berkontribusi pada pemulihan ekonomi sekaligus penurunan emisi karbon dan membutuhkan green stimulus dalam PEN 2022, yakni sektor energi, pertanian, dan persampahan.
“Ketiga sektor ini merupakan sektor-sektor yang mempunyai peran penting dalam penanganan krisis iklim bersama dengan sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya,” jelas Misbah.
Dia menegaskan penanganan krisis iklim untuk tiga sektor itu tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan skema dukungan, melainkan harus masuk dalam kebijakan fiskal.
Di sektor energi, Koalisi meminta pemerintah memasang PLTS Atap pada 70 Gedung Kementerian/Lembaga untuk memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Alokasi anggarannya hanya sebesar Rp210 milliar.
Dengan adanya pemasangan PLTS Atap, pemerintah bisa menghemat biaya listrik di gedung-gedung K/L sebesar Rp22 miliar per tahun. Selain itu, program ini juga diperkirakan bisa mengurangi emisi 339.624 tCO2 selama 25 tahun.
Bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Pemasangan PLTS Atap diperkirakan akan melibatkan 700 pekerja pada tahap konstruksi untuk pekerjaan pemasangan, logistik, dan pemeliharaan.
Lalu pada sektor pertanian, pemerintah harus melakukan peremajaan Perkebunan Rakyat seluas 107.208 ha di 41 Kabupaten dan dengan padat karya tunai dan pengembangan korporasi petani. Anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp2,94 triliun.
Proyek tersebut diperkirakan bisa meningkatkan hasil panen antara 15 persen hingga 17 persen. Persentase ini setara dengan nilai manfaat ekonomi langsung Rp25 juta per tahun dan manfaat ekonomi tidak langsung 10 juta per tahun dalam 20 tahun mendatang.
Manfaat lainnya, bisa mengurangi emisi 100 juta tCO2e dalam jangka waktu 20 tahun. Juga bisa menciptakan 151 ribu lapangan kerja baru pada 2022 dan mendukung 19 juta lapangan kerja yang sudah ada.
Terakhir, sektor persampahan. Programnya berupa stimulus untuk 5000 pelaku usaha persampahan pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan anggaran sebesar Rp3,57 triliun.
Program tersebut diperkirakan akan meningkatkan daur ulang sampah sampai 40 ribu ton per hari atau setara dengan manfaat ekonomi Rp23 triliun per tahun.
Pengurangan emisinya bisa mencapai 7.306.845 tCO2 per tahun atau sebesar 146 juta ton CO2e selama 20 tahun. Sementara itu, lapangan pekerjaan yang bisa diciptakan bisa mencapai 15 ribu hingga 75 ribu lapangan kerja baru pada 2022 serta bisa meningkatkan kesejahteraan 850 ribu pemulung di seluruh Indonesia.
Kebijakan-kebijakan tersebut, kata Misbah, diyakini dapat mendukung langkah Presiden dan pemerintah dalam upaya kembali membangun perekonomian Indonesia yang lebih berkelanjutan setelah keterpurukan akibat pandemi.