Gemini
Rasi Gemini tampak terang ketika hujan asteroid terlihat di lempengan langit pada malam ketiga belas setelah gempa besar menggoyang kota tempat saya tinggal. Gempa berskala sembilan magnitudo membuat permukaan tanah bergelombang, seakan ada cacing raksasa yang baru bangun dari tidurnya. Sirin pernah bermimpi melihat cacing besar itu ketika dia berumur sembilan tahun. Waktu itu saya hampir mati karena bakteri tifus, untung ayah saya cepat-cepat berdoa pada batu-batu besar yang ditemukannya di sebuah hutan setelah dia hampir putus harapan. Sirin berbicara dengan cacing dalam mimpinya, percakapan mereka secara tak sengaja tersadap oleh sebuah satelit yang hampir rusak, lalu percakapan itu tersebar di tata surya dan seorang penyiar berita tengah malam, seperti orang kerasukan, mengulang percakapan itu. Ibu saya yang mengidap insomnia menonton siaran itu dan bertahun-tahun kemudian, di pengujung hidupnya, peristiwa itu diceritakan pada saya seakan-akan dia sedang menyampaikan suatu risalah tentang harta warisan.
Kata Sirin, “Wahai cermin, siapakah orang tercantik di dunia?” Cacing raksasa menggeliat, tubuhnya yang serupa kaca memantulkan bayangan Sirin. “Aku bukan cermin, aku cacing,” katanya. Sirin tidak percaya, dalam dirinya timbul revolusi. “Jawab, atau aku gulingkan kau!” Cacing raksasa murka, tapi ia ingat ketika masih berada di surga, manusia pertama telah menyampaikan suatu pikiran mencengangkan tentang apa yang disebut sebagai masyarakat. Karena itu untuk menghindari benturan ia kecilkan tubuhnya jadi beberapa milimeter saja. Sirin tertawa riang. Tepat di depannya berdiri dirinya sendiri, cantik sekaligus brutal seperti nisan di makam tentara tak dikenal.
Sebetulnya ibu saya hanya sempat bercerita sampai kalimat pertama, kalimat pertanyaan tentang orang tercantik di dunia. Lanjutan cerita itu saya dapat ketika saya bertemu Sirin di sebuah toko barang antik. Dia membawa sesosok mumi yang hendak dijualnya, sementara saya berada di toko itu untuk memastikan bahwa hantu ibu saya tidak merasuki boneka landak yang sebenarnya tidak istimewa tapi entah kenapa oleh pemilik toko diletakkan di depan toko.
“Hai, Nona. Di mana Anda mendapatkan mumi itu?”
“Ini mumi ayah saya.”
“Apakah Anda tidak keliru?”
“Kenapa keliru?”
“Sebab itu mumi ayah saya. Ayah saya sudah berdoa sekian lama pada batu-batu, sampai ia berubah jadi mumi.”
Itu dialog antara saya dan Sirin.
Saat itu saya lihat dari balik tubuh Sirin, muncul Sirin yang lain. Pemilik toko, yang tiada lain adalah teman sekolah saya, berdecak dari mejanya. Decakannya terdengar seperti suara cicak. Kami menoleh padanya, mumi di pundak Sirin bergoyang-goyang, saya melihatnya seperti setandan pisang dan ingat dulu di masa sekolah teman saya itu pernah menawarkan sebiji pisang. Katanya pisang itu tidak dipetik seperti memetik hikmah, melainkan diturunkan dari surge. Barang siapa memakan pisang itu, dia bisa mengetahui kapan kiamat tiba.
Sirin meletakkan mumi di atas meja, saya mendekat dan memperhatikan, sementara Sirin satunya berseru pada pemilik toko, “Tuan, berapa Tuan berani bayar mumi ini?”
Pemilik toko menunjukkan halaman majalah yang sedang dibacanya, itu majalah sains. “Lihat,” katanya. “Di Mars telah ditemukan spesies cacing. Oligarkis, bukan?”
Mumi ayah saya tampak bahagia. Bagian dahinya lebih hitam dari bagian lain. Mulutnya menganga seakan hendak mengucapkan kata-kata yang rimanya tak bisa dihentikan siapa saja. Sebelah tangannya teracung ke depan seperti seorang pembaca puisi. Setelah saya perhatikan lama-lama, saya rasa dia terlihat benar-benar liberal. Setelah tiga belas hari berdoa tiba-tiba dia memang berubah jadi mumi. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dia menjadi mumi sebab sejak pertama dia mengucap doa saya langsung sembuh dari tifus dan bertekad mencarinya. Dia ada di hutan, Ibu yang bilang pada saya. Cara Ibu memberitahu saya cukup jelas: dia menggunting sebagian rambutnya dan menanamnya di ranjang setelah seluruh permukaan ranjang dilapisi humus yang diambilnya dari halaman rumah ibadah kuno sebelum balai pelestarian cagar budaya menemukan tempat itu.
Saya pamit pada Ibu untuk menyusul Ayah ke hutan. Saya butuh sepuluh hari untuk sampai ke hutan itu. Sepanjang perjalanan saya lihat banyak hal. Beberapa hal terlalu progresif untuk dikisahkan kembali, tetapi beberapa hal lain terasa seperti kumpulan esai dari penerbit yang sudah lama bangkrut. Langkah demi langkah saya ayunkan, seolah hendak menggapai asa, tak lupa saya berbunga-bunga, “Ibu engkaulah matahariku.” Di jalan pula saya menyadari ada seseorang yang menguntit saya. Saya tahu dia adalah Sistem Ekonomi, seorang katai keterbelakangan mental yang tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir penulis cerita ini.
Saya merasa durhaka ketika sampai di hutan saya lihat ayah saya pelan-pelan membatu, pelan-pelan buta. Bulu matanya berlepasan, meninggi ke angkasa raya. Saya cuma bisa terpaku ketika malam mulai membenamkan seluruh dunia ke dalam tintanya yang sehitam cinta. Saya berbaring persis di bawah mumi ayah saya, saya tatap angkasa lama-lama, makin lama makin terang. Saya lihat bulu-bulu mata ayah bersinaran bagaikan massa bintang atau mata binatang. Lalu seakan digerakkan oleh suatu politik praktis bulu-bulu mata itu membentuk sepasang sosok yang bergandengan tangan. Itu Gemini, terang benderang di malam celaka itu.
Teman saya si pemilik toko menyodorkan majalah sains itu lebih dekat ke Sirin. Satu Sirin mengambil majalah itu, Sirin lainnya berpaling ke saya, “Tuan Tuhan, bukan?” tanyanya. Teman saya memperhatikan mumi ayah yang pada malam celaka itu tak bisa saya angkut sebab tiba-tiba saya demikian terharunya sampai-sampai bisa mendengar lagu-lagu punk menggelinding dari daun-daun. Saya tidak sadar kalau itu sebenarnya peristiwa gempa bumi.
Memang agak aneh. Sirin membaca majalah sains, dia tarik kursi dan duduk depan meja kasir. Pemilik toko mengelus-elus mumi dan timbul dalam pikirannya cita-cita mendirikan kafe. Sementara Sirin yang satu lagi berupaya terhubung dengan saya. Tapi semua menjadi benar-benar aneh ketika sekonyong-konyong Sistem Ekonomi masuk. “Siapakah orang tercantik di dunia?” serunya. “Aku! Aku, bukan?” serunya lagi. Saya mengangguk-angguk. Dengan terharu dia memeluk saya. Semacam impresi yang sedikit antagonis terpancar dari pelukan itu, menimbulkan gradasi ideologi yang memengaruhi turbulensi gender. Seketika kedua Sirin itu bersatu kembali, membentuk rantai genetik yang menyebar ke seantero ruang. Mirip salesma. Kegaduhan di toko barang antik telah mengobati keterbelakangan mental Sistem Ekonomi. Dia jadi tampak jenaka, sedangkan pemilik toko mengangkat mumi ayah dan menaruhnya di depan toko, menyingkirkan boneka landak. Saat itu saya lihat hantu Ibu berputar-putar dekat lampu seperti pusaran galaksi. Sirin terisap dan lenyap dalam pusaran itu. Saya dorong tubuh Sistem Ekonomi sampai terjungkal ke lantai, tubuh itu pecah dan menggenang bagaikan indeks harga saham. Saya melompat untuk masuk ke pusaran hantu ibu, tapi pemilik toko lebih dulu melompat, tubuh kami bertumbukan seperti dua asteroid dewasa. Malam pun tiba. Mumi ayah berpendar di depan toko mengundang investor datang. Mumi ayah jadi mirip undang-undang, getahnya memercik ke jalan.
Saya masih akan bergumul dengan pemilik toko kalau saja gempa bumi tak terjadi. Sembilan detik lamanya, tapi sanggup mengubah konstelasi demokrasi. Begitulah, gempa bumi berskala sembilan magnitudo membangunkan cacing raksasa dari mimpi Sirin. Permukaan tanah bergelombang, trias politika bergeser sehingga cadangan arkeologi naik ke permukaan membentuk tekstur apokaliptik bersama sinar-sinar purbawinya yang tiga belas hari kemudian membuat lempengan langit berkabut dan hujan asteroid berjatuhan serupa konfeti pada hari kematian penulis cerita ini.***
Mataram, 29 Oktober 2020
Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok. Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).