Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

'US Hegemony and Its Perils' dan Implikasinya bagi Indonesia, Asia Tenggara, dan Dunia
Ilustrasi : CGTN

‘US Hegemony and Its Perils’ dan Implikasinya bagi Indonesia, Asia Tenggara, dan Dunia



Pekan lalu Pemerintah Tiongkok mempublikasikan makalah “US Hegemony and Its Perils” yang sempat menggegerkan publik Amerika Serikat (AS). Dalam perspektif saya, makalah ini semakin menguatkan  pemikiran mengenai perubahan lanskap geopolitik dunia, yaitu kebangkitan Tiongkok sebagai negara adidaya global yang menantang kekuatan global AS. Dalam kebijakan luar negerinya Tiongkok tak lagi keep low profile, tetapi striving for achievement (Yan Xuetong, 2014). Hal ini perlu dipertimbangkan secara kritis dan memeriksa dampak potensial dari pergeseran ini di dunia, terutama Asia Tenggara.

Salah satu dampak potensial dari tantangan Tiongkok terhadap kekuatan global AS adalah potensi tatanan dunia yang lebih multipolar. Sebagai kekuatan global yang dominan, AS telah lama mendominasi tatanan dunia. Namun, kebangkitan Tiongkok dan kekuatan baru lainnya seperti India dan Brasil dapat menyebabkan tatanan global yang lebih beragam dan kompleks. Hal ini berpotensi menyebabkan persaingan dan ketegangan yang lebih besar antara kekuatan besar, serta peluang bagi kekuatan yang lebih kecil untuk menegaskan kepentingan mereka sendiri.

Pergeseran potensial menuju tatanan dunia yang lebih multipolar akibat tantangan Tiongkok terhadap kekuatan global AS memiliki implikasi positif dan negatif. Sisi positifnya, tatanan dunia yang lebih multipolar dapat mengarah pada keragaman dan persaingan yang lebih besar dalam urusan global. Hal ini bisa memberi peluang bagi kekuatan yang lebih kecil untuk menegaskan kepentingan mereka sendiri dan memainkan peran yang lebih menonjol dalam membentuk agenda global. Selain itu, tatanan dunia yang lebih multipolar berpotensi mengurangi risiko satu negara mendominasi urusan global dan dapat mendorong kerja sama yang lebih besar antara negara-negara besar.

Namun, ada juga potensi implikasi negatif dari tatanan dunia yang lebih multipolar. Salah satu kekhawatirannya adalah potensi meningkatnya persaingan dan ketegangan antara negara-negara besar, terutama jika mereka memiliki ideologi, sistem politik, atau model ekonomi yang berbeda. Ini berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakstabilan, terutama jika kekuatan yang lebih kecil terjebak di tengah.

Kekhawatiran lainnya adalah potensi kurangnya kepemimpinan dan arahan dalam urusan global. Tatanan dunia yang lebih multipolar dapat menyebabkan fragmentasi yang lebih besar dan kurangnya konsensus tentang isu-isu global utama, terutama jika negara-negara besar tidak dapat menyepakati cara mengatasi tantangan bersama seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan global, atau keamanan dunia maya.

Selain itu, potensi tatanan dunia yang lebih multipolar juga menimbulkan pertanyaan tentang peran lembaga internasional dan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai konflik yang muncul di dunia. Sebagai contoh, beberapa konflik regional yang terjadi belakangan ini seperti konflik di Timur Tengah, Ukraina, dan Laut China Selatan menunjukkan betapa sulitnya lembaga internasional seperti PBB dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Seiring dengan semakin kompleksnya tatanan dunia yang lebih multipolar, lembaga internasional harus terus memperkuat diri dan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai konflik tersebut. Selain itu, mereka juga harus mampu beradaptasi dengan dinamika baru yang muncul, termasuk melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda dalam mengambil keputusan.

Namun, tidak hanya lembaga internasional yang perlu beradaptasi dengan tatanan dunia yang semakin multipolar ini. Negara-negara besar dan kecil di seluruh dunia juga harus mengubah cara pandang mereka dan memperkuat kerja sama dalam mengatasi berbagai masalah global, seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan terorisme.

Dalam situasi tatanan dunia yang semakin multipolar ini, tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi berbagai masalah global tersebut sendirian. Oleh karena itu, kerja sama dan dialog antarnegara menjadi semakin penting, baik melalui lembaga internasional maupun melalui kerja sama bilateral atau regional, termasuk Indonesia sebagai salah negara mitra perdagangan terbesar Tiongkok.

Dalam jangka panjang, kebangkitan Tiongkok juga dapat berdampak pada hubungan geopolitik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan regional. Sebagai kekuatan besar di Asia, Tiongkok memiliki kepentingan strategis yang luas di kawasan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok telah menunjukkan tindakan yang lebih agresif dalam menegakkan klaim teritorialnya di Laut China Selatan, yang telah menimbulkan kekhawatiran dan ketegangan di kawasan.

Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia, sebagai negara tetangga Tiongkok dan kekuatan regional terbesar di ASEAN, harus berhati-hati dalam mengelola hubungan dengan Tiongkok. Indonesia dan juga negara-negara ASEAN harus dapat mempertahankan keseimbangan antara kepentingan nasionalnya dan hubungan strategisnya dengan Tiongkok, serta mengambil langkah-langkah yang bijaksana dalam menghadapi persaingan dan ketegangan di kawasan.

Secara keseluruhan, kebangkitan Tiongkok sebagai negara adidaya global menimbulkan dampak yang signifikan bagi dunia, Asia Tenggara, dan Indonesia. Potensi pergeseran menuju tatanan dunia yang lebih multipolar dapat membawa implikasi positif dan negatif bagi stabilitas dan keamanan global, ekonomi dan perdagangan, serta hubungan geopolitik. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia dan negara-negara di kawasan untuk memperhatikan dan memeriksa dampak potensial dari pergeseran ini, serta mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengelola hubungan dengan Tiongkok dan menghadapi tantangan yang ada. Harapannya, Indonesia dan negara-negara ASEAN dapat menjadi aktor yang menavigasi lanskap geopolitik abad ke-21 yang kompleks dan cepat berubah, bukan hanya terhimpit di antara pertarungan negara besar utamanya, AS dan Tiongkok.


Virdika Rizky Utama

Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.