Gelar Istighotsah Kubro, KUPI: Korban Kekerasan Seksual Lemah Secara Struktural
Berita Baru, Nasional – Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) bersama sejumlah 300 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Darurat Kekerasan Seksual menggelar Istighotsah Kubro: Doa Bersama untuk Keselamatan Bangsa dari Darurat Kekerasan Seksual, pada Selasa (14/12) kemarin.
Acara ini disiarkan secara daring melalui Zoom dan media sosial Kongres Ulama Perempuan Indonesia serta saluran YouTube We Lead Indonesia dan PW Fatayat NU DIY. Telah hadir 836 peserta yang merupakan para santri dari bermacam daerah, Komnas Perempuan, serta pegiat isu perempuan dan Hak Asasi Manusia.
Doa bersama diadakan sebagai bentuk solidaritas terhadap maraknya kekerasan seksual belakangan ini di Indonesia. Pada Kamis (2/12) lalu, perempuan bernama NW di Mojokerto, Jawa Timur, melakukan bunuh diri setelah putus asa mencari keadilan atas kekerasan dalam pacaran yang ia alami.
Sementara itu di Cilacap, Jawa Tengah, seorang guru berumur 51 tahun melecehkan 15 siswi di sebuah sekolah dasar (SD), dengan janji mendapatkan nilai tinggi.
Yang kini sedang hangat adalah pemerkosaan yang dilakukan pengasuh Islamic Boarding School di Bandung terhadap 21 santriwati. Akibatnya, 8 orang telah hamil dan melahirkan, sementara 2 diantaranya masih mengandung.
Selain 3 kasus di atas, Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mencatat adanya 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan selama bulan Januari-Juli 2021. Bahkan hingga November 2021, angka itu melonjak menjadi lebih dari 4.000 kasus. Angka ini jauh lebih banyak dibanding tahun 2020 yakni sebanyak 2.400 kasus.
Dari data yang dihimpun itu, dapat diketahui pula bahwa kasus tersebut berpotensi terjadi di manapun dan dilakukan oleh siapapun, baik di lingkungan yang familiar seperti keluarga maupun tetangga, hingga terjadi di lingkungan publik seperti tempat kerja maupun institusi pendidikan.
KUPI: korban adalah lemah dan dilemahkan
KUPI menyebutkan, korban kekerasan seksual termasuk dalam kelompok mustadh’afin, yakni mereka yang dilemahkan dan lemah secara struktural diakibatkan adanya ketimpangan posisi dan relasi antara korban dan pelaku.
Proses mengakses keadilan juga menjadi jalan terjal bagi korban karena banyaknya tantangan, seperti tidak adanya dukungan dari keluarga, ketidakmampuan untuk melapor atau mencari bantuan akibat diancam maupun bingung dan takut, serta kecenderungan masyarakat dan penegak hukum yang menyudutkan korban.
Jaringan ini menuntut terciptanya ruang aman bagi korban kekerasan seksual demi mendukung pemulihan dan mencegah terjadinya kasus serupa.
Tentunya upaya menghapus kekerasan seksual tidak bisa hanya datang dari masyarakat sipil. Negara perlu menjalankan fungsinya untuk memfasilitasi korban dengan perlindungan hukum yang layak, dan menegakkan hukum dengan adil sehingga dapat menghapus kekerasan terhadap perempuan.